Musim Durian di Desa
Kala durian gugur dari pelukan langit,
Pohon-pohon berjabat tangan dengan tanah,
"Ini waktumu," bisik angin lembut,
Menyapa desa dengan aroma rindu yang tajam.
Jalanan berdebu kini penuh cerita,
Manusia berlari, seolah mengejar bulan jatuh,
"Durian, durian!" seru bocah-bocah riang,
Seakan dunia hanya tentang buah berduri.
Pohon tua berbisik di bawah senja,
"Aku lelah, tapi bahagia," katanya,
Karena buahnya kini menjadi rebutan,
Mengisi tawa, canda, bahkan adu mulut di pasar.
Wajah-wajah desa berubah seiring waktu,
Pak Tani yang biasanya muram,
Kini tertawa sambil menghitung untung,
"Berkat durian, hutangku lunas!" katanya bangga.
Namun, tak semua berubah indah,
Si Joko, yang dulu setia berjanji pada Diah,
Kini lupa, sibuk di kebun mencari buah,
"Apa daya, musim durian hanya setahun sekali," ia berdalih.
Sungai kecil di tepi desa iri pada pohon,
"Kenapa aku tak seheboh dirimu?" tanyanya.
Pohon durian hanya tersenyum,
"Sabar, kawan. Airmu yang tenang memberi hidupku."
Dan bulan, yang biasanya mengintip malu,
Kini memantau penuh rasa iri,
Pada pesta durian di bawah sinarnya,
Manusia lupa waktu, lupa malam, lupa segalanya.
Musim durian di desa,
Adalah drama, cinta, dan perpisahan,
Ia membawa tawa, tangis, dan janji,
Hingga akhirnya pergi, menyisakan kenangan manis berduri.
Tapi musim akan kembali,
Karena pohon durian,
Adalah penjaga rahasia desa,
Yang tak pernah lelah membagikan cinta dalam diam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar