Senin, 13 Januari 2025

TRAGEDI GANTUNG DIRI DI DAHAN TERUNG

DI BALIK SENG DAN JENDELA KACA

Di bawah langit siang yang panas membakar,
angin tak peduli, seng mengerang dalam bisik keluh kesah.
Adik ipar sepupu ku,
dalam letih kerja, parkir motornya penuh percaya.
Namun maling datang, seperti bayang-bayang liar,
mencongkel seng, menembus atap, melukai langit yang diam.

Oh, siang hari, di mana matahari bersinar terang!
Mengapa kau biarkan kejahatan tumbuh subur dalam terangmu?
Motor itu bukan sekadar roda dan besi,
ia saksi perjalanan, peluh, dan harapan kecil kami.

Dan kini kantor ini—simbol wibawa,
juga tak luput dari tangan tak bertuan.
Jendela kaca menangis lengah,
kompor tua pun pergi, tabung gas tak bernyawa lenyap.
CCTV murahan, walau muram suaranya,
tetap setia mengisi sunyi ruang kami.

Apa yang tersisa?
Hanya jejak kaki kotor,
dan seng yang menyembunyikan tangisnya di bawah sinar bulan.
Meja-meja kosong,
bercerita tentang tangan-tangan licik yang menghancurkan kehormatan.

Hei maling, apa kau tahu?
Kompor itu pernah membakar nasi perjuangan.
Tabung gas itu penuh doa seorang ibu,
dan CCTV itu mengusir gelap di ruang keluarga yang berdebu.

Oh, hati ini pedih,
dari adik ipar hingga ruang camat,
semua kini terasa kosong,
seperti keadilan yang hanya menjadi bayang-bayang.

Tuhan, jika langit ini masih mendengar,
tolonglah, kirimkan penyesalan pada mereka yang mencuri!
Biar seng menjerit, jendela melawan, dan hati kami perlahan sembuh.
Karena dalam kehilangan ini,
kami hanya ingin satu hal:
kejujuran tetap tegak, meski atap telah robek.

Kini aku berdiri,
di depan sisa-sisa kehormatan yang tercuri,
menangis pada dunia,
apa lagi yang kau ingin ambil dari kami?

Tidak ada komentar:

TRAGEDI GANTUNG DIRI DI DAHAN TERUNG

DI BALIK SENG DAN JENDELA KACA Di bawah langit siang yang panas membakar, angin tak peduli, seng mengerang dalam bisik keluh kesah. Adik ipa...