LANGIT YANG TAK TERJANGKAU
Di sebuah desa kecil yang jauh dari hingar-bingar kota, hiduplah seorang bocah bernama Usman Alamsyah. Ia adalah anak yang ceria, penuh rasa ingin tahu, meskipun di dalam hatinya tersimpan luka yang tak pernah ia mengerti sepenuhnya.
Usia 3-4 Tahun: Aku adalah Ayahku Sendiri
Ketika seseorang bertanya kepadanya, "Di mana ayahmu, Usman?" tanpa ragu ia akan menunjuk dirinya sendiri. Dengan mata bulat penuh keyakinan, ia berkata, "Ini ayah!" Orang-orang di sekitarnya hanya tertawa kecil, menganggap itu jawaban polos seorang bocah. Namun, tak ada yang tahu bahwa dalam imajinasi kecilnya, ia benar-benar percaya bahwa ia adalah ayahnya sendiri—sebuah jawaban yang ia ciptakan untuk menutupi kekosongan yang tak bisa ia pahami.
Usia 5-7 Tahun: Pertanyaan yang Tak Terjawab
Seiring waktu, pertanyaan dalam hatinya semakin membesar. Setiap kali melihat teman-temannya digendong oleh seorang pria tegap yang mereka panggil "Ayah", Usman hanya bisa menatap. Di rumah, ia memberanikan diri bertanya kepada ibunya.
"Ibu, di mana ayah Usman? Kenapa orang lain punya ayah, tapi Usman tidak?"
Ibunya tersenyum, senyum yang menutupi kesedihan yang selama ini ia simpan rapat-rapat. Dengan lembut, ia membelai kepala Usman dan berkata, "Ayahmu terbang ke atas langit, Nak. Suatu saat nanti, kita akan menyusulnya."
Langit. Kata itu terus terngiang di kepala Usman. Setiap malam, ia menatap langit, mencoba mencari sosok ayah yang tak pernah ia temui. Dalam imajinasinya, ayahnya ada di antara bintang-bintang, mengawasinya, tersenyum padanya. Kadang ia bertanya pada bulan, "Ayah, apakah kau di sana?" Tapi langit tetap diam.
Mak Wuk... Mak Wuk...
Sejak mulai lancar berjalan, Usman sering berlari ke warung depan rumah. Ia selalu mencuri ikan asin dengan lugu, lalu memanggil pemilik warung dengan sebutan khasnya, "Mak Wuk... Mak Wuk...!" (Ibu Ikan! Ibu Ikan!). Ia mengira pemilik warung itu adalah ibu dari ikan-ikan yang digantung berjejer di warung. Dengan senyum usil, ia membawa kabur ikan itu, lalu berlari pulang dengan langkah kecilnya yang masih goyah.
Ibunya hanya bisa tersenyum sambil menghela napas. "Anak ini... selalu saja ada tingkahnya." Namun, dalam hati, ia tahu bahwa semua yang dilakukan Usman adalah bentuk kebahagiaan kecil yang ia ciptakan sendiri—mungkin untuk mengobati kehilangan yang tak ia pahami sepenuhnya.
Kehampaan yang Tak Terjawab
Setiap kali melihat teman-temannya digendong seorang pria tinggi, tubuh mereka dipeluk dengan erat, Usman selalu merasa ada sesuatu yang kosong di dalam dirinya. Ia tidak mengerti mengapa ada lubang di hatinya yang semakin hari semakin besar. Ia ingin sekali merasakan kehangatan yang sama. Terkadang ia mencoba berdiri di belakang seorang pria dewasa yang ia lihat di jalan, seolah-olah berharap pria itu akan berbalik dan berkata, "Usman, ayo kita pulang." Tapi itu tidak pernah terjadi.
Suatu hari, di bawah langit senja, Usman duduk di tangga rumahnya. Ia menatap ke atas, ke awan yang mulai berubah jingga, lalu berbisik, "Ayah, kapan aku bisa menyusulmu ke langit? Aku ingin bertemu denganmu, aku ingin tahu seperti apa suaramu, aku ingin tahu bagaimana rasanya dipeluk olehmu."
Angin berhembus lembut, menyapu wajahnya yang kecil. Seolah-olah langit sedang menjawabnya dengan bisikan yang hanya bisa dimengerti oleh hati yang penuh kerinduan.
Dan di sanalah Usman, seorang bocah yang mencari sosok yang tak bisa ia gapai, mendongak ke langit dengan harapan yang tak pernah pudar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar