SUKU REJANG VERSI LEGENDA
Sejarah Suku Rejang di Indonesia, khususnya di Provinsi Bengkulu, memang menarik karena mencakup unsur legenda dan cerita rakyat yang diwariskan turun-temurun. Suku Rejang dikenal sebagai salah satu suku tertua di Bengkulu dan memiliki budaya serta bahasa yang khas. Berikut adalah versi legenda atau cerita rakyat tentang asal-usul Suku Rejang:
Legenda Asal Usul Suku Rejang
1. Kedatangan Leluhur Suku Rejang
Dalam cerita rakyat, Suku Rejang dipercaya berasal dari seorang leluhur sakti yang turun dari langit. Leluhur ini dikenal dengan nama Raja Senggang atau Raja Empat Petulai, yang diyakini sebagai cikal bakal masyarakat Rejang.
Dikisahkan bahwa Raja Senggang datang ke bumi dan menetap di sebuah kawasan yang disebut Ulu Musi (sekarang di wilayah Bengkulu). Kawasan ini dikenal subur, memiliki sungai besar, dan dikelilingi hutan lebat. Raja Senggang kemudian mendirikan sebuah pemukiman yang menjadi awal dari terbentuknya Suku Rejang.
Dalam beberapa versi cerita, Raja Senggang digambarkan memiliki kekuatan gaib, kebijaksanaan, serta kemampuan untuk memimpin dan mengatur kehidupan masyarakat.
2. Pembagian Empat Petulai (Suku)
Menurut legenda, Raja Senggang memiliki empat orang anak. Dari keempat anak ini, terbentuklah Empat Petulai atau empat kelompok utama dalam masyarakat Rejang, yaitu:
Petulai Tubei
Bermukim di sekitar daerah Lebong.
Petulai Bermani
Bermukim di sekitar daerah Kepahiang.
Petulai Selupu
Bermukim di sekitar Curup dan sekitarnya.
Petulai Jurai
Bermukim di daerah Rejang Lebong dan sekitarnya.
Keempat Petulai ini kemudian menjadi inti dari masyarakat Rejang yang tersebar di berbagai wilayah pegunungan Bengkulu.
3. Raja Senggang dan Hubungan dengan Alam
Raja Senggang dipercaya sebagai sosok pemimpin yang bijaksana dan mengajarkan masyarakat untuk hidup selaras dengan alam. Ia memperkenalkan berbagai keahlian kepada masyarakat Rejang, seperti:
Bertani di lereng bukit
Berkebun kopi, lada, dan padi
Berburu dan meramu
Mengatur pola hidup komunal
Dalam cerita rakyat, Raja Senggang juga mengajarkan masyarakat untuk menghormati roh leluhur dan menjaga hutan sebagai tempat tinggal para roh penjaga.
4. Mitos tentang Asal Nama Rejang
Asal nama "Rejang" pun sering dikaitkan dengan legenda. Ada beberapa versi:
Kata "Rejang" diyakini berasal dari istilah "Jang" atau "Jurang", yang menggambarkan wilayah tempat tinggal suku ini, yaitu lembah-lembah pegunungan yang curam dan subur.
Dalam versi lain, "Rejang" berarti "raja-raja kecil", merujuk pada sistem pemerintahan adat yang bersifat otonom dan dipimpin oleh tokoh adat setempat.
5. Kehidupan di Tanah Ulu
Legenda Suku Rejang juga berkisah tentang kehidupan di "Tanah Ulu", atau dataran tinggi di pegunungan Bengkulu. Tanah Ulu diyakini sebagai pusat peradaban awal Suku Rejang, di mana mereka hidup makmur dengan memanfaatkan alam sekitar.
Dalam cerita rakyat, Tanah Ulu dijaga oleh makhluk gaib atau penunggu alam yang disebut "Kutei". Oleh karena itu, masyarakat Rejang sangat menghormati hutan dan sungai serta memiliki berbagai pantangan adat untuk menjaga keseimbangan alam.
Warisan Budaya dari Legenda
Legenda Raja Senggang dan empat Petulai ini masih hidup dalam budaya Suku Rejang. Beberapa tradisi yang diwariskan antara lain:
Sistem Kekerabatan
Masyarakat Rejang memiliki sistem kekerabatan yang erat, dengan ikatan "Petulai" sebagai landasan utama.
Bahasa Rejang
Bahasa Rejang termasuk salah satu bahasa tertua di Sumatera dan memiliki aksara khas yang disebut Aksara Ka Ga Nga.
Adat Istiadat dan Ritual
Upacara "Ngantat" (pernikahan adat)
Ritual "Nukau" (persembahan kepada leluhur)
Larangan untuk merusak hutan atau sungai
Kesimpulan
Legenda tentang Raja Senggang dan Empat Petulai menggambarkan asal-usul Suku Rejang sebagai komunitas yang hidup harmonis di pegunungan Bengkulu. Cerita ini menunjukkan hubungan erat antara masyarakat Rejang dengan leluhur, alam, serta nilai-nilai budaya yang diwariskan turun-temurun. Sampai saat ini, masyarakat Rejang masih mempertahankan identitasnya melalui tradisi adat, bahasa, dan sistem sosial yang khas.
(Sumber: Google Perpustakaan Nasional)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar