Sabtu, 15 Februari 2025

KHAYALAN MANIS PAK PANDIR (Ogan Pakndo)

KATA JOSS YANG BIKIN CEKIKAN
(Salah Paham Bahasa)

Pagi itu di sebuah desa kecil di Lembak Beliti, langit biru cerah menjadi saksi kedatangan seorang pendatang baru bernama Pak Darwis. Beliau adalah seorang penyuluh agama yang baru saja ditugaskan di daerah tersebut. Dengan semangat menggebu-gebu, beliau berkeliling menyapa warga sambil membawa Al-Qur’an di tangan kanan dan senyuman sumringah di wajahnya.

“Assalamu’alaikum!” seru Pak Darwis lantang kepada seorang pria paruh baya yang sedang duduk di bawah pohon durian.

Pria itu, Pak Burhanawi namanya, adalah tokoh masyarakat Lembak Beliti. Ia dikenal tegas, galak, tapi berhati lembut—jika sudah makan pempek. Pak Burhanawi menatap Pak Darwis dengan dahi mengernyit. “Wa’alaikumussalam. Kau siapa? Baru di sini, kah?” tanyanya dengan nada khas daerah itu.

Pak Darwis tersenyum ramah. “Betul, Pak. Saya Darwis dari Padang. Penyuluh agama. Bapak siapa?”

“Aku Burhanawi. Apa urusanmu di sini?”

“Saya mau menyampaikan ilmu agama. Semoga bermanfaat untuk masyarakat di sini. Doakan usaha saya joss ya, Pak!” jawab Pak Darwis penuh semangat.

Wajah Pak Burhanawi langsung berubah merah padam. Matanya melotot seperti melihat maling durian. “APA?!” bentaknya, “Berani kau ngomong kotor di depan aku?! Baru datang sudah macam-macam!”

Pak Darwis kaget bukan main. Ia mengira ada masalah serius, tapi tidak tahu apa. “Lho, saya ngomong apa, Pak? Salah apa saya?”

“Kau bilang joss! Di sini itu artinya… itu…” Pak Burhanawi tidak melanjutkan kata-katanya. Wajahnya semakin merah.

Pak Darwis masih bingung. “Lho, kalau di tempat saya, joss itu artinya bagus, hebat, luar biasa, Pak.”

“Bagus apanya?! Di sini, joss itu… anu, kau tahu, kelamin laki-laki!”

Pak Darwis langsung terperanjat. Wajahnya yang tadinya penuh percaya diri berubah panik. “Astaghfirullah! Maaf, Pak! Saya tidak tahu! Saya sungguh tidak bermaksud!”

Namun, Pak Burhanawi yang keras kepala itu tidak terima. “Hati-hati kau kalau bicara! Ini Lembak Beliti, bukan Padang!”

Sementara keduanya mulai berdebat, Irjuanda, seorang pemuda desa yang kebetulan lewat, menghentikan langkahnya. Ia heran melihat Pak Burhanawi yang biasanya santai kini terlihat berapi-api.

“Pak Burhanawi, kenapa ribut-ribut pagi-pagi begini?” tanya Irjuanda dengan nada santai.

“Ini si pendatang baru! Belum apa-apa sudah ngomong kotor!” gerutu Pak Burhanawi sambil menunjuk Pak Darwis.

“Eh, bukan begitu, Mas. Saya tadi cuma bilang joss. Maksud saya bagus, keren. Tapi katanya di sini artinya beda,” jelas Pak Darwis dengan nada putus asa.

Irjuanda yang mengerti kedua bahasa itu langsung tertawa terbahak-bahak. Suaranya menggema di seluruh desa. “HAHAHA! Jadi ini gara-gara salah paham soal kata joss? Aduh, Pak Burhanawi, tenang dulu! Maksud Pak Darwis itu bukan jorok. Dia pakai arti dari daerahnya.”

“Tapi di sini artinya lain! Dia harus tahu adat kita!” sergah Pak Burhanawi, masih kesal.

Irjuanda mencoba menjelaskan dengan sabar. “Betul, Pak. Tapi kan dia baru datang. Dia belum tahu. Lagipula lucu juga ya, kalau setiap kali dia bilang joss orang di sini mikirnya itu… anu.”

Mendengar kata “anu,” Pak Burhanawi malah tersenyum kecut, lalu ikut tertawa kecil. Akhirnya, suasana mencair. Pak Darwis yang awalnya canggung pun ikut tersenyum lega.

“Saya minta maaf ya, Pak Burhanawi. Mulai sekarang saya janji tidak akan sembarangan bilang joss,” ujar Pak Darwis.

“Tapi ingat ya, Pak,” kata Irjuanda sambil terkekeh, “Kalau di Padang artinya bagus, di sini, jangan pernah bilang itu ke sembarang orang. Bisa-bisa satu desa ngamuk!”

Hari itu, cerita soal joss menyebar ke seluruh desa. Warga yang mendengar kisah ini tertawa ngakak hingga perut mereka sakit. Bahkan, sampai beberapa minggu kemudian, setiap kali bertemu Pak Darwis, anak-anak kecil berteriak, “Pak Darwis, joss! Eh, anu maksudnya!”

Sejak itu, Pak Darwis berhati-hati dengan kata-kata, sementara Pak Burhanawi mulai belajar memahami pendatang. Dan Irjuanda? Ia merasa seperti pahlawan lokal, meski tiap kali lewat ia selalu digoda, “Irjuanda, penerjemah joss! Haha!”

Cerita itu menjadi pelajaran penting di desa Lembak Beliti: Jangan asal pakai kata tanpa tahu maknanya di tempat lain. Tapi di sisi lain, mereka juga belajar untuk tertawa dari kesalahpahaman kecil—karena tawa adalah bahasa yang universal.

Tamat 

(Hanya Hiburan dan Literasi)
😁😁😁🙏🙏🙏

Tidak ada komentar:

ES BALON DAN MIMPI SEORANG ANAK KECIL

ES BALON DAN MIMPI SEORANG ANAK KECIL Di sebuah desa kecil yang dikelilingi perbukitan hijau, seorang bocah bernama Usman Alamsyah tumbuh de...