HERMAWAN AKSAN
Tentang Sudut Pandang Cerita
SETIAP membaca cerita dengan tokoh orang ketiga, saya membayangkan seseorang bercerita kepada saya tentang orang lain, yang bisa siapa saja. Mungkin ia bercerita tentang bapaknya, ibunya, kakeknya, temannya, atau siapa saja, entah tokoh nyata atau tokoh fiktif. Bisa saja ia menuturkan kisah nyata, berdasarkan pengalaman orang-orang yang dia ceritakan, bisa pula kisah fiktif yang ia ramu dari pengalaman berbagai orang, termasuk dirinya sendiri, dari bacaan, dari tontonan, dan sebagainya.
Karena yang diceritakan bukan dirinya sendiri, si pencerita bebas menceritakan apa saja, tentang tema apa saja, dengan cara apa saja, bisa secara realis bisa pula surealis. Dia bisa juga bercerita tentang binatang, tumbuh-tumbuhan, bahkan benda mati yang berpikir, berbicara, dan berperilaku layaknya manusia.
Asal ceritanya logis, termasuk logis dalam ketidaklogisan dalam cerita surealis, nyaris tidak ada masalah dengan cerita tokoh utama orang ketiga.
Namun, membaca cerita dengan tokoh utama orang kedua, kadang muncul rasa tidak nyaman. Setiap membaca cerita model begini, saya membayangkan seseorang bercerita tentang diri saya sendiri, seakan-akan saya orang yang baru bangun dari tidur panjang dan dalam tidur itu saya bisa bergerak, berpikir, dan bertingkah macam orang sadar tapi tanpa saya sadari.
Begitulah, meskipun boleh saja orang mengambil sudut pandang pencerita, saya tidak (terlalu) suka membaca cerita dengan sudut pandang orang kedua.
Sementara itu, setiap membaca cerita dengan sudut pandang orang pertama, saya selalu membayangkan seseorang bercerita tentang dirinya sendiri. Dalam cerita realis, tentu saja si pencerita adalah manusia, sedangkan dalam cerita surealis bisa saja si pencerita adalah seekor ayam, sebatang pohon kelapa, atau sebongkah batu.
Dari sekian banyak cerita fiksi yang saya baca, terutama cerita pendek beberapa tahun ke belakang, sebagian besar penulis lebih senang membuat cerita dengan sudut pandang orang pertama. Mengapa? Mungkin para penulis lebih bebas dalam mengungkapkan apa pun isi kepalanya dan menuturkan kembali apa pun cerita atau pengalaman hidupnya.
Seperti ketika membaca cerita dengan sudut pandang orang ketiga, saya selalu menikmati ketika membaca cerita dengan sudut pandang orang pertama. Tentu saja dengan syarat cerita itu menarik dan masuk akal.
Nah, mengenai cerita yang masuk akal atau tidak masuk akal, saya memang selalu cerewet.
Begini. Ketika orang bercerita, baik tentang orang lain maupun tentang dirinya sendiri, tentu cerita itu sudah terjadi. Mengapa? Tidak mungkin orang di depan saya bercerita tentang peristiwa yang sedang terjadi, bukan?
Bandingkan saja. Kalau Anda membaca fiksi berbahasa Inggris, pasti kalimat dalam narasinya ditulis dengan past tense. Ingat, ya, dalam narasi, bukan dialog. Apa artinya? Si penulis menceritakan kisah yang sudah terjadi di masa lalu.
Apa? Ada cerita bahasa Inggris yang narasinya ditulis dengan present tense? Oh, saya tidak tahu. Kalau ada, pasti saya ketinggalan zaman.
Nah, karena kisahnya tentang masa lalu, saya selalu merasa terganggu jika membaca cerita realis dengan sudut pandang orang pertama dan di akhir cerita dikisahkan bahwa si tokoh aku mati.
LHO? Bagaimana orang mati bisa bercerita?
“Bisa, dong!” kata teman saya.
Tentu bisa. Syaratnya, sejak awal harus disebutkan bahwa si “tokoh aku” sudah meninggal dan dia menceritakan kisahnya mengapa dia mati atau semacam itu. Jadi, kisahnya surealis. Jika sejak awal tidak diceritakan bahwa si “tokoh aku” sudah mati, apalagi cerita itu realis, dan baru di akhir cerita dikisahkan bahwa si “tokoh aku” mati, entah sebagai kejutan atau apa, ya, tentu saja saya terkejut, tapi sekaligus merasa tertipu.
“Tapi, Mas,” kata teman saya lagi, “banyak penulis, bahkan penulis terkenal, yang menulis cerita macam itu.”
Betul. Saya juga pernah menulis cerita macam itu, entah dua entah tiga kali. Dan saya menyesal pernah melakukannya.
Oh, ya, perlu saya katakan bahwa semua pendapat saya ini sangat subjektif. Saya belum pernah membaca referensi yang tepercaya mengenai hal ini. Jadi, sebaiknya Anda tak usah terlalu percaya kepada saya.
“Jadi, saya masih bisa menulis dengan ending si tokoh aku mati?” tanya teman saya.
Saya menarik napas dalam-dalam. “Tak adakah cerita yang lebih menarik selain membunuh si tokoh aku?” []
Tidak ada komentar:
Posting Komentar