JEJAK DUA SAUDARA DI KEBUN KOPI DAN JAHE PUTIH
Di lereng perbukitan Lubuk Baung, di bawah langit yang biru menghampar luas, dua saudara, Usman Alamsyah dan Kakanda Nata Kusuma, menghabiskan masa kecil mereka di antara rimbunnya pohon kopi dan hamparan kebun jahe putih. Mereka adalah anak yatim yang tumbuh dalam pelukan kasih ibunda, seorang wanita kuat yang selalu mengajarkan mereka arti perjuangan.
Merumput di Kebun Kopi
Suatu hari, ibunda harus menghadiri undangan hajatan di dusun seberang. Usman dan Kakanda Nata Kusuma ditugaskan merumput di kebun kopi yang mereka kelola bersama. Matahari bersinar garang, menyapu dedaunan dengan kehangatan yang menyengat. Usman, yang masih kecil, merasa lelah dan hampir menyerah. Ia duduk di atas gundukan tanah, menyeka keringat yang bercucuran. “Aku tidak kuat lagi, Kakanda…” lirihnya.
Namun, Kakanda Nata Kusuma, dengan tatapan penuh keyakinan, berkata, “Kita tidak boleh menyerah, adikku. Lihatlah pohon-pohon kopi ini, mereka tetap tegak meski diterpa angin kencang dan hujan deras. Kita pun harus seperti mereka.”
Kata-kata itu bagaikan embun pagi di tengah dahaga. Usman kembali bangkit, menggenggam sabit kecilnya, dan bersama kakandanya, mereka merumput hingga selesai. Saat ibunda pulang, ia membawa oleh-oleh jodha basah, penganan dari hajatan yang selalu dinanti.Sore itu, mereka makan dengan penuh kebahagiaan, merasakan hasil dari kerja keras mereka.
Menjaga Kebun Jahe Putih
Saat Kakanda Nata Kusuma duduk di kelas 6 SD dan Usman baru menginjak kelas 1 SD, ibunda menanam jahe putih di sebidang tanah peninggalan ayah. Sayangnya, karena mereka anak yatim, tidak ada yang bisa menjaga kebun itu sepenuhnya. Beruntung, mereka memiliki tetangga kebun yang baik hati, Al Madani yang akrab disapa Bakcikda, dan Aden yang dipanggil Bakcil Mul.
Setiap malam, Usman dan Kakanda Nata Kusuma menginap di pondok kecil Bakcikda. Suasana malam di kebun begitu sunyi, hanya terdengar desiran angin dan nyanyian jangkrik yang bersahut-sahutan. Untuk melindungi jahe putih dari tangan-tangan jahil, mereka membawa senapan angin dan sebilah pedang.
Di tengah malam, mereka berdua berkeliling kebun, menajamkan pendengaran, mengawasi setiap sudut, memastikan tidak ada pencuri yang mengintai. Usman yang masih kecil berusaha tegar, meski kadang langkahnya gemetar di bawah bayang-bayang pohon yang meliuk seperti raksasa kelaparan. Namun, Kakanda Nata Kusuma selalu menggenggam tangannya erat, memberikan keberanian.
Setelah tiga jam berpatroli, mereka kembali ke pondok Bakcikda. Sambil menunggu pagi, mereka belajar mengaji di bawah lentera kecil yang berayun pelan diterpa angin. Suara Bakcikda membimbing mereka, setiap ayat suci mengalir menenangkan hati, seperti aliran sungai yang menyejukkan dahaga.
Hadiah dari Hasil Panen
Bulan demi bulan berlalu, dan akhirnya panen jahe putih tiba. Ibunda menyambut mereka dengan senyum sumringah, matanya berbinar melihat jahe tumbuh subur. Hasil panen dijual, dan sebagai hadiah, Usman dan Kakanda Nata Kusuma diberikan baju baru.
Saat mereka mengenakan baju itu, hati mereka dipenuhi rasa syukur. Itu bukan sekadar kain yang menutupi tubuh, tetapi simbol dari kerja keras, kebersamaan, dan kasih sayang. Mereka belajar bahwa dalam hidup, keberanian dan ketekunan akan selalu membuahkan hasil yang manis.
Di bawah langit yang masih sama, di tanah yang tetap subur, dua saudara itu telah mengukir kenangan, menanam keteguhan, dan memetik kebahagiaan. Sebuah pelajaran berharga yang akan mereka bawa selamanya dalam perjalanan hidup mereka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar