LEGENDA DESA LAWANG AGUNG
(Versi 2)
Pintu Besar Menuju Sejarah: Kisah Desa Lawang Agung
Di sebuah lembah hijau yang dikelilingi oleh perbukitan Sindang Beliti Ulu, berdirilah sebuah desa yang kini dikenal sebagai Desa Lawang Agung. Desa ini tidak hanya kaya akan pemandangan alam, tetapi juga menyimpan legenda penuh keajaiban dan kebesaran jiwa para leluhurnya. Nama "Lawang Agung" sendiri berasal dari dua kata, "lawang" yang berarti pintu, dan "agung" yang berarti besar, mencerminkan pintu besar yang membuka jalan menuju sejarah gemilang.
Rie Tandan dan Kute Giri
Pada zaman dahulu kala, desa ini hanyalah sebuah perkampungan kecil yang dikenal sebagai Kute Giri. Dipimpin oleh seorang tokoh yang sakti mandraguna, bernama Rie Tandan, kampung ini berkembang menjadi tempat yang damai dan subur. Rie Tandan dikenal sebagai pemimpin yang adil dan bijaksana. Ia memiliki kekuatan luar biasa yang sering digunakan untuk melindungi kampungnya dari ancaman luar.
Namun, ketenangan itu terusik ketika kabar datang bahwa seorang utusan Kesultanan Palembang bernama Bujang Remeyon hendak menaklukkan desa tersebut. Bujang Remeyon dikenal sebagai seorang yang ambisius, berani, dan juga sakti. Ia membawa pasukan kecil namun tangguh, berniat untuk menjadikan Kute Giri sebagai bagian dari wilayah kekuasaan kesultanan.
Pertarungan di Puncak Bukit
Ketika pasukan Bujang Remeyon tiba di dekat Kute Giri, mereka mendirikan kemah di sebuah bukit yang tinggi. Dari puncak bukit itu, mereka bisa melihat desa yang akan mereka kuasai. Rie Tandan, yang mendengar kedatangan mereka, tidak gentar sedikit pun. Ia memutuskan untuk menghadapi Bujang Remeyon secara langsung, bukan dengan peperangan, tetapi melalui sebuah tantangan.
Rie Tandan mendatangi kemah Bujang Remeyon di puncak bukit. Dengan suara lantang yang penuh wibawa, ia berkata, “Bujang Remeyon, aku tahu kau datang untuk menjajah desaku. Namun, sebagai pemimpin, aku tidak ingin rakyatku menderita karena perang. Jika kau ingin menguasai Kute Giri, kita harus bertanding. Bukan dengan senjata, tetapi dengan kekuatan dan keberanian.”
Bujang Remeyon, yang merasa tertantang, menerima tawaran itu. Pertarungan mereka adalah lomba menahan balok kayu yang digulingkan dari atas bukit. Siapa pun yang mampu bertahan paling lama, dialah yang menang.
Balok-balok kayu besar, yang konon beratnya seperti seekor kerbau, disiapkan di atas tebing. Satu per satu, mereka berdiri di depan balok yang meluncur dengan deras. Rie Tandan berdiri tegap, menahan balok dengan satu tangan, membuatnya berhenti tepat di ujung kakinya. Bujang Remeyon pun mencoba, namun ia hanya mampu menahan balok beberapa saat sebelum terpental ke tanah.
Ketika balok terakhir digulingkan, Bujang Remeyon jatuh tersungkur. Ia mengakui kekalahannya dengan lapang dada. “Aku kalah, Rie Tandan. Kau memang pemimpin yang sejati,” katanya. Sejak saat itu, Bujang Remeyon bersumpah setia kepada Rie Tandan dan menjadi pengikutnya.
Petilasan Kute Giri dan Depati Tembah
Sebagai bentuk penghormatan kepada kedua tokoh tersebut, dua situs penting didirikan. Kute Giri, tempat Rie Tandan memimpin, menjadi pusat spiritual desa. Di sana terdapat sebuah batu nisan yang konon memiliki kekuatan magis. Masyarakat percaya bahwa siapa pun yang memberikan sesajen di batu nisan tersebut, lalu berdiri di atasnya untuk mengukur tinggi tubuhnya, akan memperoleh pertanda. Jika tinggi badannya sejajar dengan batu nisan, orang tersebut dipercaya memiliki jiwa pemimpin atau akan menjadi orang terpandang.
Di sisi lain, Depati Tembah, tempat Bujang Remeyon menghabiskan sisa hidupnya, juga menjadi petilasan yang dihormati. Tempat itu dikenal sebagai simbol perdamaian dan pengabdian.
Lawang Agung: Warisan Besar
Setelah peristiwa itu, kampung kecil Kute Giri tumbuh menjadi desa besar. Nama "Lawang Agung" dipilih untuk menghormati kebesaran jiwa para leluhur yang telah membuka pintu menuju masa depan yang lebih baik. Desa itu tidak hanya dikenal karena keindahan alamnya, tetapi juga karena kisah heroik Rie Tandan dan Bujang Remeyon, yang menjadi pelajaran tentang keberanian, kebijaksanaan, dan perdamaian.
Hingga kini, setiap tahun, masyarakat Desa Lawang Agung mengadakan ritual di Kute Giri dan Depati Tembah untuk mengenang para leluhur mereka. Suara doa dan syukur bergema di antara bukit-bukit, mengingatkan bahwa desa ini bukan hanya sekadar tempat tinggal, tetapi juga rumah bagi sejarah yang penuh makna.
(Jiwangwe+Imajinasi Penulis)
😁😁😁🙏🙏🙏
Tidak ada komentar:
Posting Komentar