MUSIM DURIAN DAN PATROLI TENGAH MALAM
Desa Durian Lembah subur, tanahnya gembur, dan pohon durian tumbuh menjulang di sana-sini. Ketika musim durian tiba, desa ini seolah berubah menjadi medan perang kecil. Bukan perang dengan senjata, tapi perang berebut buah durian yang jatuh dari pohon.
Pak Karsa, seorang petani durian yang terkenal sabar, setiap musim durian harus rela begadang setiap malam di bawah pohonnya. Sudah berminggu-minggu ia tidak tidur nyenyak. Matanya memerah, kantung matanya seperti dua buah kantong kain yang menggantung di bawah kelopak. Rambutnya kian kusut, kulitnya menguning seperti warna kulit durian yang ia jaga.
Setiap malam, ia duduk di bawah pohonnya sambil membawa lentera kecil. Telinganya terus siaga, mendengar suara "pluk" buah durian jatuh. Namun, sering kali ia kalah cepat. Anak-anak kecil dan beberapa warga dewasa yang seharusnya tidur sudah mengendap-endap di sekitar pohonnya. Begitu suara durian jatuh terdengar, mereka berlarian seperti kijang yang melihat mangsa.
"Kamu anak siapa, nih? Kok ngambil durian saya?" tanya Pak Karsa suatu malam, setelah berhasil merebut kembali sebuah durian yang hampir dibawa kabur.
"Ah, durian kan jatuh sendiri, Pak. Siapa cepat, dia dapat!" jawab anak itu dengan senyum tanpa dosa.
Pak Karsa hanya bisa menghela napas. Ia tahu, bukan hanya anak-anak yang seperti itu. Beberapa warga dewasa bahkan lebih parah. Siang hari mereka menjual durian miliknya yang diambil tanpa izin. Malamnya, mereka malah patroli ke kebun orang lain.
"Kopi saya tak lagi panen baik, sebab pohon durian ini. Tapi saat panen durian, saya malah tak bisa menikmati hasilnya," gumam Pak Karsa kepada istrinya, Bu Karsa, sambil memijat betis yang pegal.
Musim durian di desa itu memang seperti festival liar. Para pemilik pohon durian, seperti Pak Karsa, sering tidak kebagian buah mereka sendiri. Bahkan, buah-buah mentah sekalipun sering dipetik lalu dijual murah di pasar. "Durian lundang" itu dijual sebelum sempat masak di pohon.
Suatu pagi, Pak Karsa mendapati pohonnya kosong melompong. Semua buah durian sudah diambil entah siapa. Ia hanya bisa duduk di bawah pohonnya sambil mengusap wajah yang lelah. "Tak ada bedanya saya yang menanam dengan yang patroli," gumamnya getir.
Kabar ini akhirnya sampai ke kepala desa, Pak Jalil. Ia mengumpulkan semua warga di balai desa.
"Saudara-saudara, kita semua tahu durian adalah anugerah dari Tuhan. Tapi, bukankah anugerah itu harus kita syukuri, bukan kita rebutkan? Kasihan para petani durian yang sudah susah payah menanam dan merawat pohonnya. Kalau terus seperti ini, kita tidak akan maju," kata Pak Jalil dengan nada tegas.
Warga hanya saling pandang. Beberapa mulai menunduk, merasa malu.
"Mulai sekarang, siapa pun yang ingin mengambil durian dari pohon milik orang lain, harus izin dulu. Kalau ada yang melanggar, akan kena sanksi. Kita hidup di desa ini bersama-sama, bukan untuk saling berebut seperti hewan di hutan."
Sejak saat itu, kebiasaan buruk di Desa Durian Lembah perlahan mulai berubah. Anak-anak diajarkan untuk menghormati hak orang lain. Para pemilik pohon durian juga lebih lega, karena mereka akhirnya bisa menikmati hasil kerja keras mereka sendiri.
Musim durian tetap menjadi momen yang dinanti, tapi kini tanpa rebutan, tanpa "patroli malam", dan tanpa hati yang merasa dirugikan. Desa itu kembali damai, dan Pak Karsa akhirnya bisa tidur nyenyak di malam hari.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar