Sabtu, 15 Februari 2025

KISAH PERJALANAN USMAN ALAMSYAH

KISAH PERJALANAN USMAN ALAMSYAH 

Di sebuah desa kecil bernama Lubuk Alai, di bawah langit kelabu yang kerap dihiasi kabut pagi, lahirlah seorang anak laki-laki pada tanggal 19 Januari 1983. Bayi itu diberi nama Usman Alamsyah, namun orang-orang di sekitarnya lebih akrab memanggilnya U'K. Sebuah nama yang kelak membawa makna lebih dari sekadar panggilan.

Usman lahir tanpa pernah melihat wajah ayahnya, Iliyas bin Yahya. Takdir telah menuliskan skenario hidup yang getir sejak awal bagi bayi mungil itu. Ia datang ke dunia bukan dalam hangatnya dekapan ayah, melainkan dalam keheningan yang menyisakan jejak kehilangan. Ketika ia lahir, tak ada darah yang mengiringi kehadirannya, hanya cairan kuning menyerupai obat, mungkin karena sang ibu, Iman Caya, terlalu lemah dan harus disuntik berbagai vitamin demi mempertahankan kehidupannya dan sang anak.

Sejak kecil, Usman tumbuh dalam pelukan kasih seorang ibu dan kakak-kakaknya. Kakak tertuanya, Susilawati, seringkali menggantikan peran ayah yang tak pernah ia kenal. Ada juga Lamcaya, sang kakak kedua, yang selalu menjaganya, serta Nata Kusuma, sang kakak ketiga yang menjadi penopang di saat-saat sulit. Namun, mereka semua tahu bahwa tidak ada yang benar-benar bisa menggantikan sosok seorang ayah.

Hari-hari kecilnya penuh dengan perjuangan. Ketika sang ibu harus pergi ke kebun untuk bekerja, Usman kecil pernah ditinggalkan menangis. Susilawati dan Lamcaya, dengan segala kepolosan mereka, mencoba menenangkan sang adik dengan membuat pengganti susu. Mereka menumbuk beras dengan jelapang hingga menjadi tepung, mencampurnya dengan air dan gula, lalu memberikannya kepada Usman. Makanan sederhana itu bukan hanya menjadi penyambung hidup, tetapi juga bukti kasih sayang yang tulus.

Namun, kisah paling kelam dalam kehidupan Usman bermula jauh sebelum ia mampu mengingat, ketika ayahnya berpulang karena rabies. Iliyas, seorang pria tangguh dari Lubuk Alai, digigit anjing gila. Sayangnya, ia menyepelekan gigitan itu dan hanya mau menerima suntikan obat luka, bukan vaksin rabies. Waktu berlalu, dan dalam tiga bulan, penyakit itu mulai menunjukkan taringnya. Ayah Usman mulai takut pada angin, cahaya terang, dan perlahan-lahan tubuhnya melemah. Hingga akhirnya, ia menghembuskan napas terakhir di Rumah Sakit Lubuk Linggau. Saat itu, Susilawati, yang masih kecil, bahkan belum mampu membuka pintu untuk mendengar kabar duka yang datang.

Usman tumbuh dengan cerita tentang ayahnya yang hanya bisa ia dengar dari bisikan keluarga. Ia membayangkan sosok itu dalam mimpinya, menggambar wajah yang tak pernah ia lihat, dan bertanya-tanya seperti apa rasanya memiliki seorang ayah. Namun, ia tidak larut dalam kesedihan. Hidup telah mengajarkannya bahwa kehilangan bukan alasan untuk berhenti berjalan.

Dibesarkan dalam kesederhanaan, U'K tumbuh menjadi anak yang kuat dan penuh semangat. Ia belajar dari setiap kepedihan yang menimpanya, menjadikannya bahan bakar untuk melangkah maju. Ia memahami bahwa meski ia tak pernah merasakan belaian seorang ayah, ia memiliki cinta yang luar biasa dari ibu dan saudara-saudarinya. Dan itu cukup untuk membuatnya terus berjuang.

Perjalanan hidup Usman Alamsyah bukanlah sekadar kisah sedih. Ia adalah bukti bahwa luka dan kehilangan dapat menjadi batu pijakan untuk berdiri lebih kokoh. Bahwa kasih sayang tidak selalu hadir dalam bentuk yang sempurna, tetapi tetap bisa menjadi cahaya dalam kegelapan. Dan bahwa seorang anak yang lahir tanpa seorang ayah, tetap bisa tumbuh menjadi sosok yang menginspirasi dunia.

Tidak ada komentar:

ES BALON DAN MIMPI SEORANG ANAK KECIL

ES BALON DAN MIMPI SEORANG ANAK KECIL Di sebuah desa kecil yang dikelilingi perbukitan hijau, seorang bocah bernama Usman Alamsyah tumbuh de...