Selasa, 02 September 2025

Hujan di Ujung Doa (Cerpen)


Hujan di Ujung Doa
-----------------------------

Di sebuah desa kecil di kaki bukit, hiduplah seorang lelaki bernama Harun. Sejak muda, ia bercita-cita ingin mengubah nasib keluarganya. Namun, kehidupan selalu memberinya jalan yang tak mudah. Sawahnya sering gagal panen karena hama, ternaknya mati saat musim kemarau, bahkan anak pertamanya jatuh sakit dan harus berobat ke kota dengan biaya besar.

Sering kali, Harun duduk di teras rumah bambunya, memandangi langit. “Apakah ini takdirku, Ya Allah? Apakah hidupku akan selamanya begini?” gumamnya lirih.

Namun di balik keluh kesah itu, Harun tidak pernah berhenti berusaha. Setiap pagi, ia tetap turun ke sawah, menanam kembali benih jagung meski tahu tanahnya kerap ditinggalkan hujan. Setiap malam, ia tidak pernah lupa menengadahkan tangan, berdoa agar keluarganya diberi kekuatan.

Suatu sore, seorang tetangga yang lebih muda berkata kepadanya, “Pak Harun, untuk apa terus bekerja? Toh nasib tidak pernah berpihak pada kita. Lebih baik pasrah saja.”

Harun tersenyum, lalu menjawab pelan, “Nak, pasrah bukan berarti berhenti berusaha. Ikhlas bukan berarti menyerah. Lihatlah nelayan di sungai itu, ia tahu tak semua jala akan penuh ikan, tapi tetap saja ia melabuhkannya. Karena di situlah doa bertemu usaha.”

Hari-hari terus berjalan. Perlahan, sawah Harun mulai menghijau lagi. Meski hasil panennya tak selalu melimpah, ia merasa hatinya lebih tenang. Ia menerima bahwa takdir adalah rahasia, sementara tugasnya hanya berjalan di atasnya dengan ikhlas.

Suatu malam, ketika hujan deras turun setelah kemarau panjang, Harun menatap langit dengan mata basah. “Terima kasih, Ya Allah… Engkau memang menguji, tapi tak pernah benar-benar meninggalkan.”

Sejak saat itu, Harun menjalani hidup dengan damai. Ia tetap berusaha, tetap berdoa, namun hatinya tak lagi memberontak pada nasib. Ia tahu, kebahagiaan bukan soal banyaknya hasil, melainkan ketulusan menerima takdir sambil terus melangkah.

Dan dari wajah Harun, orang-orang desa belajar satu hal: bahwa ikhlas adalah cahaya yang membuat jalan paling gelap pun terasa mungkin untuk dilewati.

Takdir yang Kupeluk dengan Ikhlas (Puisi)


Takdir yang Kupeluk dengan Ikhlas
 ----------------------------------------------------

Langkah ini kadang menapak di jalan terang,
kadang pula terperosok dalam lumpur gelap.
Takdir datang seperti hujan yang tak bisa ditolak,
namun tanganku tetap menengadah,
mencari doa di sela rintik yang jatuh.

Nasib berbisik dari balik jendela malam,
"Aku bukan musuh, hanya cermin perjuanganmu."
Aku pun belajar merajut sabar,
seperti petani yang tetap menanam,
meski awan hitam mengancam sawahnya.

Ikhlas… bukan berarti berhenti melangkah,
tetapi menerima arah angin,
sambil tetap mengemudikan layar perahu.
Sebab doa adalah dayung,
dan usaha adalah layar yang menolak karam.

Wahai takdir,
jika engkau pahit, biarlah aku telan dengan senyum,
sebab setiap kepahitan menyimpan obat,
dan setiap luka adalah guru yang bijak.

Aku percaya,
di balik jalan terjal yang menggores kaki,
ada taman teduh tempat jiwa beristirahat.
Dan di ujung doa yang kusulam setiap malam,
Allah menyimpan jawaban,
yang selalu lebih indah dari dugaanku.

Dari Kandungan hingga Camat (Puisi)



Dari Kandungan hingga Camat
----------------------------------------------

Dalam sunyi rahim,
empat bulan aku berdenyut,
sudah ditinggal bayang seorang ayah—
tinggal air mata ibu yang berbicara pada malam,
berkata lirih pada janin yang belum sempat menatap dunia:
"Nak, kau harus lahir dengan keberanian seorang pejuang."

Aku pun lahir tanpa sosok tangan lelaki
yang biasanya jadi tiang rumah;
rumahku retak, tapi doa ibu menjahitnya dengan benang sabar.

Kecilku bukan diisi dongeng peri,
melainkan kedondong yang kuikat dalam kantong lusuh.
Aku berdiri di depan sekolah dasar,
menjual manis asam buah itu
agar huruf-huruf di buku tak jadi asing bagiku.
Kedondong itu seakan berbisik:
"Pergilah ke kelas, aku menukar gigiku dengan huruf A-B-C."

Saat teman-teman bermain bola di lapangan,
aku menjinjing Termos es balon warna-warni.
Bola es itu berteriak ceria:
"Kami akan mencair, tapi ilmu di kepalamu takkan pernah hilang!"
Aku pun tersenyum pahit,
anak SD yang tahu arti lapar lebih dulu daripada arti liburan.

SMP datang seperti hutan lebat,
dan aku masuk dengan motor tua yang ringkih.
Bukan motor untuk main,
melainkan untuk jadi ojek upahan kopi dari kebun.
Biji kopi menatapku dengan mata merahnya,
seolah berkata:
"Kecillah tubuhmu, tapi punggungmu lebih kuat daripada gunung."

SMA, aku berdagang cabe merah,
pedasnya bukan sekadar rasa—
tapi perlawanan pada nasib.
Cabe itu menyala dalam karung,
menyalakan tekad dalam dadaku:
"Jangan menyerah, Nak, kepedasan ini adalah bara yang menempamu."

Kuliah, aku bukan mahasiswa yang hanya membawa buku,
aku juga membawa piber ikan.
Di pasar basah, ikan berloncatan,
seolah menyanyikan lagu perjuangan:
"Kami rela diperdagangkan, asal kau bisa berenang dalam lautan ilmu."

Dan akhirnya…
toga menutupi rambutku,
bukan sekali, bukan dua kali,
tapi lima kali aku diwisuda.
Setiap kain hitam toga itu,
aku bayangkan sebagai sayap ayah yang tak pernah ada—
dan aku terbang, bukan untukku,
tapi untuk doa ibu yang tak pernah padam.

Kini aku berdiri,
sebagai guru yang menulis huruf pertama di papan tulis,
sebagai kepala sekolah yang menjaga ratusan mimpi,
dan akhirnya sebagai camat—
pelayan masyarakat,
yang pernah berangkat dari kedondong, es balon, kopi, cabe,
dan ikan.

Aku berdiri di depan cermin,
dan di balik wajahku yang tegar,
aku masih melihat seorang bocah kecil
yang berbisik pada diri sendiri:
"Tak punya ayah bukan berarti tak punya masa depan…
aku adalah anak doa,
dan doa itu lebih kuat daripada takdir yang coba mematahkan."

Hujan di Ujung Doa (Cerpen)

Hujan di Ujung Doa ----------------------------- Di sebuah desa kecil di kaki bukit, hiduplah seorang lelaki bernama Harun. Sejak muda, ia b...