Selasa, 02 September 2025

Dari Kandungan hingga Camat (Puisi)



Dari Kandungan hingga Camat
----------------------------------------------

Dalam sunyi rahim,
empat bulan aku berdenyut,
sudah ditinggal bayang seorang ayah—
tinggal air mata ibu yang berbicara pada malam,
berkata lirih pada janin yang belum sempat menatap dunia:
"Nak, kau harus lahir dengan keberanian seorang pejuang."

Aku pun lahir tanpa sosok tangan lelaki
yang biasanya jadi tiang rumah;
rumahku retak, tapi doa ibu menjahitnya dengan benang sabar.

Kecilku bukan diisi dongeng peri,
melainkan kedondong yang kuikat dalam kantong lusuh.
Aku berdiri di depan sekolah dasar,
menjual manis asam buah itu
agar huruf-huruf di buku tak jadi asing bagiku.
Kedondong itu seakan berbisik:
"Pergilah ke kelas, aku menukar gigiku dengan huruf A-B-C."

Saat teman-teman bermain bola di lapangan,
aku menjinjing Termos es balon warna-warni.
Bola es itu berteriak ceria:
"Kami akan mencair, tapi ilmu di kepalamu takkan pernah hilang!"
Aku pun tersenyum pahit,
anak SD yang tahu arti lapar lebih dulu daripada arti liburan.

SMP datang seperti hutan lebat,
dan aku masuk dengan motor tua yang ringkih.
Bukan motor untuk main,
melainkan untuk jadi ojek upahan kopi dari kebun.
Biji kopi menatapku dengan mata merahnya,
seolah berkata:
"Kecillah tubuhmu, tapi punggungmu lebih kuat daripada gunung."

SMA, aku berdagang cabe merah,
pedasnya bukan sekadar rasa—
tapi perlawanan pada nasib.
Cabe itu menyala dalam karung,
menyalakan tekad dalam dadaku:
"Jangan menyerah, Nak, kepedasan ini adalah bara yang menempamu."

Kuliah, aku bukan mahasiswa yang hanya membawa buku,
aku juga membawa piber ikan.
Di pasar basah, ikan berloncatan,
seolah menyanyikan lagu perjuangan:
"Kami rela diperdagangkan, asal kau bisa berenang dalam lautan ilmu."

Dan akhirnya…
toga menutupi rambutku,
bukan sekali, bukan dua kali,
tapi lima kali aku diwisuda.
Setiap kain hitam toga itu,
aku bayangkan sebagai sayap ayah yang tak pernah ada—
dan aku terbang, bukan untukku,
tapi untuk doa ibu yang tak pernah padam.

Kini aku berdiri,
sebagai guru yang menulis huruf pertama di papan tulis,
sebagai kepala sekolah yang menjaga ratusan mimpi,
dan akhirnya sebagai camat—
pelayan masyarakat,
yang pernah berangkat dari kedondong, es balon, kopi, cabe,
dan ikan.

Aku berdiri di depan cermin,
dan di balik wajahku yang tegar,
aku masih melihat seorang bocah kecil
yang berbisik pada diri sendiri:
"Tak punya ayah bukan berarti tak punya masa depan…
aku adalah anak doa,
dan doa itu lebih kuat daripada takdir yang coba mematahkan."

Tidak ada komentar:

Hujan di Ujung Doa (Cerpen)

Hujan di Ujung Doa ----------------------------- Di sebuah desa kecil di kaki bukit, hiduplah seorang lelaki bernama Harun. Sejak muda, ia b...