Selasa, 09 September 2025

Doa Pembuka Rezeki dan Terhindar Musibah


Doa Pembuka Rezeki dan Terhindar Musibah 

🌿 Doa dari Al-Qur’an

Doa Memohon Rezeki yang Luas dan Berkah
📖 QS. Al-Maidah: 114

"Allahumma rabbana anzil 'alaina ma'idatan minas-samai takunu lana 'idalliawwalina wa akhirina wa ayatan minka warzuqna wa anta khairur-raziqin."
Artinya:
“Ya Allah, turunkanlah kepada kami hidangan dari langit yang akan menjadi hari raya bagi kami, orang-orang yang bersama kami, dan yang datang setelah kami, serta menjadi tanda kekuasaan-Mu. Berilah kami rezeki, Engkaulah sebaik-baik pemberi rezeki.”

Doa Mohon Rezeki dan Ampunan
📖 QS. Nuh: 10–12

"Rabbighfir lii waliwaalidayya waliman dakholaa baitiya mu'minan walilmu’minina walmu’minaat. Faqultustaghfiruu rabbakum innahu kaana ghaffaaran, yursilis-samaa’ 'alaikum midraaran, wa yumdidkum bi amwaalin wa baneena wa yaj’al lakum jannaatin wa yaj’al lakum anhaaraa."
Artinya:
“Mintalah ampun kepada Tuhanmu, sesungguhnya Dia Maha Pengampun. Niscaya Dia akan menurunkan hujan yang lebat dari langit, memperbanyak harta dan anak-anakmu, mengadakan kebun-kebun untukmu, dan mengadakan sungai-sungai di dalamnya.”

Doa Mohon Keberkahan dalam Rezeki
📖 QS. Al-A’raf: 96

"Walaw anna ahlal-quraa aamanu wattaqaw la fatahna 'alaihim barakaatim minas-samaa’i wal-ardh."
Artinya:
“Sekiranya penduduk negeri beriman dan bertakwa, niscaya Kami akan melimpahkan kepada mereka keberkahan dari langit dan bumi.”

🌹 Doa dari Hadis Nabi ﷺ

Doa Mohon Keberkahan Rezeki

"Allahumma inni as’aluka rizqan thayyiban, wa ‘ilman naafi’an, wa ‘amalan mutaqabbalan."
Artinya:
“Ya Allah, aku memohon kepada-Mu rezeki yang halal lagi baik, ilmu yang bermanfaat, dan amal yang diterima.” (HR. Ibn Majah)

Doa Dibebaskan dari Kesulitan & Utang

"Allahumma inni a’udzu bika minal-hammi wal-hazani, wal-‘ajzi wal-kasali, wal-bukhli wal-jubni, wa dhala’id-dayni wa ghalabatir-rijaal."
Artinya:
“Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari kesusahan dan kesedihan, dari kelemahan dan kemalasan, dari sifat kikir dan pengecut, dari lilitan utang, dan dari tekanan orang-orang yang menzalimi.” (HR. Bukhari & Muslim)

Doa Dijauhkan dari Musibah & Bahaya

"Bismillahil-ladzi laa yadhurru ma’asmihi syai’un fil-ardhi wa laa fis-samaai wa huwa sami’ul-‘alim."
Artinya:
“Dengan nama Allah yang bila disebut, tidak ada sesuatu pun di bumi maupun di langit yang dapat membahayakan. Dia Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (HR. Abu Dawud, Tirmidzi)

🌸 Amalan Pelengkap untuk Keberkahan Usaha

Perbanyak istighfar (100x sehari).

Sedekah sebelum berangkat usaha, meski kecil.

Shalat Dhuha → doa khusus shalat dhuha:

“Allahumma innad-duha’a duha’uka, wal-bahaa’a bahaa’uka, wal-jamaala jamaaluka, wal-quwwata quwwatuka, wal-qudrata qudratuka, wal-‘ismata ‘ismatuka. Allahumma in kaana rizqii fissamaa’i fa anzilhu, wa in kaana fil-ardhi fa akhrijhu, wa in kaana ba’idan fa qarribhu, wa in kaana qariiban fa yassirhu, wa in kaana qaliilan fa katsirhu, wa in kaana katsiran fa baarik lii fiihi.”

🌿 Dengan doa, istighfar, sedekah, dan usaha yang sesuai syariah, insyaAllah Allah akan buka jalan keberkahan meski bisnis terlihat biasa-biasa saja.


Jumat, 05 September 2025

Makna Hutang Dalam Usaha

Makna Hutang Dalam Usaha 
--------------------------------------------

Bagi orang kaya, utang bukan sekadar beban, melainkan alat strategis untuk mengembangkan kekayaan. Mereka meminjam dengan tujuan jelas, penuh perencanaan, dan diarahkan pada hal-hal produktif yang bisa mendatangkan keuntungan di masa depan.

Utang masih sering dipandang sebagai sesuatu yang negatif. Banyak orang mengaitkannya dengan masalah finansial, beban pikiran, hingga ketidaktenangan hidup. 

Tidak sedikit yang menganggap bahwa semakin sedikit utang, semakin aman kondisi keuangan seseorang.

Namun di sisi lain, fakta di lapangan menunjukkan hal berbeda. Justru banyak orang kaya memiliki utang dalam jumlah besar. 

Lalu, kenapa orang kaya banyak utang? Apa yang membuat mereka memilih kondisi finansial seperti itu?

Kenapa Orang Kaya Banyak Utang?
Alasannya terletak pada cara mereka memandang dan memanfaatkan utang. Orang kaya tidak menganggap utang sebagai beban, melainkan sebagai alat strategis untuk menambah kekayaan.

Mereka menggunakan utang untuk hal-hal yang bisa menghasilkan keuntungan lebih besar di masa depan. 

Dengan kata lain, bunga dan cicilan yang mereka bayarkan dianggap sepadan, karena dana pinjaman tersebut bisa memperbesar usaha, menambah aset, atau membuka peluang investasi baru.

Sebagai contoh, seorang pengusaha lebih memilih berutang untuk membuka cabang bisnis ketimbang menunggu modal terkumpul. 

Dari cabang baru itu, ia bisa menghasilkan laba tambahan yang menutupi cicilan sekaligus menambah keuntungan. 

Rahasia Orang Kaya Mengelola Utang
Perbedaan utama antara orang kaya dan kebanyakan orang dalam urusan utang ada pada pengelolaan. 

Mereka sangat terukur dalam mengambil keputusan berutang. Prinsip yang mereka pegang antara lain:

Memastikan hasil investasi lebih tinggi daripada biaya bunga.
Menentukan tujuan utang yang jelas, seperti untuk modal usaha, hingga pembelian aset produktif.
Menyesuaikan tenor pinjaman dengan arus kas.
Menjaga disiplin membayar cicilan tepat waktu.
Selain itu, orang kaya juga mempunyai cadangan dana darurat untuk membayar cicilan ketika terjadi hambatan arus kas. 

Mereka memantau rasio utang terhadap pendapatan agar tetap sehat. 

Dengan strategi ini, utang tidak berubah menjadi jebakan, melainkan menjadi bagian dari rencana finansial jangka panjang.

Bedanya Utang Produktif dan Utang Konsumtif
Orang kaya pada umumnya memiliki utang produktif. Mereka menggunakan dana hasil pinjaman bukan untuk kesenangan sesaat, melainkan untuk sesuatu yang bisa menambah penghasilan di masa depan.

Sebaliknya, banyak orang terjebak pada utang konsumtif. Pinjaman dipakai hanya untuk memenuhi gaya hidup, seperti membeli gadget terbaru, berlibur ke luar negeri, atau membeli kendaraan mewah tanpa tujuan bisnis.

Selasa, 02 September 2025

Hujan di Ujung Doa (Cerpen)


Hujan di Ujung Doa
-----------------------------

Di sebuah desa kecil di kaki bukit, hiduplah seorang lelaki bernama Harun. Sejak muda, ia bercita-cita ingin mengubah nasib keluarganya. Namun, kehidupan selalu memberinya jalan yang tak mudah. Sawahnya sering gagal panen karena hama, ternaknya mati saat musim kemarau, bahkan anak pertamanya jatuh sakit dan harus berobat ke kota dengan biaya besar.

Sering kali, Harun duduk di teras rumah bambunya, memandangi langit. “Apakah ini takdirku, Ya Allah? Apakah hidupku akan selamanya begini?” gumamnya lirih.

Namun di balik keluh kesah itu, Harun tidak pernah berhenti berusaha. Setiap pagi, ia tetap turun ke sawah, menanam kembali benih jagung meski tahu tanahnya kerap ditinggalkan hujan. Setiap malam, ia tidak pernah lupa menengadahkan tangan, berdoa agar keluarganya diberi kekuatan.

Suatu sore, seorang tetangga yang lebih muda berkata kepadanya, “Pak Harun, untuk apa terus bekerja? Toh nasib tidak pernah berpihak pada kita. Lebih baik pasrah saja.”

Harun tersenyum, lalu menjawab pelan, “Nak, pasrah bukan berarti berhenti berusaha. Ikhlas bukan berarti menyerah. Lihatlah nelayan di sungai itu, ia tahu tak semua jala akan penuh ikan, tapi tetap saja ia melabuhkannya. Karena di situlah doa bertemu usaha.”

Hari-hari terus berjalan. Perlahan, sawah Harun mulai menghijau lagi. Meski hasil panennya tak selalu melimpah, ia merasa hatinya lebih tenang. Ia menerima bahwa takdir adalah rahasia, sementara tugasnya hanya berjalan di atasnya dengan ikhlas.

Suatu malam, ketika hujan deras turun setelah kemarau panjang, Harun menatap langit dengan mata basah. “Terima kasih, Ya Allah… Engkau memang menguji, tapi tak pernah benar-benar meninggalkan.”

Sejak saat itu, Harun menjalani hidup dengan damai. Ia tetap berusaha, tetap berdoa, namun hatinya tak lagi memberontak pada nasib. Ia tahu, kebahagiaan bukan soal banyaknya hasil, melainkan ketulusan menerima takdir sambil terus melangkah.

Dan dari wajah Harun, orang-orang desa belajar satu hal: bahwa ikhlas adalah cahaya yang membuat jalan paling gelap pun terasa mungkin untuk dilewati.

Takdir yang Kupeluk dengan Ikhlas (Puisi)


Takdir yang Kupeluk dengan Ikhlas
 ----------------------------------------------------

Langkah ini kadang menapak di jalan terang,
kadang pula terperosok dalam lumpur gelap.
Takdir datang seperti hujan yang tak bisa ditolak,
namun tanganku tetap menengadah,
mencari doa di sela rintik yang jatuh.

Nasib berbisik dari balik jendela malam,
"Aku bukan musuh, hanya cermin perjuanganmu."
Aku pun belajar merajut sabar,
seperti petani yang tetap menanam,
meski awan hitam mengancam sawahnya.

Ikhlas… bukan berarti berhenti melangkah,
tetapi menerima arah angin,
sambil tetap mengemudikan layar perahu.
Sebab doa adalah dayung,
dan usaha adalah layar yang menolak karam.

Wahai takdir,
jika engkau pahit, biarlah aku telan dengan senyum,
sebab setiap kepahitan menyimpan obat,
dan setiap luka adalah guru yang bijak.

Aku percaya,
di balik jalan terjal yang menggores kaki,
ada taman teduh tempat jiwa beristirahat.
Dan di ujung doa yang kusulam setiap malam,
Allah menyimpan jawaban,
yang selalu lebih indah dari dugaanku.

Dari Kandungan hingga Camat (Puisi)



Dari Kandungan hingga Camat
----------------------------------------------

Dalam sunyi rahim,
empat bulan aku berdenyut,
sudah ditinggal bayang seorang ayah—
tinggal air mata ibu yang berbicara pada malam,
berkata lirih pada janin yang belum sempat menatap dunia:
"Nak, kau harus lahir dengan keberanian seorang pejuang."

Aku pun lahir tanpa sosok tangan lelaki
yang biasanya jadi tiang rumah;
rumahku retak, tapi doa ibu menjahitnya dengan benang sabar.

Kecilku bukan diisi dongeng peri,
melainkan kedondong yang kuikat dalam kantong lusuh.
Aku berdiri di depan sekolah dasar,
menjual manis asam buah itu
agar huruf-huruf di buku tak jadi asing bagiku.
Kedondong itu seakan berbisik:
"Pergilah ke kelas, aku menukar gigiku dengan huruf A-B-C."

Saat teman-teman bermain bola di lapangan,
aku menjinjing Termos es balon warna-warni.
Bola es itu berteriak ceria:
"Kami akan mencair, tapi ilmu di kepalamu takkan pernah hilang!"
Aku pun tersenyum pahit,
anak SD yang tahu arti lapar lebih dulu daripada arti liburan.

SMP datang seperti hutan lebat,
dan aku masuk dengan motor tua yang ringkih.
Bukan motor untuk main,
melainkan untuk jadi ojek upahan kopi dari kebun.
Biji kopi menatapku dengan mata merahnya,
seolah berkata:
"Kecillah tubuhmu, tapi punggungmu lebih kuat daripada gunung."

SMA, aku berdagang cabe merah,
pedasnya bukan sekadar rasa—
tapi perlawanan pada nasib.
Cabe itu menyala dalam karung,
menyalakan tekad dalam dadaku:
"Jangan menyerah, Nak, kepedasan ini adalah bara yang menempamu."

Kuliah, aku bukan mahasiswa yang hanya membawa buku,
aku juga membawa piber ikan.
Di pasar basah, ikan berloncatan,
seolah menyanyikan lagu perjuangan:
"Kami rela diperdagangkan, asal kau bisa berenang dalam lautan ilmu."

Dan akhirnya…
toga menutupi rambutku,
bukan sekali, bukan dua kali,
tapi lima kali aku diwisuda.
Setiap kain hitam toga itu,
aku bayangkan sebagai sayap ayah yang tak pernah ada—
dan aku terbang, bukan untukku,
tapi untuk doa ibu yang tak pernah padam.

Kini aku berdiri,
sebagai guru yang menulis huruf pertama di papan tulis,
sebagai kepala sekolah yang menjaga ratusan mimpi,
dan akhirnya sebagai camat—
pelayan masyarakat,
yang pernah berangkat dari kedondong, es balon, kopi, cabe,
dan ikan.

Aku berdiri di depan cermin,
dan di balik wajahku yang tegar,
aku masih melihat seorang bocah kecil
yang berbisik pada diri sendiri:
"Tak punya ayah bukan berarti tak punya masa depan…
aku adalah anak doa,
dan doa itu lebih kuat daripada takdir yang coba mematahkan."

Jumat, 14 Maret 2025

NAMA YANG MENJADI TAKDIR


Matahari bersinar malu-malu di Desa Lubuk Alai Kecamatan Sindang Beliti Ulu. Angin berhembus lembut, seakan membelai dedaunan yang menari pelan. Di sebuah rumah panggung yang sederhana, tangis bayi pecah, memenuhi ruangan kecil yang dipenuhi haru dan kebahagiaan.

Bayi itu lahir dari rahim seorang ibu yang penuh kasih sayang. Ia mungil, berkulit merah, dan matanya berkilau seperti bintang di langit malam. Sang kakek, seorang lelaki tua dengan janggut putih panjang, menggendongnya dengan hati-hati. Tatapannya penuh arti, seakan ia sedang membaca takdir cucunya di langit yang luas.

"Anak ini akan menjadi lelaki besar," gumam sang kakek. Ia menamai bayi itu "Usman Maku Alam", sebuah nama yang sarat makna—Usman yang memangku alam. Semua orang mengangguk setuju. Nama itu terasa gagah, kuat, seolah bayi ini telah dipersiapkan untuk mengemban tugas besar di dunia.

Namun, dunia berkata lain.

Tangisan Tanpa Sebab

Hari-hari berlalu, bayi itu tumbuh. Namun, ada satu hal yang membuat hati sang bunda resah—Usman kecil sering menangis tanpa sebab. Siang, malam, pagi, senja—tangisnya tak kunjung reda. Seakan ada sesuatu yang menekan jiwanya, membebani pundak kecilnya dengan sesuatu yang tak terlihat.

Sang bunda tak tinggal diam. Dengan hati yang berat, ia berjalan jauh ke Desa Belitar. Di sana, tinggal seorang perempuan tua yang dikenal dengan nama Nenek Kat Ghan—seorang yang bijak dan memiliki kepekaan batin yang luar biasa.

Setelah menatap bayi itu lama, mata Nenek Kat Ghan menyipit. Angin tiba-tiba berhembus lebih kencang, seakan alam ikut bicara.

"Anak ini tidak kuat memangku alam," ucapnya pelan, tapi setiap kata terasa begitu berat. "Namanya terlalu besar untuk jiwanya yang masih kecil. Jika terus begini, ia akan selalu gelisah, hatinya akan terus bergejolak."

Sang bunda menahan napas. Hatinya bergetar.

"Lalu, apa yang harus kami lakukan, Nek?" tanyanya dengan suara bergetar.

Nenek Kat Ghan menghela napas panjang. Dengan suara lembut namun penuh ketegasan, ia berkata, "Ubah namanya. Biarkan ia tetap menjadi Usman, tetapi beri ia tambahan cahaya. Beri ia keseimbangan. Namailah dia Usman Alamsyah—Usman yang bersahabat dengan alam, bukan memangkunya.”

Sang bunda mengangguk. Hari itu juga, nama Usman Maku Alam berubah menjadi Usman Alamsyah.

Ajaib. Sejak saat itu, tangisannya mereda. Ia tumbuh lebih sehat, lebih kuat, dan lebih ceria.

Namun, nama panggilannya tetap melekat. Di desa, lidah-lidah kecil teman-temannya sulit menyebut namanya dengan jelas. "Mangkuk," begitu mereka memanggilnya. Namun, seiring waktu, panggilan itu berubah menjadi "U'k"—sebuah nama yang lebih akrab, lebih lembut, dan lebih mencerminkan dirinya yang sesungguhnya.

Takdir yang Menuntun

Usman kecil tumbuh menjadi anak yang penuh rasa ingin tahu. Ia suka berlari-lari di sekeliling Rumah, menantang angin yang berhembus kencang. Ia belajar dengan giat, tidak ingin mengecewakan SAng Bunda Karena sejak lahir sudah Yatim.

Tapi hidup bukan tanpa rintangan.

Di sekolah dasar, ia sering diejek karena panggilannya yang aneh. "U'k! U'k! Hahaha, namamu lucu sekali!" tawa teman-temannya sering terdengar.

Namun, ia tidak marah. Tidak pula membalas dengan kemarahan. Sebaliknya, ia tersenyum dan berkata, "Lebih baik namaku lucu, tapi aku pintar. Dari pada namamu keren, tapi kau tidak bisa mengeja namamu sendiri."

Teman-temannya terdiam. Sejak saat itu, mereka tidak lagi mengejeknya. Mereka justru mulai menghormatinya.

Dan dari sana, takdirnya mulai terbentuk.

Terawangan Menjadi Pemimpin

Menurut Nenek Kat Ghan kelak Usman Alamsyah akan tumbuh menjadi pemuda yang kuat. Namanya yang dulu dianggap aneh, kelak akan menjadi simbol kepercayaan. Ia dikenal sebagai orang yang bijaksana, sabar, dan mampu memimpin.

Ia tidak lagi menangis tanpa sebab. Tidak lagi merasa terbebani oleh nama yang terlalu besar. Sebaliknya, ia menemukan kekuatan dalam dirinya—kekuatan untuk membawa perubahan, kekuatan untuk menginspirasi.

Hingga suatu hari nanti, ia akan menjadi pemimpin di tanah kelahirannya sendiri. Sebuah jabatan yang tidak ia cari, tetapi datang kepadanya sebagai takdir yang telah digariskan sejak ia lahir.

Kini, saat ia berdiri di depan masyarakat, ia melihat kembali masa kecilnya—tangisan tanpa sebab, perjalanan menuju Nenek Kat Ghan, nama yang diubah, dan panggilan "U'k" yang tetap melekat.

Ia tersenyum.

Sebab ia tahu, semuanya bukan kebetulan. Semua adalah bagian dari perjalanan menuju takdirnya.

Nama tidak hanya sekadar panggilan. Nama adalah doa. Dan nama, adalah awal dari sebuah cerita besar.

SALAH PAHAM DENGAN KATA KAYO

SALAH PAHAM DENGAN KATA KAYO

Di suatu pagi yang cerah di sebuah desa di Lembak Beliti, Uda Kun, seorang perantau asal Sumatra Barat, sedang duduk di depan rumah panggung sederhana yang ia tempati sementara. Baru seminggu ia merantau ke daerah ini untuk berdagang rendang dan makanan khas Minang lainnya. Namun, ia masih merasa asing dengan bahasa dan kebiasaan masyarakat setempat.

Tiba-tiba, datanglah Bedu, seorang pria asli Lembak Beliti, yang dikenal ramah tapi kadang suka ceplas-ceplos. Bedu datang dengan wajah serius, menggendong ember besar sambil membawa pancingan. Ia berhenti di depan rumah Uda Kun.

"Kun, ayo kayo!" seru Bedu lantang sambil melambaikan tangan.

Mendengar itu, Uda Kun langsung bangkit dari duduknya, menatap Bedu dengan kening berkerut. "Eh, apa maksud kau bilang aku kayo?" tanyanya dengan logat Minang yang kental.

"Iyo, kayo. Cepatlah siap-siap! Kita kayo sekarang!" jawab Bedu, lebih semangat lagi.

Uda Kun semakin bingung. Ia merasa Bedu sedang menyindirnya sebagai orang kaya. Dalam hati, ia berpikir, "Dari mana pula dia tahu aku orang kaya? Duitku saja pas-pasan buat dagang!" Namun, sebagai orang Minang, harga diri harus tetap dijaga.

"Eh, tunggu dulu, Bedu! Aku ini orang biasa, bukannya kayo! Kok kau suka-suka bilang aku kayo? Kau menghina, ya?!" balas Uda Kun dengan nada tinggi, sambil menunjuk Bedu.

Bedu malah bengong mendengar respons Uda Kun. "Hah? Menghina gimana, Kun? Aku cuma ngajak kayo! Kau ini marah-marah kenapa pula?"

Situasi mulai memanas. Bedu mulai emosi karena merasa niat baiknya disalahartikan.

"Kalau kau nggak mau kayo, bilang saja! Jangan pula kau buat ribut pagi-pagi begini!" teriak Bedu sambil menghentakkan embernya ke tanah.

"Aku bilang, aku bukan kayo! Kau itu yang sembarangan ngomong! Kalau aku kayo, sudah beli rumah besar di sini!" bentak Uda Kun, matanya melotot penuh amarah.

Saat perdebatan semakin seru, datanglah Murni, tetangga sebelah rumah yang juga kebetulan kenal baik dengan Bedu. Ia membawa sebakul jemuran sambil melongok ke arah mereka.

"Apa pula ribut-ribut ini pagi-pagi? Memalukan saja kalian!" seru Murni sambil mendekat.

"Ini, si Kun marah-marah karena aku ngajak kayo! Padahal aku cuma mau ngajaknya ke sungai," jelas Bedu dengan wajah merah karena kesal.

"Kau ini, Murni, dengar dia! Dia bilang aku kayo! Mana ada aku orang kaya!" tambah Uda Kun, masih dengan nada tinggi.

Murni langsung menahan tawa, tapi ia mencoba tetap serius karena kedua lelaki itu sudah seperti ayam siap sabung. "Astaga, kalian ini rupanya salah paham besar!"

Murni menghela napas panjang sebelum mulai menjelaskan. "Dengar baik-baik, Kun. Di sini, ‘kayo’ itu artinya pergi ke sungai. Bukan berarti kau orang kaya! Bedu cuma ngajak kau pergi ke sungai, bukan mau bilang kau hartawan!"

Uda Kun terdiam sejenak. Lalu, dengan muka merah padam, ia menatap Bedu. "Jadi... kayo di sini bukan kaya?" tanyanya, memastikan.

"Betul, Kun! Aku cuma mau ngajak kau cari ikan di sungai. Apa pula urusan aku ngomong kau orang kaya!" jawab Bedu dengan nada kesal, tapi lega.

Uda Kun merasa malu setengah mati. Ia menggaruk-garuk kepala yang tidak gatal sambil tertawa kecil. "Ampun, Bedu. Rupanya aku salah tangkap! Hahaha! Kirain kau sedang nyindir aku!"

Bedu akhirnya ikut tertawa, meskipun masih sedikit sebal. "Hadeh, Kun, Kun... lain kali tanya dulu, jangan langsung marah! Dasar orang baru!"

Murni pun tak kuasa menahan tawa lebih lama. "Kalian ini bikin pagi-pagi jadi hiburan gratis saja. Sudahlah, ayo kayo sana! Tapi jangan berantem lagi, ya!"

Akhirnya, Uda Kun dan Bedu berangkat ke sungai bersama, sambil terus saling menggoda. Uda Kun bahkan tak henti-hentinya meminta maaf kepada Bedu.

Sejak kejadian itu, setiap kali Bedu mengajak Uda Kun kayo, mereka berdua pasti tertawa dulu mengingat kesalahpahaman yang konyol itu. Bahkan, cerita mereka jadi bahan lelucon di desa, membuat semua orang terhibur. 

Tamat 

(Hiburan)
😁😁😁🙏🙏🙏

Doa Pembuka Rezeki dan Terhindar Musibah

Doa Pembuka Rezeki dan Terhindar Musibah  🌿 Doa dari Al-Qur’an Doa Memohon Rezeki yang Luas dan Berkah 📖 QS. Al-Maidah: 114 "Allahumm...