Senin, 24 Februari 2025

ES BALON DAN MIMPI SEORANG ANAK KECIL

ES BALON DAN MIMPI SEORANG ANAK KECIL

Di sebuah desa kecil yang dikelilingi perbukitan hijau, seorang bocah bernama Usman Alamsyah tumbuh dengan semangat yang menyala-nyala. Sejak duduk di bangku kelas tiga SD, Usman bukan hanya bintang kelas karena kecerdasannya, tetapi juga anak yang penuh tanggung jawab.

Suatu hari, rumah kecilnya kedatangan benda ajaib—sebuah lemari es yang dibeli oleh sang bunda. Pada masa itu, memiliki lemari es adalah sesuatu yang langka di desanya. Mata Usman berbinar saat melihat bundanya mengeluarkan cetakan kecil berisi air berwarna-warni dari dalamnya. "Nak, kita akan berjualan es balon," ujar sang bunda sambil tersenyum penuh harap.

Es balon adalah sebutan bagi es yang dibekukan dalam kantong plastik kecil, diikat kencang, lalu disajikan dengan berbagai rasa buah. Bagi Usman, ini bukan sekadar es, melainkan peluang untuk membantu keluarganya dan memperoleh uang jajan sendiri.

Setiap pagi sebelum berangkat sekolah, Usman mengambil termos besar berisi es balon dan berangkat ke sekolah dengan dua tugas: belajar dan berjualan. Saat istirahat, ia berjalan dari satu teman ke teman lain, menawarkan es balon dengan senyum lebar. "Es... Es... Balon-balon!" serunya riang. Anak-anak pun berlomba-lomba membeli es buatannya.

Namun, perjuangan Usman tak berhenti di sekolah. Usai pulang, ia menelusuri jalan-jalan desa, berjalan kaki menembus terik matahari, menyusuri pematang sawah, hingga mencapai perbukitan yang dikenal sebagai Dusun Palembang Kecil di Desa Lubuk Alai. Di setiap gelangang judi sabung ayam, ia dengan berani menjajakan dagangannya di antara orang-orang dewasa yang asyik menonton ayam bertarung. Kadang-kadang, ia harus menunggu lama sampai seorang penjudi meliriknya dan membeli es. Namun, Usman tak pernah mengeluh.

Harga es balonnya hanya Rp100,- per bungkus, dan dari setiap es yang terjual, ia menyetor Rp50,- kepada bundanya. Jika 100 es laku terjual, ia berhasil mengumpulkan Rp5.000,- untuk jajan dan menabung sedikit demi sedikit.

Malam itu, saat ia duduk di depan rumah bersama bundanya, ia berkata lirih, "Bu, suatu hari nanti, aku ingin menjadi orang sukses, supaya kita tak perlu berjualan es lagi. Aku ingin membangun rumah besar untuk Ibu dan membeli lemari es yang lebih bagus."

Bunda Usman tersenyum, matanya berkaca-kaca. Ia mengelus kepala putranya dengan penuh kasih sayang. "Nak, kerja keras dan kejujuran akan membawamu ke tempat yang lebih baik. Ibu percaya, suatu hari nanti, kamu akan menggapai impianmu."

Usman menggenggam kata-kata itu erat-erat di dalam hatinya. Es balon mungkin hanya benda kecil yang meleleh dalam genggaman, tetapi usaha dan ketekunannya adalah fondasi kokoh bagi masa depannya. Dan dalam setiap langkah kecilnya, Usman tahu bahwa mimpinya semakin mendekat.

Minggu, 23 Februari 2025

JEJAK DUA SAUDARA DI KEBUN KOPI DAN JAHE PUTIH

JEJAK DUA SAUDARA DI KEBUN KOPI DAN JAHE PUTIH 


Di lereng perbukitan Lubuk Baung, di bawah langit yang biru menghampar luas, dua saudara, Usman Alamsyah dan Kakanda Nata Kusuma, menghabiskan masa kecil mereka di antara rimbunnya pohon kopi dan hamparan kebun jahe putih. Mereka adalah anak yatim yang tumbuh dalam pelukan kasih ibunda, seorang wanita kuat yang selalu mengajarkan mereka arti perjuangan.

Merumput di Kebun Kopi

Suatu hari, ibunda harus menghadiri undangan hajatan di dusun seberang. Usman dan Kakanda Nata Kusuma ditugaskan merumput di kebun kopi yang mereka kelola bersama. Matahari bersinar garang, menyapu dedaunan dengan kehangatan yang menyengat. Usman, yang masih kecil, merasa lelah dan hampir menyerah. Ia duduk di atas gundukan tanah, menyeka keringat yang bercucuran. “Aku tidak kuat lagi, Kakanda…” lirihnya.

Namun, Kakanda Nata Kusuma, dengan tatapan penuh keyakinan, berkata, “Kita tidak boleh menyerah, adikku. Lihatlah pohon-pohon kopi ini, mereka tetap tegak meski diterpa angin kencang dan hujan deras. Kita pun harus seperti mereka.”

Kata-kata itu bagaikan embun pagi di tengah dahaga. Usman kembali bangkit, menggenggam sabit kecilnya, dan bersama kakandanya, mereka merumput hingga selesai. Saat ibunda pulang, ia membawa oleh-oleh jodha basah, penganan dari hajatan yang selalu dinanti.Sore itu, mereka makan dengan penuh kebahagiaan, merasakan hasil dari kerja keras mereka.

Menjaga Kebun Jahe Putih

Saat Kakanda Nata Kusuma duduk di kelas 6 SD dan Usman baru menginjak kelas 1 SD, ibunda menanam jahe putih di sebidang tanah peninggalan ayah. Sayangnya, karena mereka anak yatim, tidak ada yang bisa menjaga kebun itu sepenuhnya. Beruntung, mereka memiliki tetangga kebun yang baik hati, Al Madani yang akrab disapa Bakcikda, dan Aden yang dipanggil Bakcil Mul.

Setiap malam, Usman dan Kakanda Nata Kusuma menginap di pondok kecil Bakcikda. Suasana malam di kebun begitu sunyi, hanya terdengar desiran angin dan nyanyian jangkrik yang bersahut-sahutan. Untuk melindungi jahe putih dari tangan-tangan jahil, mereka membawa senapan angin dan sebilah pedang.

Di tengah malam, mereka berdua berkeliling kebun, menajamkan pendengaran, mengawasi setiap sudut, memastikan tidak ada pencuri yang mengintai. Usman yang masih kecil berusaha tegar, meski kadang langkahnya gemetar di bawah bayang-bayang pohon yang meliuk seperti raksasa kelaparan. Namun, Kakanda Nata Kusuma selalu menggenggam tangannya erat, memberikan keberanian.

Setelah tiga jam berpatroli, mereka kembali ke pondok Bakcikda. Sambil menunggu pagi, mereka belajar mengaji di bawah lentera kecil yang berayun pelan diterpa angin. Suara Bakcikda membimbing mereka, setiap ayat suci mengalir menenangkan hati, seperti aliran sungai yang menyejukkan dahaga.

Hadiah dari Hasil Panen

Bulan demi bulan berlalu, dan akhirnya panen jahe putih tiba. Ibunda menyambut mereka dengan senyum sumringah, matanya berbinar melihat jahe tumbuh subur. Hasil panen dijual, dan sebagai hadiah, Usman dan Kakanda Nata Kusuma diberikan baju baru.

Saat mereka mengenakan baju itu, hati mereka dipenuhi rasa syukur. Itu bukan sekadar kain yang menutupi tubuh, tetapi simbol dari kerja keras, kebersamaan, dan kasih sayang. Mereka belajar bahwa dalam hidup, keberanian dan ketekunan akan selalu membuahkan hasil yang manis.

Di bawah langit yang masih sama, di tanah yang tetap subur, dua saudara itu telah mengukir kenangan, menanam keteguhan, dan memetik kebahagiaan. Sebuah pelajaran berharga yang akan mereka bawa selamanya dalam perjalanan hidup mereka.

PERJALANAN KECIL USMAN ALAMSYAH: Didikan Keras Sang Ibunda

PERJALANAN KECIL USMAN ALAMSYAH: Didikan Keras Sang Ibunda


Hidup adalah perjalanan yang penuh ujian, dan bagi Usman Alamsyah, ujian itu telah dimulai sejak ia masih sangat belia. Tumbuh dalam asuhan seorang ibu yang tangguh, Iman Caya, Usman kecil merasakan kerasnya kehidupan sejak dini. Sang ibu, seorang wanita perkasa yang harus menghidupi dan membesarkan empat anak seorang diri di usia muda, membentuk dirinya menjadi pribadi yang kuat. Tidak ada keluhan, tidak ada kata menyerah. Hanya ada kerja keras dan keteguhan hati.

Ketika Usman Alamsyah memasuki bangku kelas 1 SD, dunia baginya tidak hanya sebatas sekolah dan bermain. Sejak pagi hingga siang, ia adalah seorang murid yang rajin, tetapi begitu lonceng sekolah berbunyi, ia menjelma menjadi seorang pekerja keras. Ibundanya tidak pernah memberikan sesuatu secara cuma-cuma. Jika Usman menginginkan baju baru, ibunya hanya menunjuk ke kebun kopi. Itu adalah isyarat bahwa ia harus bekerja untuk mendapatkan apa yang ia inginkan.

Bersama kakak-kakaknya, Usman kecil menjalani musim panen kopi dengan penuh perjuangan. Setiap anak memiliki beban sesuai dengan kekuatannya. Ayunda Lamcaya membawa satu karung kecil, Kakanda Nata Kusuma satu di kurangi sedikit l, dan Usman sendiri menanggung satu karung tepung penuh biji kopi lalu memasuki dalam berunang.Selesai Panen Kopi l,lalu di jemur di atas Pelapon tempat penjemuran kopi supaya tidak repot saat hujan dan biji kopi lebih kebiruan, untuk memastikan hasil panennya siap dijual. Musim kopi bukan hanya tentang kerja keras, tetapi juga tentang kebersamaan dalam keluarga, berbagi tawa dan lelah di bawah langit senja yang perlahan berubah jingga.

Tak hanya kopi yang menjadi saksi ketangguhan Usman kecil. Suatu hari, ketika Ayunda Susilawati panen jahe, Usman ikut membantu dengan menjadi tenaga upahan, mengangkut jahe dari kebun. Keringat bercucuran di wajahnya yang masih belia, tetapi ia tak mengeluh. Setiap langkah yang ia ambil menuju rumah membawa satu arti: tanggung jawab.

Saat musim kedondong tiba, Usman tidak menyia-nyiakan kesempatan. Dengan penuh semangat, ia membawa buah kedondong ke sekolah dan menjualnya kepada teman-temannya. Tidak ada rasa malu, tidak ada gengsi. Baginya, ini adalah bagian dari perjuangan hidup yang harus ia jalani. Dari hasil penjualan kedondong, ia bisa membantu ibunya dan mendapatkan sedikit uang untuk keperluan sekolah.

Di balik semua kerja keras itu, ada satu pelajaran berharga yang ditanamkan oleh sang ibunda: hidup tidak akan memberikan apa pun dengan cuma-cuma. Setiap tetes keringat, setiap usaha, akan membentuk karakter seseorang. Iman Caya bukan hanya seorang ibu, tetapi juga seorang guru kehidupan bagi anak-anaknya. Ia adalah perempuan yang ditempa keadaan, menjadi lebih kuat dari kebanyakan lelaki. Ketegasannya bukan tanpa alasan, melainkan demi masa depan anak-anaknya.

Usman Alamsyah kecil mungkin tidak memiliki kemewahan, tetapi ia memiliki sesuatu yang lebih berharga: semangat pantang menyerah, didikan keras dari ibunda, dan pengalaman hidup yang menjadikannya sosok yang kuat. Perjalanannya sejak kecil membentuk dirinya hingga kini, seorang pemimpin yang memahami arti kerja keras dan perjuangan.

Kisah ini bukan sekadar cerita masa lalu, tetapi sebuah inspirasi bagi siapa saja yang membacanya. Bahwa di balik setiap keberhasilan, ada perjalanan panjang yang harus dilalui dengan keringat, air mata, dan doa. Karena hidup tidak akan memberi kemudahan, tetapi ia akan memberikan kesempatan bagi mereka yang mau berjuang.


Senin, 17 Februari 2025

PERJALANAN USMAN ALAMSYAH: DARI KETAKUTAN MENJADI KEBANGGAAN

PERJALANAN USMAN ALAMSYAH: DARI KETAKUTAN MENJADI KEBANGGAAN 

Di sebuah desa kecil yang bernama Desa Lubuk Alai, yang pada tahun 1990 masih berada di Kecamatan Padang Ulak Tanding, Kabupaten Rejang Lebong, Provinsi Bengkulu, hiduplah seorang anak bernama Usman Alamsyah. Desa itu dikelilingi oleh perbukitan hijau yang anggun, sungai yang mengalir jernih, serta ladang-ladang yang subur. Meski alamnya begitu ramah, hati Usman dipenuhi kegelisahan.

Ketika tiba waktunya untuk bersekolah, hati Usman terasa berat. Ia tidak mau berangkat sekolah. Bahkan saat ibunya, seorang wanita penyayang dengan senyum menenangkan, membelikannya seragam sekolah di pasar Los Kota Lubuk Linggau di Provinsi Sumatera Selatan, Usman menghilang karena tidak mau ikut sekolah. Ia menyelinap di antara kios-kios yang ramai, bersembunyi di celah keramaian, hingga akhirnya sadar bahwa ia tersesat.

Tangisnya pecah. Ia tidak hafal jalan pulang. Tubuhnya yang kecil gemetar ketakutan. Sementara itu, sang ibunda, dengan kecemasan yang membuncah, berkeliling mencarinya. Hampir saja ia meminta pemilik toko untuk menghubungi polisi. Namun, akhirnya, di tengah hiruk-pikuk pasar, ia menemukan Usman sedang menangis ketakutan di sudut sebuah los. Sang ibu memeluknya erat, menghapus air matanya, dan membawanya kembali pulang—dengan seragam sekolah yang tetap terbeli.

Hari pertama sekolah pun tiba. Namun, Usman masih menolak mengenakan seragam barunya. Hatinya penuh ketakutan. Ia belum bisa membaca dan menulis, dan ia takut ditertawakan. Dalam keputusasaan, ibunya mengancam akan membuang seragam itu ke comberan di belakang rumah jika ia tidak mau memakainya. Dengan hati yang berat dan air mata yang berlinang, Usman akhirnya mengenakan seragam itu dan melangkah ke sekolah dengan terpaksa.

Sesampainya di sekolah, dunia yang baru menyambutnya. Matanya bertemu dengan seorang anak bernama Rejan Taufik, yang akrab dipanggil Ejen, dan seorang lagi bernama Awaludin, yang lebih sering dipanggil Awal. Mereka tersenyum kepadanya, dan untuk pertama kalinya, Usman merasa ada secercah kehangatan di tempat yang begitu asing baginya.

Hari demi hari berlalu. Ternyata sekolah tidak seburuk yang ia bayangkan. Gurunya ramah, teman-temannya menyenangkan, dan perlahan, huruf-huruf yang awalnya tampak seperti coretan tak berarti mulai membentuk kata-kata di kepalanya. Angka-angka yang dulu menakutkan kini menjadi tantangan yang menyenangkan.

Semangatnya terus tumbuh. Dari yang awalnya takut, kini Usman menjadi murid yang rajin. Ia membaca, menulis, dan belajar dengan penuh kegigihan. Waktu pembagian rapor pun tiba, dan tak disangka, namanya berada di deretan peringkat atas kelas. Usman yang dulu menangis ketakutan kini berdiri dengan bangga. Ibunya menangis haru melihat perubahan anaknya. Ia yang dahulu menolak sekolah, kini menjadi bintang kelasnya.

Perjalanan Usman Alamsyah bukan hanya tentang sekolah. Ini adalah perjalanan melawan ketakutan, menemukan keberanian, dan membuktikan bahwa setiap orang bisa berubah jika diberi kesempatan dan dorongan yang tepat. Desa Lubuk Alai pun mengenangnya sebagai anak yang pernah takut sekolah, namun akhirnya menjadi kebanggaan.

Minggu, 16 Februari 2025

LANGIT YANG TAK TERJANGKAU

LANGIT YANG TAK TERJANGKAU 

Di sebuah desa kecil yang jauh dari hingar-bingar kota, hiduplah seorang bocah bernama Usman Alamsyah. Ia adalah anak yang ceria, penuh rasa ingin tahu, meskipun di dalam hatinya tersimpan luka yang tak pernah ia mengerti sepenuhnya.

Usia 3-4 Tahun: Aku adalah Ayahku Sendiri

Ketika seseorang bertanya kepadanya, "Di mana ayahmu, Usman?" tanpa ragu ia akan menunjuk dirinya sendiri. Dengan mata bulat penuh keyakinan, ia berkata, "Ini ayah!" Orang-orang di sekitarnya hanya tertawa kecil, menganggap itu jawaban polos seorang bocah. Namun, tak ada yang tahu bahwa dalam imajinasi kecilnya, ia benar-benar percaya bahwa ia adalah ayahnya sendiri—sebuah jawaban yang ia ciptakan untuk menutupi kekosongan yang tak bisa ia pahami.

Usia 5-7 Tahun: Pertanyaan yang Tak Terjawab

Seiring waktu, pertanyaan dalam hatinya semakin membesar. Setiap kali melihat teman-temannya digendong oleh seorang pria tegap yang mereka panggil "Ayah", Usman hanya bisa menatap. Di rumah, ia memberanikan diri bertanya kepada ibunya.

"Ibu, di mana ayah Usman? Kenapa orang lain punya ayah, tapi Usman tidak?"

Ibunya tersenyum, senyum yang menutupi kesedihan yang selama ini ia simpan rapat-rapat. Dengan lembut, ia membelai kepala Usman dan berkata, "Ayahmu terbang ke atas langit, Nak. Suatu saat nanti, kita akan menyusulnya."

Langit. Kata itu terus terngiang di kepala Usman. Setiap malam, ia menatap langit, mencoba mencari sosok ayah yang tak pernah ia temui. Dalam imajinasinya, ayahnya ada di antara bintang-bintang, mengawasinya, tersenyum padanya. Kadang ia bertanya pada bulan, "Ayah, apakah kau di sana?" Tapi langit tetap diam.

Mak Wuk... Mak Wuk...

Sejak mulai lancar berjalan, Usman sering berlari ke warung depan rumah. Ia selalu mencuri ikan asin dengan lugu, lalu memanggil pemilik warung dengan sebutan khasnya, "Mak Wuk... Mak Wuk...!" (Ibu Ikan! Ibu Ikan!). Ia mengira pemilik warung itu adalah ibu dari ikan-ikan yang digantung berjejer di warung. Dengan senyum usil, ia membawa kabur ikan itu, lalu berlari pulang dengan langkah kecilnya yang masih goyah.

Ibunya hanya bisa tersenyum sambil menghela napas. "Anak ini... selalu saja ada tingkahnya." Namun, dalam hati, ia tahu bahwa semua yang dilakukan Usman adalah bentuk kebahagiaan kecil yang ia ciptakan sendiri—mungkin untuk mengobati kehilangan yang tak ia pahami sepenuhnya.

Kehampaan yang Tak Terjawab

Setiap kali melihat teman-temannya digendong seorang pria tinggi, tubuh mereka dipeluk dengan erat, Usman selalu merasa ada sesuatu yang kosong di dalam dirinya. Ia tidak mengerti mengapa ada lubang di hatinya yang semakin hari semakin besar. Ia ingin sekali merasakan kehangatan yang sama. Terkadang ia mencoba berdiri di belakang seorang pria dewasa yang ia lihat di jalan, seolah-olah berharap pria itu akan berbalik dan berkata, "Usman, ayo kita pulang." Tapi itu tidak pernah terjadi.

Suatu hari, di bawah langit senja, Usman duduk di tangga rumahnya. Ia menatap ke atas, ke awan yang mulai berubah jingga, lalu berbisik, "Ayah, kapan aku bisa menyusulmu ke langit? Aku ingin bertemu denganmu, aku ingin tahu seperti apa suaramu, aku ingin tahu bagaimana rasanya dipeluk olehmu."

Angin berhembus lembut, menyapu wajahnya yang kecil. Seolah-olah langit sedang menjawabnya dengan bisikan yang hanya bisa dimengerti oleh hati yang penuh kerinduan.

Dan di sanalah Usman, seorang bocah yang mencari sosok yang tak bisa ia gapai, mendongak ke langit dengan harapan yang tak pernah pudar.

Momen Spesial Di Resepsi Pernikahan Usman Alamsyah Dengan Yesi Kusmi Handari


Sabtu, 15 Februari 2025

Jejak Takdir di Simpang Nasib

KATA JOSS YANG BIKIN CEKIKAN
(Salah Paham Bahasa)

Pagi itu di sebuah desa kecil di Lembak Beliti, langit biru cerah menjadi saksi kedatangan seorang pendatang baru bernama Pak Darwis. Beliau adalah seorang penyuluh agama yang baru saja ditugaskan di daerah tersebut. Dengan semangat menggebu-gebu, beliau berkeliling menyapa warga sambil membawa Al-Qur’an di tangan kanan dan senyuman sumringah di wajahnya.

“Assalamu’alaikum!” seru Pak Darwis lantang kepada seorang pria paruh baya yang sedang duduk di bawah pohon durian.

Pria itu, Pak Burhanawi namanya, adalah tokoh masyarakat Lembak Beliti. Ia dikenal tegas, galak, tapi berhati lembut—jika sudah makan pempek. Pak Burhanawi menatap Pak Darwis dengan dahi mengernyit. “Wa’alaikumussalam. Kau siapa? Baru di sini, kah?” tanyanya dengan nada khas daerah itu.

Pak Darwis tersenyum ramah. “Betul, Pak. Saya Darwis dari Padang. Penyuluh agama. Bapak siapa?”

“Aku Burhanawi. Apa urusanmu di sini?”

“Saya mau menyampaikan ilmu agama. Semoga bermanfaat untuk masyarakat di sini. Doakan usaha saya joss ya, Pak!” jawab Pak Darwis penuh semangat.

Wajah Pak Burhanawi langsung berubah merah padam. Matanya melotot seperti melihat maling durian. “APA?!” bentaknya, “Berani kau ngomong kotor di depan aku?! Baru datang sudah macam-macam!”

Pak Darwis kaget bukan main. Ia mengira ada masalah serius, tapi tidak tahu apa. “Lho, saya ngomong apa, Pak? Salah apa saya?”

“Kau bilang joss! Di sini itu artinya… itu…” Pak Burhanawi tidak melanjutkan kata-katanya. Wajahnya semakin merah.

Pak Darwis masih bingung. “Lho, kalau di tempat saya, joss itu artinya bagus, hebat, luar biasa, Pak.”

“Bagus apanya?! Di sini, joss itu… anu, kau tahu, kelamin laki-laki!”

Pak Darwis langsung terperanjat. Wajahnya yang tadinya penuh percaya diri berubah panik. “Astaghfirullah! Maaf, Pak! Saya tidak tahu! Saya sungguh tidak bermaksud!”

Namun, Pak Burhanawi yang keras kepala itu tidak terima. “Hati-hati kau kalau bicara! Ini Lembak Beliti, bukan Padang!”

Sementara keduanya mulai berdebat, Irjuanda, seorang pemuda desa yang kebetulan lewat, menghentikan langkahnya. Ia heran melihat Pak Burhanawi yang biasanya santai kini terlihat berapi-api.

“Pak Burhanawi, kenapa ribut-ribut pagi-pagi begini?” tanya Irjuanda dengan nada santai.

“Ini si pendatang baru! Belum apa-apa sudah ngomong kotor!” gerutu Pak Burhanawi sambil menunjuk Pak Darwis.

“Eh, bukan begitu, Mas. Saya tadi cuma bilang joss. Maksud saya bagus, keren. Tapi katanya di sini artinya beda,” jelas Pak Darwis dengan nada putus asa.

Irjuanda yang mengerti kedua bahasa itu langsung tertawa terbahak-bahak. Suaranya menggema di seluruh desa. “HAHAHA! Jadi ini gara-gara salah paham soal kata joss? Aduh, Pak Burhanawi, tenang dulu! Maksud Pak Darwis itu bukan jorok. Dia pakai arti dari daerahnya.”

“Tapi di sini artinya lain! Dia harus tahu adat kita!” sergah Pak Burhanawi, masih kesal.

Irjuanda mencoba menjelaskan dengan sabar. “Betul, Pak. Tapi kan dia baru datang. Dia belum tahu. Lagipula lucu juga ya, kalau setiap kali dia bilang joss orang di sini mikirnya itu… anu.”

Mendengar kata “anu,” Pak Burhanawi malah tersenyum kecut, lalu ikut tertawa kecil. Akhirnya, suasana mencair. Pak Darwis yang awalnya canggung pun ikut tersenyum lega.

“Saya minta maaf ya, Pak Burhanawi. Mulai sekarang saya janji tidak akan sembarangan bilang joss,” ujar Pak Darwis.

“Tapi ingat ya, Pak,” kata Irjuanda sambil terkekeh, “Kalau di Padang artinya bagus, di sini, jangan pernah bilang itu ke sembarang orang. Bisa-bisa satu desa ngamuk!”

Hari itu, cerita soal joss menyebar ke seluruh desa. Warga yang mendengar kisah ini tertawa ngakak hingga perut mereka sakit. Bahkan, sampai beberapa minggu kemudian, setiap kali bertemu Pak Darwis, anak-anak kecil berteriak, “Pak Darwis, joss! Eh, anu maksudnya!”

Sejak itu, Pak Darwis berhati-hati dengan kata-kata, sementara Pak Burhanawi mulai belajar memahami pendatang. Dan Irjuanda? Ia merasa seperti pahlawan lokal, meski tiap kali lewat ia selalu digoda, “Irjuanda, penerjemah joss! Haha!”

Cerita itu menjadi pelajaran penting di desa Lembak Beliti: Jangan asal pakai kata tanpa tahu maknanya di tempat lain. Tapi di sisi lain, mereka juga belajar untuk tertawa dari kesalahpahaman kecil—karena tawa adalah bahasa yang universal.

Tamat 

(Hanya Hiburan dan Literasi)
😁😁😁🙏🙏🙏

CAHAYA DI RUMAH

KATA JOSS YANG BIKIN CEKIKAN
(Salah Paham Bahasa)

Pagi itu di sebuah desa kecil di Lembak Beliti, langit biru cerah menjadi saksi kedatangan seorang pendatang baru bernama Pak Darwis. Beliau adalah seorang penyuluh agama yang baru saja ditugaskan di daerah tersebut. Dengan semangat menggebu-gebu, beliau berkeliling menyapa warga sambil membawa Al-Qur’an di tangan kanan dan senyuman sumringah di wajahnya.

“Assalamu’alaikum!” seru Pak Darwis lantang kepada seorang pria paruh baya yang sedang duduk di bawah pohon durian.

Pria itu, Pak Burhanawi namanya, adalah tokoh masyarakat Lembak Beliti. Ia dikenal tegas, galak, tapi berhati lembut—jika sudah makan pempek. Pak Burhanawi menatap Pak Darwis dengan dahi mengernyit. “Wa’alaikumussalam. Kau siapa? Baru di sini, kah?” tanyanya dengan nada khas daerah itu.

Pak Darwis tersenyum ramah. “Betul, Pak. Saya Darwis dari Padang. Penyuluh agama. Bapak siapa?”

“Aku Burhanawi. Apa urusanmu di sini?”

“Saya mau menyampaikan ilmu agama. Semoga bermanfaat untuk masyarakat di sini. Doakan usaha saya joss ya, Pak!” jawab Pak Darwis penuh semangat.

Wajah Pak Burhanawi langsung berubah merah padam. Matanya melotot seperti melihat maling durian. “APA?!” bentaknya, “Berani kau ngomong kotor di depan aku?! Baru datang sudah macam-macam!”

Pak Darwis kaget bukan main. Ia mengira ada masalah serius, tapi tidak tahu apa. “Lho, saya ngomong apa, Pak? Salah apa saya?”

“Kau bilang joss! Di sini itu artinya… itu…” Pak Burhanawi tidak melanjutkan kata-katanya. Wajahnya semakin merah.

Pak Darwis masih bingung. “Lho, kalau di tempat saya, joss itu artinya bagus, hebat, luar biasa, Pak.”

“Bagus apanya?! Di sini, joss itu… anu, kau tahu, kelamin laki-laki!”

Pak Darwis langsung terperanjat. Wajahnya yang tadinya penuh percaya diri berubah panik. “Astaghfirullah! Maaf, Pak! Saya tidak tahu! Saya sungguh tidak bermaksud!”

Namun, Pak Burhanawi yang keras kepala itu tidak terima. “Hati-hati kau kalau bicara! Ini Lembak Beliti, bukan Padang!”

Sementara keduanya mulai berdebat, Irjuanda, seorang pemuda desa yang kebetulan lewat, menghentikan langkahnya. Ia heran melihat Pak Burhanawi yang biasanya santai kini terlihat berapi-api.

“Pak Burhanawi, kenapa ribut-ribut pagi-pagi begini?” tanya Irjuanda dengan nada santai.

“Ini si pendatang baru! Belum apa-apa sudah ngomong kotor!” gerutu Pak Burhanawi sambil menunjuk Pak Darwis.

“Eh, bukan begitu, Mas. Saya tadi cuma bilang joss. Maksud saya bagus, keren. Tapi katanya di sini artinya beda,” jelas Pak Darwis dengan nada putus asa.

Irjuanda yang mengerti kedua bahasa itu langsung tertawa terbahak-bahak. Suaranya menggema di seluruh desa. “HAHAHA! Jadi ini gara-gara salah paham soal kata joss? Aduh, Pak Burhanawi, tenang dulu! Maksud Pak Darwis itu bukan jorok. Dia pakai arti dari daerahnya.”

“Tapi di sini artinya lain! Dia harus tahu adat kita!” sergah Pak Burhanawi, masih kesal.

Irjuanda mencoba menjelaskan dengan sabar. “Betul, Pak. Tapi kan dia baru datang. Dia belum tahu. Lagipula lucu juga ya, kalau setiap kali dia bilang joss orang di sini mikirnya itu… anu.”

Mendengar kata “anu,” Pak Burhanawi malah tersenyum kecut, lalu ikut tertawa kecil. Akhirnya, suasana mencair. Pak Darwis yang awalnya canggung pun ikut tersenyum lega.

“Saya minta maaf ya, Pak Burhanawi. Mulai sekarang saya janji tidak akan sembarangan bilang joss,” ujar Pak Darwis.

“Tapi ingat ya, Pak,” kata Irjuanda sambil terkekeh, “Kalau di Padang artinya bagus, di sini, jangan pernah bilang itu ke sembarang orang. Bisa-bisa satu desa ngamuk!”

Hari itu, cerita soal joss menyebar ke seluruh desa. Warga yang mendengar kisah ini tertawa ngakak hingga perut mereka sakit. Bahkan, sampai beberapa minggu kemudian, setiap kali bertemu Pak Darwis, anak-anak kecil berteriak, “Pak Darwis, joss! Eh, anu maksudnya!”

Sejak itu, Pak Darwis berhati-hati dengan kata-kata, sementara Pak Burhanawi mulai belajar memahami pendatang. Dan Irjuanda? Ia merasa seperti pahlawan lokal, meski tiap kali lewat ia selalu digoda, “Irjuanda, penerjemah joss! Haha!”

Cerita itu menjadi pelajaran penting di desa Lembak Beliti: Jangan asal pakai kata tanpa tahu maknanya di tempat lain. Tapi di sisi lain, mereka juga belajar untuk tertawa dari kesalahpahaman kecil—karena tawa adalah bahasa yang universal.

Tamat 

(Hanya Hiburan dan Literasi)
😁😁😁🙏🙏🙏

CAHAYA Di TANAH WAKAF

KATA JOSS YANG BIKIN CEKIKAN
(Salah Paham Bahasa)

Pagi itu di sebuah desa kecil di Lembak Beliti, langit biru cerah menjadi saksi kedatangan seorang pendatang baru bernama Pak Darwis. Beliau adalah seorang penyuluh agama yang baru saja ditugaskan di daerah tersebut. Dengan semangat menggebu-gebu, beliau berkeliling menyapa warga sambil membawa Al-Qur’an di tangan kanan dan senyuman sumringah di wajahnya.

“Assalamu’alaikum!” seru Pak Darwis lantang kepada seorang pria paruh baya yang sedang duduk di bawah pohon durian.

Pria itu, Pak Burhanawi namanya, adalah tokoh masyarakat Lembak Beliti. Ia dikenal tegas, galak, tapi berhati lembut—jika sudah makan pempek. Pak Burhanawi menatap Pak Darwis dengan dahi mengernyit. “Wa’alaikumussalam. Kau siapa? Baru di sini, kah?” tanyanya dengan nada khas daerah itu.

Pak Darwis tersenyum ramah. “Betul, Pak. Saya Darwis dari Padang. Penyuluh agama. Bapak siapa?”

“Aku Burhanawi. Apa urusanmu di sini?”

“Saya mau menyampaikan ilmu agama. Semoga bermanfaat untuk masyarakat di sini. Doakan usaha saya joss ya, Pak!” jawab Pak Darwis penuh semangat.

Wajah Pak Burhanawi langsung berubah merah padam. Matanya melotot seperti melihat maling durian. “APA?!” bentaknya, “Berani kau ngomong kotor di depan aku?! Baru datang sudah macam-macam!”

Pak Darwis kaget bukan main. Ia mengira ada masalah serius, tapi tidak tahu apa. “Lho, saya ngomong apa, Pak? Salah apa saya?”

“Kau bilang joss! Di sini itu artinya… itu…” Pak Burhanawi tidak melanjutkan kata-katanya. Wajahnya semakin merah.

Pak Darwis masih bingung. “Lho, kalau di tempat saya, joss itu artinya bagus, hebat, luar biasa, Pak.”

“Bagus apanya?! Di sini, joss itu… anu, kau tahu, kelamin laki-laki!”

Pak Darwis langsung terperanjat. Wajahnya yang tadinya penuh percaya diri berubah panik. “Astaghfirullah! Maaf, Pak! Saya tidak tahu! Saya sungguh tidak bermaksud!”

Namun, Pak Burhanawi yang keras kepala itu tidak terima. “Hati-hati kau kalau bicara! Ini Lembak Beliti, bukan Padang!”

Sementara keduanya mulai berdebat, Irjuanda, seorang pemuda desa yang kebetulan lewat, menghentikan langkahnya. Ia heran melihat Pak Burhanawi yang biasanya santai kini terlihat berapi-api.

“Pak Burhanawi, kenapa ribut-ribut pagi-pagi begini?” tanya Irjuanda dengan nada santai.

“Ini si pendatang baru! Belum apa-apa sudah ngomong kotor!” gerutu Pak Burhanawi sambil menunjuk Pak Darwis.

“Eh, bukan begitu, Mas. Saya tadi cuma bilang joss. Maksud saya bagus, keren. Tapi katanya di sini artinya beda,” jelas Pak Darwis dengan nada putus asa.

Irjuanda yang mengerti kedua bahasa itu langsung tertawa terbahak-bahak. Suaranya menggema di seluruh desa. “HAHAHA! Jadi ini gara-gara salah paham soal kata joss? Aduh, Pak Burhanawi, tenang dulu! Maksud Pak Darwis itu bukan jorok. Dia pakai arti dari daerahnya.”

“Tapi di sini artinya lain! Dia harus tahu adat kita!” sergah Pak Burhanawi, masih kesal.

Irjuanda mencoba menjelaskan dengan sabar. “Betul, Pak. Tapi kan dia baru datang. Dia belum tahu. Lagipula lucu juga ya, kalau setiap kali dia bilang joss orang di sini mikirnya itu… anu.”

Mendengar kata “anu,” Pak Burhanawi malah tersenyum kecut, lalu ikut tertawa kecil. Akhirnya, suasana mencair. Pak Darwis yang awalnya canggung pun ikut tersenyum lega.

“Saya minta maaf ya, Pak Burhanawi. Mulai sekarang saya janji tidak akan sembarangan bilang joss,” ujar Pak Darwis.

“Tapi ingat ya, Pak,” kata Irjuanda sambil terkekeh, “Kalau di Padang artinya bagus, di sini, jangan pernah bilang itu ke sembarang orang. Bisa-bisa satu desa ngamuk!”

Hari itu, cerita soal joss menyebar ke seluruh desa. Warga yang mendengar kisah ini tertawa ngakak hingga perut mereka sakit. Bahkan, sampai beberapa minggu kemudian, setiap kali bertemu Pak Darwis, anak-anak kecil berteriak, “Pak Darwis, joss! Eh, anu maksudnya!”

Sejak itu, Pak Darwis berhati-hati dengan kata-kata, sementara Pak Burhanawi mulai belajar memahami pendatang. Dan Irjuanda? Ia merasa seperti pahlawan lokal, meski tiap kali lewat ia selalu digoda, “Irjuanda, penerjemah joss! Haha!”

Cerita itu menjadi pelajaran penting di desa Lembak Beliti: Jangan asal pakai kata tanpa tahu maknanya di tempat lain. Tapi di sisi lain, mereka juga belajar untuk tertawa dari kesalahpahaman kecil—karena tawa adalah bahasa yang universal.

Tamat 

(Hanya Hiburan dan Literasi)
😁😁😁🙏🙏🙏

CERITA LUCU DESA ONYOL: WARGA "NAKE CODOR" DAN PANTUN UBUR-UBUR IKAN LELE

KATA JOSS YANG BIKIN CEKIKAN
(Salah Paham Bahasa)

Pagi itu di sebuah desa kecil di Lembak Beliti, langit biru cerah menjadi saksi kedatangan seorang pendatang baru bernama Pak Darwis. Beliau adalah seorang penyuluh agama yang baru saja ditugaskan di daerah tersebut. Dengan semangat menggebu-gebu, beliau berkeliling menyapa warga sambil membawa Al-Qur’an di tangan kanan dan senyuman sumringah di wajahnya.

“Assalamu’alaikum!” seru Pak Darwis lantang kepada seorang pria paruh baya yang sedang duduk di bawah pohon durian.

Pria itu, Pak Burhanawi namanya, adalah tokoh masyarakat Lembak Beliti. Ia dikenal tegas, galak, tapi berhati lembut—jika sudah makan pempek. Pak Burhanawi menatap Pak Darwis dengan dahi mengernyit. “Wa’alaikumussalam. Kau siapa? Baru di sini, kah?” tanyanya dengan nada khas daerah itu.

Pak Darwis tersenyum ramah. “Betul, Pak. Saya Darwis dari Padang. Penyuluh agama. Bapak siapa?”

“Aku Burhanawi. Apa urusanmu di sini?”

“Saya mau menyampaikan ilmu agama. Semoga bermanfaat untuk masyarakat di sini. Doakan usaha saya joss ya, Pak!” jawab Pak Darwis penuh semangat.

Wajah Pak Burhanawi langsung berubah merah padam. Matanya melotot seperti melihat maling durian. “APA?!” bentaknya, “Berani kau ngomong kotor di depan aku?! Baru datang sudah macam-macam!”

Pak Darwis kaget bukan main. Ia mengira ada masalah serius, tapi tidak tahu apa. “Lho, saya ngomong apa, Pak? Salah apa saya?”

“Kau bilang joss! Di sini itu artinya… itu…” Pak Burhanawi tidak melanjutkan kata-katanya. Wajahnya semakin merah.

Pak Darwis masih bingung. “Lho, kalau di tempat saya, joss itu artinya bagus, hebat, luar biasa, Pak.”

“Bagus apanya?! Di sini, joss itu… anu, kau tahu, kelamin laki-laki!”

Pak Darwis langsung terperanjat. Wajahnya yang tadinya penuh percaya diri berubah panik. “Astaghfirullah! Maaf, Pak! Saya tidak tahu! Saya sungguh tidak bermaksud!”

Namun, Pak Burhanawi yang keras kepala itu tidak terima. “Hati-hati kau kalau bicara! Ini Lembak Beliti, bukan Padang!”

Sementara keduanya mulai berdebat, Irjuanda, seorang pemuda desa yang kebetulan lewat, menghentikan langkahnya. Ia heran melihat Pak Burhanawi yang biasanya santai kini terlihat berapi-api.

“Pak Burhanawi, kenapa ribut-ribut pagi-pagi begini?” tanya Irjuanda dengan nada santai.

“Ini si pendatang baru! Belum apa-apa sudah ngomong kotor!” gerutu Pak Burhanawi sambil menunjuk Pak Darwis.

“Eh, bukan begitu, Mas. Saya tadi cuma bilang joss. Maksud saya bagus, keren. Tapi katanya di sini artinya beda,” jelas Pak Darwis dengan nada putus asa.

Irjuanda yang mengerti kedua bahasa itu langsung tertawa terbahak-bahak. Suaranya menggema di seluruh desa. “HAHAHA! Jadi ini gara-gara salah paham soal kata joss? Aduh, Pak Burhanawi, tenang dulu! Maksud Pak Darwis itu bukan jorok. Dia pakai arti dari daerahnya.”

“Tapi di sini artinya lain! Dia harus tahu adat kita!” sergah Pak Burhanawi, masih kesal.

Irjuanda mencoba menjelaskan dengan sabar. “Betul, Pak. Tapi kan dia baru datang. Dia belum tahu. Lagipula lucu juga ya, kalau setiap kali dia bilang joss orang di sini mikirnya itu… anu.”

Mendengar kata “anu,” Pak Burhanawi malah tersenyum kecut, lalu ikut tertawa kecil. Akhirnya, suasana mencair. Pak Darwis yang awalnya canggung pun ikut tersenyum lega.

“Saya minta maaf ya, Pak Burhanawi. Mulai sekarang saya janji tidak akan sembarangan bilang joss,” ujar Pak Darwis.

“Tapi ingat ya, Pak,” kata Irjuanda sambil terkekeh, “Kalau di Padang artinya bagus, di sini, jangan pernah bilang itu ke sembarang orang. Bisa-bisa satu desa ngamuk!”

Hari itu, cerita soal joss menyebar ke seluruh desa. Warga yang mendengar kisah ini tertawa ngakak hingga perut mereka sakit. Bahkan, sampai beberapa minggu kemudian, setiap kali bertemu Pak Darwis, anak-anak kecil berteriak, “Pak Darwis, joss! Eh, anu maksudnya!”

Sejak itu, Pak Darwis berhati-hati dengan kata-kata, sementara Pak Burhanawi mulai belajar memahami pendatang. Dan Irjuanda? Ia merasa seperti pahlawan lokal, meski tiap kali lewat ia selalu digoda, “Irjuanda, penerjemah joss! Haha!”

Cerita itu menjadi pelajaran penting di desa Lembak Beliti: Jangan asal pakai kata tanpa tahu maknanya di tempat lain. Tapi di sisi lain, mereka juga belajar untuk tertawa dari kesalahpahaman kecil—karena tawa adalah bahasa yang universal.

Tamat 

(Hanya Hiburan dan Literasi)
😁😁😁🙏🙏🙏

LEGENDA ASAL-USUL DESA JABI (Sebuah Kisah tentang Pohon Keramat dan Para Leluhur Sakti)

KATA JOSS YANG BIKIN CEKIKAN
(Salah Paham Bahasa)

Pagi itu di sebuah desa kecil di Lembak Beliti, langit biru cerah menjadi saksi kedatangan seorang pendatang baru bernama Pak Darwis. Beliau adalah seorang penyuluh agama yang baru saja ditugaskan di daerah tersebut. Dengan semangat menggebu-gebu, beliau berkeliling menyapa warga sambil membawa Al-Qur’an di tangan kanan dan senyuman sumringah di wajahnya.

“Assalamu’alaikum!” seru Pak Darwis lantang kepada seorang pria paruh baya yang sedang duduk di bawah pohon durian.

Pria itu, Pak Burhanawi namanya, adalah tokoh masyarakat Lembak Beliti. Ia dikenal tegas, galak, tapi berhati lembut—jika sudah makan pempek. Pak Burhanawi menatap Pak Darwis dengan dahi mengernyit. “Wa’alaikumussalam. Kau siapa? Baru di sini, kah?” tanyanya dengan nada khas daerah itu.

Pak Darwis tersenyum ramah. “Betul, Pak. Saya Darwis dari Padang. Penyuluh agama. Bapak siapa?”

“Aku Burhanawi. Apa urusanmu di sini?”

“Saya mau menyampaikan ilmu agama. Semoga bermanfaat untuk masyarakat di sini. Doakan usaha saya joss ya, Pak!” jawab Pak Darwis penuh semangat.

Wajah Pak Burhanawi langsung berubah merah padam. Matanya melotot seperti melihat maling durian. “APA?!” bentaknya, “Berani kau ngomong kotor di depan aku?! Baru datang sudah macam-macam!”

Pak Darwis kaget bukan main. Ia mengira ada masalah serius, tapi tidak tahu apa. “Lho, saya ngomong apa, Pak? Salah apa saya?”

“Kau bilang joss! Di sini itu artinya… itu…” Pak Burhanawi tidak melanjutkan kata-katanya. Wajahnya semakin merah.

Pak Darwis masih bingung. “Lho, kalau di tempat saya, joss itu artinya bagus, hebat, luar biasa, Pak.”

“Bagus apanya?! Di sini, joss itu… anu, kau tahu, kelamin laki-laki!”

Pak Darwis langsung terperanjat. Wajahnya yang tadinya penuh percaya diri berubah panik. “Astaghfirullah! Maaf, Pak! Saya tidak tahu! Saya sungguh tidak bermaksud!”

Namun, Pak Burhanawi yang keras kepala itu tidak terima. “Hati-hati kau kalau bicara! Ini Lembak Beliti, bukan Padang!”

Sementara keduanya mulai berdebat, Irjuanda, seorang pemuda desa yang kebetulan lewat, menghentikan langkahnya. Ia heran melihat Pak Burhanawi yang biasanya santai kini terlihat berapi-api.

“Pak Burhanawi, kenapa ribut-ribut pagi-pagi begini?” tanya Irjuanda dengan nada santai.

“Ini si pendatang baru! Belum apa-apa sudah ngomong kotor!” gerutu Pak Burhanawi sambil menunjuk Pak Darwis.

“Eh, bukan begitu, Mas. Saya tadi cuma bilang joss. Maksud saya bagus, keren. Tapi katanya di sini artinya beda,” jelas Pak Darwis dengan nada putus asa.

Irjuanda yang mengerti kedua bahasa itu langsung tertawa terbahak-bahak. Suaranya menggema di seluruh desa. “HAHAHA! Jadi ini gara-gara salah paham soal kata joss? Aduh, Pak Burhanawi, tenang dulu! Maksud Pak Darwis itu bukan jorok. Dia pakai arti dari daerahnya.”

“Tapi di sini artinya lain! Dia harus tahu adat kita!” sergah Pak Burhanawi, masih kesal.

Irjuanda mencoba menjelaskan dengan sabar. “Betul, Pak. Tapi kan dia baru datang. Dia belum tahu. Lagipula lucu juga ya, kalau setiap kali dia bilang joss orang di sini mikirnya itu… anu.”

Mendengar kata “anu,” Pak Burhanawi malah tersenyum kecut, lalu ikut tertawa kecil. Akhirnya, suasana mencair. Pak Darwis yang awalnya canggung pun ikut tersenyum lega.

“Saya minta maaf ya, Pak Burhanawi. Mulai sekarang saya janji tidak akan sembarangan bilang joss,” ujar Pak Darwis.

“Tapi ingat ya, Pak,” kata Irjuanda sambil terkekeh, “Kalau di Padang artinya bagus, di sini, jangan pernah bilang itu ke sembarang orang. Bisa-bisa satu desa ngamuk!”

Hari itu, cerita soal joss menyebar ke seluruh desa. Warga yang mendengar kisah ini tertawa ngakak hingga perut mereka sakit. Bahkan, sampai beberapa minggu kemudian, setiap kali bertemu Pak Darwis, anak-anak kecil berteriak, “Pak Darwis, joss! Eh, anu maksudnya!”

Sejak itu, Pak Darwis berhati-hati dengan kata-kata, sementara Pak Burhanawi mulai belajar memahami pendatang. Dan Irjuanda? Ia merasa seperti pahlawan lokal, meski tiap kali lewat ia selalu digoda, “Irjuanda, penerjemah joss! Haha!”

Cerita itu menjadi pelajaran penting di desa Lembak Beliti: Jangan asal pakai kata tanpa tahu maknanya di tempat lain. Tapi di sisi lain, mereka juga belajar untuk tertawa dari kesalahpahaman kecil—karena tawa adalah bahasa yang universal.

Tamat 

(Hanya Hiburan dan Literasi)
😁😁😁🙏🙏🙏

LEGENDA ASAL-USUL DESA TANJUNG HERAN

KATA JOSS YANG BIKIN CEKIKAN
(Salah Paham Bahasa)

Pagi itu di sebuah desa kecil di Lembak Beliti, langit biru cerah menjadi saksi kedatangan seorang pendatang baru bernama Pak Darwis. Beliau adalah seorang penyuluh agama yang baru saja ditugaskan di daerah tersebut. Dengan semangat menggebu-gebu, beliau berkeliling menyapa warga sambil membawa Al-Qur’an di tangan kanan dan senyuman sumringah di wajahnya.

“Assalamu’alaikum!” seru Pak Darwis lantang kepada seorang pria paruh baya yang sedang duduk di bawah pohon durian.

Pria itu, Pak Burhanawi namanya, adalah tokoh masyarakat Lembak Beliti. Ia dikenal tegas, galak, tapi berhati lembut—jika sudah makan pempek. Pak Burhanawi menatap Pak Darwis dengan dahi mengernyit. “Wa’alaikumussalam. Kau siapa? Baru di sini, kah?” tanyanya dengan nada khas daerah itu.

Pak Darwis tersenyum ramah. “Betul, Pak. Saya Darwis dari Padang. Penyuluh agama. Bapak siapa?”

“Aku Burhanawi. Apa urusanmu di sini?”

“Saya mau menyampaikan ilmu agama. Semoga bermanfaat untuk masyarakat di sini. Doakan usaha saya joss ya, Pak!” jawab Pak Darwis penuh semangat.

Wajah Pak Burhanawi langsung berubah merah padam. Matanya melotot seperti melihat maling durian. “APA?!” bentaknya, “Berani kau ngomong kotor di depan aku?! Baru datang sudah macam-macam!”

Pak Darwis kaget bukan main. Ia mengira ada masalah serius, tapi tidak tahu apa. “Lho, saya ngomong apa, Pak? Salah apa saya?”

“Kau bilang joss! Di sini itu artinya… itu…” Pak Burhanawi tidak melanjutkan kata-katanya. Wajahnya semakin merah.

Pak Darwis masih bingung. “Lho, kalau di tempat saya, joss itu artinya bagus, hebat, luar biasa, Pak.”

“Bagus apanya?! Di sini, joss itu… anu, kau tahu, kelamin laki-laki!”

Pak Darwis langsung terperanjat. Wajahnya yang tadinya penuh percaya diri berubah panik. “Astaghfirullah! Maaf, Pak! Saya tidak tahu! Saya sungguh tidak bermaksud!”

Namun, Pak Burhanawi yang keras kepala itu tidak terima. “Hati-hati kau kalau bicara! Ini Lembak Beliti, bukan Padang!”

Sementara keduanya mulai berdebat, Irjuanda, seorang pemuda desa yang kebetulan lewat, menghentikan langkahnya. Ia heran melihat Pak Burhanawi yang biasanya santai kini terlihat berapi-api.

“Pak Burhanawi, kenapa ribut-ribut pagi-pagi begini?” tanya Irjuanda dengan nada santai.

“Ini si pendatang baru! Belum apa-apa sudah ngomong kotor!” gerutu Pak Burhanawi sambil menunjuk Pak Darwis.

“Eh, bukan begitu, Mas. Saya tadi cuma bilang joss. Maksud saya bagus, keren. Tapi katanya di sini artinya beda,” jelas Pak Darwis dengan nada putus asa.

Irjuanda yang mengerti kedua bahasa itu langsung tertawa terbahak-bahak. Suaranya menggema di seluruh desa. “HAHAHA! Jadi ini gara-gara salah paham soal kata joss? Aduh, Pak Burhanawi, tenang dulu! Maksud Pak Darwis itu bukan jorok. Dia pakai arti dari daerahnya.”

“Tapi di sini artinya lain! Dia harus tahu adat kita!” sergah Pak Burhanawi, masih kesal.

Irjuanda mencoba menjelaskan dengan sabar. “Betul, Pak. Tapi kan dia baru datang. Dia belum tahu. Lagipula lucu juga ya, kalau setiap kali dia bilang joss orang di sini mikirnya itu… anu.”

Mendengar kata “anu,” Pak Burhanawi malah tersenyum kecut, lalu ikut tertawa kecil. Akhirnya, suasana mencair. Pak Darwis yang awalnya canggung pun ikut tersenyum lega.

“Saya minta maaf ya, Pak Burhanawi. Mulai sekarang saya janji tidak akan sembarangan bilang joss,” ujar Pak Darwis.

“Tapi ingat ya, Pak,” kata Irjuanda sambil terkekeh, “Kalau di Padang artinya bagus, di sini, jangan pernah bilang itu ke sembarang orang. Bisa-bisa satu desa ngamuk!”

Hari itu, cerita soal joss menyebar ke seluruh desa. Warga yang mendengar kisah ini tertawa ngakak hingga perut mereka sakit. Bahkan, sampai beberapa minggu kemudian, setiap kali bertemu Pak Darwis, anak-anak kecil berteriak, “Pak Darwis, joss! Eh, anu maksudnya!”

Sejak itu, Pak Darwis berhati-hati dengan kata-kata, sementara Pak Burhanawi mulai belajar memahami pendatang. Dan Irjuanda? Ia merasa seperti pahlawan lokal, meski tiap kali lewat ia selalu digoda, “Irjuanda, penerjemah joss! Haha!”

Cerita itu menjadi pelajaran penting di desa Lembak Beliti: Jangan asal pakai kata tanpa tahu maknanya di tempat lain. Tapi di sisi lain, mereka juga belajar untuk tertawa dari kesalahpahaman kecil—karena tawa adalah bahasa yang universal.

Tamat 

(Hanya Hiburan dan Literasi)
😁😁😁🙏🙏🙏

KHAYALAN MANIS PAK PANDIR (Ogan Pakndo)

KATA JOSS YANG BIKIN CEKIKAN
(Salah Paham Bahasa)

Pagi itu di sebuah desa kecil di Lembak Beliti, langit biru cerah menjadi saksi kedatangan seorang pendatang baru bernama Pak Darwis. Beliau adalah seorang penyuluh agama yang baru saja ditugaskan di daerah tersebut. Dengan semangat menggebu-gebu, beliau berkeliling menyapa warga sambil membawa Al-Qur’an di tangan kanan dan senyuman sumringah di wajahnya.

“Assalamu’alaikum!” seru Pak Darwis lantang kepada seorang pria paruh baya yang sedang duduk di bawah pohon durian.

Pria itu, Pak Burhanawi namanya, adalah tokoh masyarakat Lembak Beliti. Ia dikenal tegas, galak, tapi berhati lembut—jika sudah makan pempek. Pak Burhanawi menatap Pak Darwis dengan dahi mengernyit. “Wa’alaikumussalam. Kau siapa? Baru di sini, kah?” tanyanya dengan nada khas daerah itu.

Pak Darwis tersenyum ramah. “Betul, Pak. Saya Darwis dari Padang. Penyuluh agama. Bapak siapa?”

“Aku Burhanawi. Apa urusanmu di sini?”

“Saya mau menyampaikan ilmu agama. Semoga bermanfaat untuk masyarakat di sini. Doakan usaha saya joss ya, Pak!” jawab Pak Darwis penuh semangat.

Wajah Pak Burhanawi langsung berubah merah padam. Matanya melotot seperti melihat maling durian. “APA?!” bentaknya, “Berani kau ngomong kotor di depan aku?! Baru datang sudah macam-macam!”

Pak Darwis kaget bukan main. Ia mengira ada masalah serius, tapi tidak tahu apa. “Lho, saya ngomong apa, Pak? Salah apa saya?”

“Kau bilang joss! Di sini itu artinya… itu…” Pak Burhanawi tidak melanjutkan kata-katanya. Wajahnya semakin merah.

Pak Darwis masih bingung. “Lho, kalau di tempat saya, joss itu artinya bagus, hebat, luar biasa, Pak.”

“Bagus apanya?! Di sini, joss itu… anu, kau tahu, kelamin laki-laki!”

Pak Darwis langsung terperanjat. Wajahnya yang tadinya penuh percaya diri berubah panik. “Astaghfirullah! Maaf, Pak! Saya tidak tahu! Saya sungguh tidak bermaksud!”

Namun, Pak Burhanawi yang keras kepala itu tidak terima. “Hati-hati kau kalau bicara! Ini Lembak Beliti, bukan Padang!”

Sementara keduanya mulai berdebat, Irjuanda, seorang pemuda desa yang kebetulan lewat, menghentikan langkahnya. Ia heran melihat Pak Burhanawi yang biasanya santai kini terlihat berapi-api.

“Pak Burhanawi, kenapa ribut-ribut pagi-pagi begini?” tanya Irjuanda dengan nada santai.

“Ini si pendatang baru! Belum apa-apa sudah ngomong kotor!” gerutu Pak Burhanawi sambil menunjuk Pak Darwis.

“Eh, bukan begitu, Mas. Saya tadi cuma bilang joss. Maksud saya bagus, keren. Tapi katanya di sini artinya beda,” jelas Pak Darwis dengan nada putus asa.

Irjuanda yang mengerti kedua bahasa itu langsung tertawa terbahak-bahak. Suaranya menggema di seluruh desa. “HAHAHA! Jadi ini gara-gara salah paham soal kata joss? Aduh, Pak Burhanawi, tenang dulu! Maksud Pak Darwis itu bukan jorok. Dia pakai arti dari daerahnya.”

“Tapi di sini artinya lain! Dia harus tahu adat kita!” sergah Pak Burhanawi, masih kesal.

Irjuanda mencoba menjelaskan dengan sabar. “Betul, Pak. Tapi kan dia baru datang. Dia belum tahu. Lagipula lucu juga ya, kalau setiap kali dia bilang joss orang di sini mikirnya itu… anu.”

Mendengar kata “anu,” Pak Burhanawi malah tersenyum kecut, lalu ikut tertawa kecil. Akhirnya, suasana mencair. Pak Darwis yang awalnya canggung pun ikut tersenyum lega.

“Saya minta maaf ya, Pak Burhanawi. Mulai sekarang saya janji tidak akan sembarangan bilang joss,” ujar Pak Darwis.

“Tapi ingat ya, Pak,” kata Irjuanda sambil terkekeh, “Kalau di Padang artinya bagus, di sini, jangan pernah bilang itu ke sembarang orang. Bisa-bisa satu desa ngamuk!”

Hari itu, cerita soal joss menyebar ke seluruh desa. Warga yang mendengar kisah ini tertawa ngakak hingga perut mereka sakit. Bahkan, sampai beberapa minggu kemudian, setiap kali bertemu Pak Darwis, anak-anak kecil berteriak, “Pak Darwis, joss! Eh, anu maksudnya!”

Sejak itu, Pak Darwis berhati-hati dengan kata-kata, sementara Pak Burhanawi mulai belajar memahami pendatang. Dan Irjuanda? Ia merasa seperti pahlawan lokal, meski tiap kali lewat ia selalu digoda, “Irjuanda, penerjemah joss! Haha!”

Cerita itu menjadi pelajaran penting di desa Lembak Beliti: Jangan asal pakai kata tanpa tahu maknanya di tempat lain. Tapi di sisi lain, mereka juga belajar untuk tertawa dari kesalahpahaman kecil—karena tawa adalah bahasa yang universal.

Tamat 

(Hanya Hiburan dan Literasi)
😁😁😁🙏🙏🙏

FESTIVAL DURIAN REJANG LEBONG: Mahakarya Alam dan Persatuan

KATA JOSS YANG BIKIN CEKIKAN
(Salah Paham Bahasa)

Pagi itu di sebuah desa kecil di Lembak Beliti, langit biru cerah menjadi saksi kedatangan seorang pendatang baru bernama Pak Darwis. Beliau adalah seorang penyuluh agama yang baru saja ditugaskan di daerah tersebut. Dengan semangat menggebu-gebu, beliau berkeliling menyapa warga sambil membawa Al-Qur’an di tangan kanan dan senyuman sumringah di wajahnya.

“Assalamu’alaikum!” seru Pak Darwis lantang kepada seorang pria paruh baya yang sedang duduk di bawah pohon durian.

Pria itu, Pak Burhanawi namanya, adalah tokoh masyarakat Lembak Beliti. Ia dikenal tegas, galak, tapi berhati lembut—jika sudah makan pempek. Pak Burhanawi menatap Pak Darwis dengan dahi mengernyit. “Wa’alaikumussalam. Kau siapa? Baru di sini, kah?” tanyanya dengan nada khas daerah itu.

Pak Darwis tersenyum ramah. “Betul, Pak. Saya Darwis dari Padang. Penyuluh agama. Bapak siapa?”

“Aku Burhanawi. Apa urusanmu di sini?”

“Saya mau menyampaikan ilmu agama. Semoga bermanfaat untuk masyarakat di sini. Doakan usaha saya joss ya, Pak!” jawab Pak Darwis penuh semangat.

Wajah Pak Burhanawi langsung berubah merah padam. Matanya melotot seperti melihat maling durian. “APA?!” bentaknya, “Berani kau ngomong kotor di depan aku?! Baru datang sudah macam-macam!”

Pak Darwis kaget bukan main. Ia mengira ada masalah serius, tapi tidak tahu apa. “Lho, saya ngomong apa, Pak? Salah apa saya?”

“Kau bilang joss! Di sini itu artinya… itu…” Pak Burhanawi tidak melanjutkan kata-katanya. Wajahnya semakin merah.

Pak Darwis masih bingung. “Lho, kalau di tempat saya, joss itu artinya bagus, hebat, luar biasa, Pak.”

“Bagus apanya?! Di sini, joss itu… anu, kau tahu, kelamin laki-laki!”

Pak Darwis langsung terperanjat. Wajahnya yang tadinya penuh percaya diri berubah panik. “Astaghfirullah! Maaf, Pak! Saya tidak tahu! Saya sungguh tidak bermaksud!”

Namun, Pak Burhanawi yang keras kepala itu tidak terima. “Hati-hati kau kalau bicara! Ini Lembak Beliti, bukan Padang!”

Sementara keduanya mulai berdebat, Irjuanda, seorang pemuda desa yang kebetulan lewat, menghentikan langkahnya. Ia heran melihat Pak Burhanawi yang biasanya santai kini terlihat berapi-api.

“Pak Burhanawi, kenapa ribut-ribut pagi-pagi begini?” tanya Irjuanda dengan nada santai.

“Ini si pendatang baru! Belum apa-apa sudah ngomong kotor!” gerutu Pak Burhanawi sambil menunjuk Pak Darwis.

“Eh, bukan begitu, Mas. Saya tadi cuma bilang joss. Maksud saya bagus, keren. Tapi katanya di sini artinya beda,” jelas Pak Darwis dengan nada putus asa.

Irjuanda yang mengerti kedua bahasa itu langsung tertawa terbahak-bahak. Suaranya menggema di seluruh desa. “HAHAHA! Jadi ini gara-gara salah paham soal kata joss? Aduh, Pak Burhanawi, tenang dulu! Maksud Pak Darwis itu bukan jorok. Dia pakai arti dari daerahnya.”

“Tapi di sini artinya lain! Dia harus tahu adat kita!” sergah Pak Burhanawi, masih kesal.

Irjuanda mencoba menjelaskan dengan sabar. “Betul, Pak. Tapi kan dia baru datang. Dia belum tahu. Lagipula lucu juga ya, kalau setiap kali dia bilang joss orang di sini mikirnya itu… anu.”

Mendengar kata “anu,” Pak Burhanawi malah tersenyum kecut, lalu ikut tertawa kecil. Akhirnya, suasana mencair. Pak Darwis yang awalnya canggung pun ikut tersenyum lega.

“Saya minta maaf ya, Pak Burhanawi. Mulai sekarang saya janji tidak akan sembarangan bilang joss,” ujar Pak Darwis.

“Tapi ingat ya, Pak,” kata Irjuanda sambil terkekeh, “Kalau di Padang artinya bagus, di sini, jangan pernah bilang itu ke sembarang orang. Bisa-bisa satu desa ngamuk!”

Hari itu, cerita soal joss menyebar ke seluruh desa. Warga yang mendengar kisah ini tertawa ngakak hingga perut mereka sakit. Bahkan, sampai beberapa minggu kemudian, setiap kali bertemu Pak Darwis, anak-anak kecil berteriak, “Pak Darwis, joss! Eh, anu maksudnya!”

Sejak itu, Pak Darwis berhati-hati dengan kata-kata, sementara Pak Burhanawi mulai belajar memahami pendatang. Dan Irjuanda? Ia merasa seperti pahlawan lokal, meski tiap kali lewat ia selalu digoda, “Irjuanda, penerjemah joss! Haha!”

Cerita itu menjadi pelajaran penting di desa Lembak Beliti: Jangan asal pakai kata tanpa tahu maknanya di tempat lain. Tapi di sisi lain, mereka juga belajar untuk tertawa dari kesalahpahaman kecil—karena tawa adalah bahasa yang universal.

Tamat 

(Hanya Hiburan dan Literasi)
😁😁😁🙏🙏🙏

KATA JOSS YANG BIKIN CEKIKAN(Salah Paham Bahasa)

KATA JOSS YANG BIKIN CEKIKAN
(Salah Paham Bahasa)

Pagi itu di sebuah desa kecil di Lembak Beliti, langit biru cerah menjadi saksi kedatangan seorang pendatang baru bernama Pak Darwis. Beliau adalah seorang penyuluh agama yang baru saja ditugaskan di daerah tersebut. Dengan semangat menggebu-gebu, beliau berkeliling menyapa warga sambil membawa Al-Qur’an di tangan kanan dan senyuman sumringah di wajahnya.

“Assalamu’alaikum!” seru Pak Darwis lantang kepada seorang pria paruh baya yang sedang duduk di bawah pohon durian.

Pria itu, Pak Burhanawi namanya, adalah tokoh masyarakat Lembak Beliti. Ia dikenal tegas, galak, tapi berhati lembut—jika sudah makan pempek. Pak Burhanawi menatap Pak Darwis dengan dahi mengernyit. “Wa’alaikumussalam. Kau siapa? Baru di sini, kah?” tanyanya dengan nada khas daerah itu.

Pak Darwis tersenyum ramah. “Betul, Pak. Saya Darwis dari Padang. Penyuluh agama. Bapak siapa?”

“Aku Burhanawi. Apa urusanmu di sini?”

“Saya mau menyampaikan ilmu agama. Semoga bermanfaat untuk masyarakat di sini. Doakan usaha saya joss ya, Pak!” jawab Pak Darwis penuh semangat.

Wajah Pak Burhanawi langsung berubah merah padam. Matanya melotot seperti melihat maling durian. “APA?!” bentaknya, “Berani kau ngomong kotor di depan aku?! Baru datang sudah macam-macam!”

Pak Darwis kaget bukan main. Ia mengira ada masalah serius, tapi tidak tahu apa. “Lho, saya ngomong apa, Pak? Salah apa saya?”

“Kau bilang joss! Di sini itu artinya… itu…” Pak Burhanawi tidak melanjutkan kata-katanya. Wajahnya semakin merah.

Pak Darwis masih bingung. “Lho, kalau di tempat saya, joss itu artinya bagus, hebat, luar biasa, Pak.”

“Bagus apanya?! Di sini, joss itu… anu, kau tahu, kelamin laki-laki!”

Pak Darwis langsung terperanjat. Wajahnya yang tadinya penuh percaya diri berubah panik. “Astaghfirullah! Maaf, Pak! Saya tidak tahu! Saya sungguh tidak bermaksud!”

Namun, Pak Burhanawi yang keras kepala itu tidak terima. “Hati-hati kau kalau bicara! Ini Lembak Beliti, bukan Padang!”

Sementara keduanya mulai berdebat, Irjuanda, seorang pemuda desa yang kebetulan lewat, menghentikan langkahnya. Ia heran melihat Pak Burhanawi yang biasanya santai kini terlihat berapi-api.

“Pak Burhanawi, kenapa ribut-ribut pagi-pagi begini?” tanya Irjuanda dengan nada santai.

“Ini si pendatang baru! Belum apa-apa sudah ngomong kotor!” gerutu Pak Burhanawi sambil menunjuk Pak Darwis.

“Eh, bukan begitu, Mas. Saya tadi cuma bilang joss. Maksud saya bagus, keren. Tapi katanya di sini artinya beda,” jelas Pak Darwis dengan nada putus asa.

Irjuanda yang mengerti kedua bahasa itu langsung tertawa terbahak-bahak. Suaranya menggema di seluruh desa. “HAHAHA! Jadi ini gara-gara salah paham soal kata joss? Aduh, Pak Burhanawi, tenang dulu! Maksud Pak Darwis itu bukan jorok. Dia pakai arti dari daerahnya.”

“Tapi di sini artinya lain! Dia harus tahu adat kita!” sergah Pak Burhanawi, masih kesal.

Irjuanda mencoba menjelaskan dengan sabar. “Betul, Pak. Tapi kan dia baru datang. Dia belum tahu. Lagipula lucu juga ya, kalau setiap kali dia bilang joss orang di sini mikirnya itu… anu.”

Mendengar kata “anu,” Pak Burhanawi malah tersenyum kecut, lalu ikut tertawa kecil. Akhirnya, suasana mencair. Pak Darwis yang awalnya canggung pun ikut tersenyum lega.

“Saya minta maaf ya, Pak Burhanawi. Mulai sekarang saya janji tidak akan sembarangan bilang joss,” ujar Pak Darwis.

“Tapi ingat ya, Pak,” kata Irjuanda sambil terkekeh, “Kalau di Padang artinya bagus, di sini, jangan pernah bilang itu ke sembarang orang. Bisa-bisa satu desa ngamuk!”

Hari itu, cerita soal joss menyebar ke seluruh desa. Warga yang mendengar kisah ini tertawa ngakak hingga perut mereka sakit. Bahkan, sampai beberapa minggu kemudian, setiap kali bertemu Pak Darwis, anak-anak kecil berteriak, “Pak Darwis, joss! Eh, anu maksudnya!”

Sejak itu, Pak Darwis berhati-hati dengan kata-kata, sementara Pak Burhanawi mulai belajar memahami pendatang. Dan Irjuanda? Ia merasa seperti pahlawan lokal, meski tiap kali lewat ia selalu digoda, “Irjuanda, penerjemah joss! Haha!”

Cerita itu menjadi pelajaran penting di desa Lembak Beliti: Jangan asal pakai kata tanpa tahu maknanya di tempat lain. Tapi di sisi lain, mereka juga belajar untuk tertawa dari kesalahpahaman kecil—karena tawa adalah bahasa yang universal.

Tamat 

(Hanya Hiburan dan Literasi)
😁😁😁🙏🙏🙏

KISAH KELAHIRAN DAN PERJALANAN USMAN ALAMSYAH

KISAH KELAHIRAN DAN PERJALANAN USMAN ALAMSYAH 

Di pagi yang dingin, di bawah langit yang masih kelabu, seorang bayi laki-laki lahir ke dunia. Tangisnya tak menggema seperti bayi lainnya, hanya rintihan lemah yang tersisa. Ia, Usman Alamsyah, atau yang akrab disapa U'K, terlahir tanpa setetes darah yang mengalir di tubuhnya. Hanya cairan kuning seperti obat yang membasahi kulitnya. Ibunya, Iman Caya, terlalu lemah setelah berjuang melahirkannya, tubuhnya penuh suntikan vitamin yang entah berapa kali diberikan oleh bidan desa.

U'K lahir di Desa Lubuk Alai, Kecamatan Padang Ulak Tanding, yang kini telah berganti nama menjadi Kecamatan Sindang Beliti Ulu, Kabupaten Rejang Lebong, Provinsi Bengkulu. Namun, sejak ia menghirup udara dunia ini, tak sekalipun ia melihat wajah seorang ayah. Iliyas bin Yahya, sang ayah, telah pergi sebelum ia sempat merasakan hangatnya pelukan seorang lelaki yang seharusnya menjadi pelindung dalam hidupnya.

Ketika masih bayi, U'K merasakan lapar yang tak tertahankan. Ibunya, yang harus pergi ke kebun demi sesuap nasi, tak bisa selalu berada di sisinya. Dalam tangisan yang memilukan, dua saudari U'K, Susilawati dan Lamcaya, mencoba menenangkan adik mereka. Beras yang ditumbuk dengan jelapang lalu dicampur dengan air dan gula menjadi pengganti susu. Begitulah ia bertahan, dalam dekapan kasih sayang kakak-kakaknya yang tak ingin melihatnya kelaparan.

Namun, luka yang paling dalam bukan hanya karena ketiadaan seorang ayah, melainkan kisah pilu yang mengiringi kepergiannya. Iliyas, sang ayah, digigit anjing gila. Awalnya, ia menganggap itu hanya luka biasa, cukup disuntik obat luka tanpa peduli bahaya yang mengintai. Waktu berlalu, tiga bulan setelahnya, penyakit yang lebih menakutkan daripada sekadar luka mulai merayap dalam tubuhnya. Rabies. Ayahanda menjadi takut pada angin, takut pada cahaya, tubuhnya menggigil dalam kesakitan yang tak tertahankan. Hingga akhirnya, di Rumah Sakit Lubuk Linggau, Iliyas menghembuskan napas terakhirnya.

Hari itu, dunia seakan runtuh bagi keluarga kecil itu. Ketika kabar duka datang, Susilawati, sang kakak sulung, bahkan tak sanggup membuka pintu. Tangannya gemetar, dadanya sesak oleh kepedihan yang tak terlukiskan. Ia masih terlalu kecil untuk kehilangan seorang ayah. Ia masih terlalu muda untuk menerima kenyataan bahwa keluarga mereka kini harus berjuang sendiri.

Waktu berlalu, U'K tumbuh dalam keterbatasan, namun tak sekalipun ia menyerah. Tanpa sosok ayah, ia belajar menjadi kuat dari ibunya yang tak pernah mengenal kata putus asa. Dari kakak-kakaknya, ia belajar bahwa kasih sayang bisa menggantikan kehilangan. Dan dari kehidupan yang keras, ia belajar bahwa meskipun dunia begitu kejam, selalu ada harapan bagi mereka yang berani bertahan.

Kisah U'K adalah kisah perjuangan, kesedihan, tetapi juga harapan. Ia membuktikan bahwa meski hidup memberinya luka sejak lahir, ia tetap bisa berdiri tegak. Bahwa dalam setiap kesulitan, ada kekuatan yang bisa ditemukan. Dan bahwa kehilangan bukanlah akhir, melainkan awal dari perjalanan yang lebih besar.

KISAH PERJALANAN USMAN ALAMSYAH

KISAH PERJALANAN USMAN ALAMSYAH 

Di sebuah desa kecil bernama Lubuk Alai, di bawah langit kelabu yang kerap dihiasi kabut pagi, lahirlah seorang anak laki-laki pada tanggal 19 Januari 1983. Bayi itu diberi nama Usman Alamsyah, namun orang-orang di sekitarnya lebih akrab memanggilnya U'K. Sebuah nama yang kelak membawa makna lebih dari sekadar panggilan.

Usman lahir tanpa pernah melihat wajah ayahnya, Iliyas bin Yahya. Takdir telah menuliskan skenario hidup yang getir sejak awal bagi bayi mungil itu. Ia datang ke dunia bukan dalam hangatnya dekapan ayah, melainkan dalam keheningan yang menyisakan jejak kehilangan. Ketika ia lahir, tak ada darah yang mengiringi kehadirannya, hanya cairan kuning menyerupai obat, mungkin karena sang ibu, Iman Caya, terlalu lemah dan harus disuntik berbagai vitamin demi mempertahankan kehidupannya dan sang anak.

Sejak kecil, Usman tumbuh dalam pelukan kasih seorang ibu dan kakak-kakaknya. Kakak tertuanya, Susilawati, seringkali menggantikan peran ayah yang tak pernah ia kenal. Ada juga Lamcaya, sang kakak kedua, yang selalu menjaganya, serta Nata Kusuma, sang kakak ketiga yang menjadi penopang di saat-saat sulit. Namun, mereka semua tahu bahwa tidak ada yang benar-benar bisa menggantikan sosok seorang ayah.

Hari-hari kecilnya penuh dengan perjuangan. Ketika sang ibu harus pergi ke kebun untuk bekerja, Usman kecil pernah ditinggalkan menangis. Susilawati dan Lamcaya, dengan segala kepolosan mereka, mencoba menenangkan sang adik dengan membuat pengganti susu. Mereka menumbuk beras dengan jelapang hingga menjadi tepung, mencampurnya dengan air dan gula, lalu memberikannya kepada Usman. Makanan sederhana itu bukan hanya menjadi penyambung hidup, tetapi juga bukti kasih sayang yang tulus.

Namun, kisah paling kelam dalam kehidupan Usman bermula jauh sebelum ia mampu mengingat, ketika ayahnya berpulang karena rabies. Iliyas, seorang pria tangguh dari Lubuk Alai, digigit anjing gila. Sayangnya, ia menyepelekan gigitan itu dan hanya mau menerima suntikan obat luka, bukan vaksin rabies. Waktu berlalu, dan dalam tiga bulan, penyakit itu mulai menunjukkan taringnya. Ayah Usman mulai takut pada angin, cahaya terang, dan perlahan-lahan tubuhnya melemah. Hingga akhirnya, ia menghembuskan napas terakhir di Rumah Sakit Lubuk Linggau. Saat itu, Susilawati, yang masih kecil, bahkan belum mampu membuka pintu untuk mendengar kabar duka yang datang.

Usman tumbuh dengan cerita tentang ayahnya yang hanya bisa ia dengar dari bisikan keluarga. Ia membayangkan sosok itu dalam mimpinya, menggambar wajah yang tak pernah ia lihat, dan bertanya-tanya seperti apa rasanya memiliki seorang ayah. Namun, ia tidak larut dalam kesedihan. Hidup telah mengajarkannya bahwa kehilangan bukan alasan untuk berhenti berjalan.

Dibesarkan dalam kesederhanaan, U'K tumbuh menjadi anak yang kuat dan penuh semangat. Ia belajar dari setiap kepedihan yang menimpanya, menjadikannya bahan bakar untuk melangkah maju. Ia memahami bahwa meski ia tak pernah merasakan belaian seorang ayah, ia memiliki cinta yang luar biasa dari ibu dan saudara-saudarinya. Dan itu cukup untuk membuatnya terus berjuang.

Perjalanan hidup Usman Alamsyah bukanlah sekadar kisah sedih. Ia adalah bukti bahwa luka dan kehilangan dapat menjadi batu pijakan untuk berdiri lebih kokoh. Bahwa kasih sayang tidak selalu hadir dalam bentuk yang sempurna, tetapi tetap bisa menjadi cahaya dalam kegelapan. Dan bahwa seorang anak yang lahir tanpa seorang ayah, tetap bisa tumbuh menjadi sosok yang menginspirasi dunia.

ES BALON DAN MIMPI SEORANG ANAK KECIL

ES BALON DAN MIMPI SEORANG ANAK KECIL Di sebuah desa kecil yang dikelilingi perbukitan hijau, seorang bocah bernama Usman Alamsyah tumbuh de...