Selasa, 21 Januari 2025

SALAH KAPRAH ANTARA GURU DAN MURID TENTANG PANTAT

SALAH KAPRAH ANTARA GURU DAN MURID TENTANG PANTAT 


Pak Miko adalah seorang guru asal Jawa Tengah yang baru saja ditugaskan di sebuah desa di Lembak Beliti, Rejang Lebong, Bengkulu. Dengan semangat menggebu, beliau ingin segera mengajarkan ilmu yang dimilikinya kepada anak-anak di daerah tersebut. Namun, siapa sangka, hari pertama mengajar justru menjadi momen yang tidak akan pernah terlupakan oleh warga desa.

Pagi itu, suasana kelas riuh oleh suara tawa dan obrolan anak-anak. Pak Miko masuk dengan percaya diri sambil membawa spidol dan senyuman khas orang Jawa yang ramah.

"Selamat pagi, anak-anak!" seru Pak Miko dengan nada ceria.

"Pagi, Pak Guru!" jawab mereka serempak.

Pak Miko mulai memperkenalkan dirinya dengan antusias. Setelah itu, ia beralih ke materi pelajaran. Ketika sedang menjelaskan tentang anatomi tubuh manusia, beliau tiba-tiba menulis kata "BOKONG" besar-besar di papan tulis.

"Nah, anak-anak, ini namanya bokong! Semua orang punya bokong, kan?" katanya sambil tersenyum lebar.

Sekelas langsung sunyi. Anak-anak menatap Pak Miko dengan mata membelalak seperti melihat sesuatu yang tidak seharusnya dilihat. Suasana menjadi tegang. Lalu, salah seorang anak mengangkat tangan dan bertanya dengan ragu.

"Pak Guru... bokong itu maksudnya...?"

Pak Miko, yang belum tahu bahwa kata "bokong" memiliki arti yang berbeda di Lembak Beliti, dengan santainya menjawab, "Ya, bokong itu pantat. Semua orang punya bokong, kan? Kalau tidak ada bokong, nanti gimana duduknya?"

Kelas langsung heboh. Anak-anak mulai cekikikan, beberapa menutup wajah, bahkan ada yang berlari keluar kelas sambil menjerit, "Pak Guru ngomong jorok!"

Berita tentang "guru baru yang ngomong jorok" dengan cepat menyebar ke seluruh desa. Tak butuh waktu lama, seorang warga bernama Ridi datang ke sekolah dengan wajah tegang.

"Pak Guru!" panggil Ridi sambil melangkah masuk ke ruang kelas.

Pak Miko, yang sedang memeriksa tugas anak-anak, menoleh dengan bingung. "Iya, Pak, ada apa ya?"

"Sampeyan ini, kok ngomong kata yang nggak pantas ke anak-anak?" tanya Ridi dengan nada tinggi.

Pak Miko semakin bingung. "Lho, kata apa, Pak? Saya cuma bilang 'bokong', itu kan bahasa umum?"

Ridi langsung naik darah. "Bahasa umum dari mana? Di sini, 'bokong' itu artinya kelamin perempuan! Sampeyan ngajarin apa ke anak-anak ini?"

Pak Miko langsung pucat. "Hah? Lha di tempat saya, bokong itu pantat, Pak! Kalau gitu, saya salah paham..."

"Jelas salah paham! Anak-anak sekarang pada trauma, Pak Guru!" Ridi membalas dengan sengit.

Situasi memanas. Pak Miko mencoba menjelaskan, tetapi Ridi tetap bersikeras bahwa penggunaan kata itu tidak pantas. Perdebatan mereka menarik perhatian warga lainnya, termasuk Hermiani, seorang perempuan muda yang dikenal sebagai "kamus berjalan" di desa tersebut.

"Pak Ridi, Pak Miko, kenapa ribut-ribut sih?" tanya Hermiani sambil melangkah masuk.

Pak Miko segera menjawab, "Bu Hermiani, saya cuma ngomong 'bokong', eh malah dikira ngomong yang nggak-nggak!"

Ridi menimpali, "Iya, Hermiani! Dia ngomong 'bokong' di depan anak-anak! Nggak sopan banget, kan?"

Hermiani langsung tertawa terpingkal-pingkal. "Aduh, aduh, kalian ini salah paham besar! Begini, Pak Miko, di sini 'bokong' itu memang artinya kelamin perempuan. Jadi, kalau mau bilang pantat, bilang saja 'punggung bawah' atau 'pantat' langsung."

Pak Miko langsung menepuk jidat. "Astaga, kenapa nggak ada yang kasih tahu saya dari awal, Bu! Saya jadi malu sendiri."

Ridi yang tadinya kesal juga mulai tertawa kecil. "Ya ampun, kalau tahu gitu, saya nggak bakal marah-marah. Ternyata cuma masalah bahasa aja!"

Hermiani menambahkan, "Ini pelajaran untuk kita semua, jangan langsung marah kalau ada kesalahpahaman. Bahasa itu punya makna yang berbeda-beda, tergantung daerahnya."

Akhirnya, ketiganya tertawa bersama. Pak Miko merasa lega, meski dalam hati ia berjanji untuk lebih berhati-hati menggunakan kata-kata di depan kelas.

Esok harinya, Pak Miko kembali mengajar dengan semangat baru. Namun, kali ini ia membawa papan kecil yang bertuliskan: 'Kamus Pak Miko: Belajar Bahasa Lembak'. Setiap kali ingin menyebut sesuatu, beliau akan berkonsultasi terlebih dahulu dengan anak-anak.

Anak-anak pun senang karena akhirnya mereka punya guru yang tidak hanya pandai mengajar, tetapi juga mau belajar dari mereka. Dan sejak saat itu, "insiden bokong" menjadi bahan lelucon di desa, yang selalu membuat siapa pun tertawa terpingkal-pingkal.


Selesai.






Kekompakan Sindang Beliti Ulu: Perlawanan Melawan Pemerasan Oknum LSM

Kekompakan Sindang Beliti Ulu: Perlawanan Melawan Pemerasan Oknum LSM

Di sebuah aula sederhana di Kecamatan Sindang Beliti Ulu, suasana tampak begitu tegang namun penuh semangat. Para kepala desa yang telah lama menjadi sasaran pemerasan seorang oknum LSM bernama Herizon, akhirnya duduk bersama dalam sebuah pertemuan darurat. Herizon telah tertangkap dalam Operasi Tangkap Tangan (OTT) dengan barang bukti uang Rp 3.000.000, hasil dari pemerasannya. Namun, ini bukan akhir cerita. Mereka tahu, perjuangan untuk mengawal kasus ini hingga tuntas baru saja dimulai.

Pak Nata Kusuma, Kades Desa Lubuk Alai, berdiri pertama kali. Suaranya tegas dan berwibawa. “Kita sudah terlalu lama menjadi kebun terung yang diinjak-injak oleh oknum seperti Herizon. Sudah cukup! Jangan ada lagi di antara kita yang tunduk atau takut. Ini waktunya kita kompak melawan. Kalau kita bersatu, siapa yang berani menghadapi kita?”

Pak Adi Bin Selamet, Kades Desa Lawang Agung, mengangguk penuh semangat. Ia mengepalkan tangan ke udara. “Betul, Pak Nata! Saya sudah lelah menjadi ATM berjalan bagi dia. Setiap kali dia datang, kepala saya pening, dan uang desa menguap begitu saja. Mulai hari ini, saya bersumpah, desa Lawang Agung tak akan pernah lagi menjadi korban!”

Pak Kenedi, Kades Desa Apur, yang selama ini geram karena Herizon tinggal di desanya, ikut berbicara. “KTP-nya saja masih dari Pagar Alam, tapi dia seenaknya memeras warga saya di Desa Apur. Kita tidak boleh lagi memberi celah untuk oknum seperti dia. Saya mendukung penuh kekompakan ini. Desa Apur siap mengawal kasus ini sampai selesai!”

Pak Kusni, Kades Desa Air Nau, menatap semua rekannya dengan sorot mata yang penuh tekad. “Saya tidak mau masa-masa kelam itu terulang. Herizon sudah terlalu sering memeras saya dan desa Air Nau. Dia mengancam dengan berita buruk, tapi yang sebenarnya buruk adalah tindakannya. Kita harus memastikan dia mendapat hukuman setimpal.”

Di sudut ruangan, Ibu Situnti, Kades Desa Karang Pinang, bangkit berdiri. Walau seorang wanita, ia berbicara dengan keberanian yang menginspirasi. “Jangan remehkan kami para perempuan. Walau saya wanita, saya tidak akan pernah membiarkan desa saya menjadi ATM LSM. Ini bukan hanya tentang uang, tapi tentang harga diri kita sebagai pemimpin desa!”

Pak M. Bakri, Kades Desa Tanjung Agung, mengangguk mantap. “Saya sepenuhnya mendukung pengawalan kasus ini. Kita harus memastikan tidak ada satu pun langkah yang luput dari pengawasan kita. Jangan biarkan dia lolos begitu saja.”

Pak Kailani, Kades Desa Pengambang, yang dikenal bijaksana, berbicara dengan nada mendalam. “Kekompakan adalah kunci ketakutan mereka. Jika kita solid, mereka tidak akan berani mencoba-coba lagi. Desa Pengambang siap mendukung setiap langkah untuk mengawal kasus ini.”

Pak Rahmad Saleh, Kades Desa Jabi, menyuarakan dukungan penuhnya. “Saya mendukung penuh apa yang disampaikan rekan-rekan sekalian. Ini adalah perjuangan bersama. Kita tidak bisa lagi membiarkan Herizon atau siapa pun menginjak-injak martabat desa kita.”

Akhirnya, Pak Ujang Jaya, Kades Desa Tanjung Heran, bangkit dengan sorot mata penuh kemarahan yang tertahan. “Tahun lalu, saya pernah menjadi korban wartawan/LSM. Uang desa habis tanpa jejak karena ancamannya. Saya tidak akan membiarkan itu terjadi lagi. Saya mendukung penuh upaya ini, dan saya bersedia ikut serta hingga kasus ini mencapai meja persidangan!”

Sorakan dukungan bergemuruh di ruangan itu. Para kepala desa sepakat untuk membentuk tim pengawal kasus. Mereka berencana mengunjungi Kapolsek Padang Ulak Tanding secara serentak dan rutin untuk memastikan kasus ini tidak berakhir begitu saja.

Herizon, yang dulu merasa dirinya untouchable, kini merasakan ketakutan. Di balik jeruji, ia mendengar kabar tentang kekompakan para kades Sindang Beliti Ulu. "Mereka tidak akan membiarkan aku lolos," gumamnya dengan cemas.

Semangat para kades Kecamatan Sindang Beliti Ulu kini menjadi obor bagi seluruh warga. Mereka tidak hanya mengawal kasus ini, tetapi juga menginspirasi desa-desa lain untuk melawan Oknum LSM. Herizon mungkin telah tertangkap, tetapi perjuangan belum selesai sampai pengadilan memberikan hukuman yang setimpal.

Di Sindang Beliti Ulu, para kades telah membuktikan bahwa kekompakan adalah senjata terkuat melawan pemerasan dan penindasan dari Oknum LSM. Dengan satu suara, mereka berseru, “Tidak ada lagi ruang bagi pemeras seperti Herizon di desa kita khususnya Kecamatan Sindang Beliti Ulu!”


Tamat 
(Hanya Penyemangat)
💪💪💪💪

Jumat, 17 Januari 2025

Kepergian Suri, Pelita yang Redup di Desa Lawang Agung

JARI YANG MENANGIS 
(Ratu Gibah Digital Yang Insaf)

Di sebuah Desa kecil, hiduplah seorang wanita bernama Ratni. Dia memiliki kebiasaan unik yang disukai sekaligus dibenci orang-orang di sekitarnya: mengunggah segala hal ke Facebook. Namun, Ratni bukan hanya sekadar penulis status biasa. Dia adalah ratu gibah digital. Apa pun yang terjadi di lingkungannya, dari perselingkuhan tetangga hingga gosip kecil tentang pedagang di pasar, semuanya berakhir menjadi status panjang penuh sindiran tajam.

"Dasar tetangga sebelah, baru kaya sedikit sudah sombong!" tulis Ratni suatu pagi.

Hari lain, dia mengetik: "Ada orang yang suka ngomongin saya di belakang. Hei, berani depan-depan dong!" meskipun semua tahu Ratni-lah yang paling sering membicarakan orang di belakang.

Jarinya menari di layar ponsel seperti tarian iblis kecil. Dia tak peduli siapa yang tersakiti. Baginya, Facebook adalah panggungnya, dan semua orang adalah penonton.

Namun, sesuatu yang aneh mulai terjadi. Suatu malam, setelah menulis status panjang tentang tukang sayur yang diduganya mencuri uang kembalian, jarinya terasa panas. Panas itu seperti bara api yang menggerogoti. "Ah, mungkin cuma pegal," pikirnya sambil memijat-mijat jari telunjuknya.

Keesokan paginya, jari telunjuk Ratni membengkak. Kulitnya memerah seperti tomat busuk, dan anehnya, ada bisikan kecil yang terdengar samar di telinganya. "Berhenti... berhenti... kau menyakitiku..."

Ratni mengabaikan suara itu. Dia menganggapnya halusinasi karena terlalu lelah mengetik. Tetapi saat dia mencoba menulis status baru, jari-jarinya mendadak kaku. Ponsel terjatuh dari tangannya, dan suara bisikan itu berubah menjadi jeritan: "BERHENTI MENYAKITI KAMI!"

Ratni terkejut. Dia melihat jarinya menggeliat, seperti cacing yang hidup. Kuku telunjuknya menghitam, sementara kulitnya mulai mengelupas. Rasa sakitnya tak tertahankan. Ratni menangis, tapi dia tak bisa berhenti memikirkan status yang ingin dia tulis.

Malam itu, jari telunjuknya membengkak lebih besar dari jari-jari lain, penuh dengan luka bernanah. Ketika dia mencoba tidur, jari-jari lainnya mulai berbisik: "Kami bosan mengetik kebencian. Kami ingin istirahat. Kalau tidak, kami akan pergi selamanya..."

Esoknya, Ratni tetap keras kepala. Dia memaksakan diri untuk menulis status baru dengan sisa tenaga, meski jarinya bergetar dan nyaris putus. "Ada yang bilang karma itu nyata. Tapi aku tak percaya!"

Namun, begitu dia selesai menulis, jari telunjuknya terlepas dan jatuh ke lantai. Ratni menjerit ngeri. Luka di tangannya membentuk bekas luka bakar, dan darah mengalir deras. Sementara itu, jari telunjuknya yang jatuh ke lantai berbisik pelan, "Kau telah menghancurkan kami. Kini, giliranmu menerima balasan."

Ratni panik. Dia mulai menyadari kesalahannya. Semua status yang pernah dia tulis kini terlintas di pikirannya seperti film yang diputar ulang. Dia melihat wajah-wajah sedih orang yang pernah disakitinya, komentar yang mengundang pertengkaran, dan kata-kata tajam yang menjadi senjatanya.

Dalam tangis, Ratni berlutut dan memohon ampun. "Aku menyesal! Aku tidak akan pernah lagi menyakiti siapa pun lewat tulisanku!" katanya dengan air mata mengalir.

Anehnya, jari telunjuknya yang terlepas kembali bergerak. Ia merayap naik ke tangannya dan menempel di tempatnya semula. Luka di tangannya sembuh perlahan, tetapi suara yang sama berbisik: "Kami memberimu kesempatan terakhir. Gunakan tanganmu untuk kebaikan, bukan kebencian."

Sejak hari itu, Ratni berhenti menulis status penuh gibah. Sebaliknya, dia mulai mengunggah hal-hal positif: "Semangat pagi, semoga hari ini penuh berkah!" atau "Tolong bantu tetangga yang sedang kesulitan, mari saling peduli."

Dia juga meminta maaf kepada semua orang yang pernah disakitinya. Ratni kini dikenal sebagai sosok yang bijak dan inspiratif. Namun, di malam-malam yang sepi, dia kadang masih mendengar bisikan jari-jarinya, mengingatkan: "Jangan ulangi kesalahanmu."

Dan Ratni tahu, jika dia tergoda lagi untuk mengetik kebencian, jarinya mungkin tak akan memaafkannya untuk kedua kalinya.

Tamat

JARI YANG MENANGIS (Ratu Gibah Digital Yang Insaf)

JARI YANG MENANGIS 
(Ratu Gibah Digital Yang Insaf)

Di sebuah Desa kecil, hiduplah seorang wanita bernama Ratni. Dia memiliki kebiasaan unik yang disukai sekaligus dibenci orang-orang di sekitarnya: mengunggah segala hal ke Facebook. Namun, Ratni bukan hanya sekadar penulis status biasa. Dia adalah ratu gibah digital. Apa pun yang terjadi di lingkungannya, dari perselingkuhan tetangga hingga gosip kecil tentang pedagang di pasar, semuanya berakhir menjadi status panjang penuh sindiran tajam.

"Dasar tetangga sebelah, baru kaya sedikit sudah sombong!" tulis Ratni suatu pagi.

Hari lain, dia mengetik: "Ada orang yang suka ngomongin saya di belakang. Hei, berani depan-depan dong!" meskipun semua tahu Ratni-lah yang paling sering membicarakan orang di belakang.

Jarinya menari di layar ponsel seperti tarian iblis kecil. Dia tak peduli siapa yang tersakiti. Baginya, Facebook adalah panggungnya, dan semua orang adalah penonton.

Namun, sesuatu yang aneh mulai terjadi. Suatu malam, setelah menulis status panjang tentang tukang sayur yang diduganya mencuri uang kembalian, jarinya terasa panas. Panas itu seperti bara api yang menggerogoti. "Ah, mungkin cuma pegal," pikirnya sambil memijat-mijat jari telunjuknya.

Keesokan paginya, jari telunjuk Ratni membengkak. Kulitnya memerah seperti tomat busuk, dan anehnya, ada bisikan kecil yang terdengar samar di telinganya. "Berhenti... berhenti... kau menyakitiku..."

Ratni mengabaikan suara itu. Dia menganggapnya halusinasi karena terlalu lelah mengetik. Tetapi saat dia mencoba menulis status baru, jari-jarinya mendadak kaku. Ponsel terjatuh dari tangannya, dan suara bisikan itu berubah menjadi jeritan: "BERHENTI MENYAKITI KAMI!"

Ratni terkejut. Dia melihat jarinya menggeliat, seperti cacing yang hidup. Kuku telunjuknya menghitam, sementara kulitnya mulai mengelupas. Rasa sakitnya tak tertahankan. Ratni menangis, tapi dia tak bisa berhenti memikirkan status yang ingin dia tulis.

Malam itu, jari telunjuknya membengkak lebih besar dari jari-jari lain, penuh dengan luka bernanah. Ketika dia mencoba tidur, jari-jari lainnya mulai berbisik: "Kami bosan mengetik kebencian. Kami ingin istirahat. Kalau tidak, kami akan pergi selamanya..."

Esoknya, Ratni tetap keras kepala. Dia memaksakan diri untuk menulis status baru dengan sisa tenaga, meski jarinya bergetar dan nyaris putus. "Ada yang bilang karma itu nyata. Tapi aku tak percaya!"

Namun, begitu dia selesai menulis, jari telunjuknya terlepas dan jatuh ke lantai. Ratni menjerit ngeri. Luka di tangannya membentuk bekas luka bakar, dan darah mengalir deras. Sementara itu, jari telunjuknya yang jatuh ke lantai berbisik pelan, "Kau telah menghancurkan kami. Kini, giliranmu menerima balasan."

Ratni panik. Dia mulai menyadari kesalahannya. Semua status yang pernah dia tulis kini terlintas di pikirannya seperti film yang diputar ulang. Dia melihat wajah-wajah sedih orang yang pernah disakitinya, komentar yang mengundang pertengkaran, dan kata-kata tajam yang menjadi senjatanya.

Dalam tangis, Ratni berlutut dan memohon ampun. "Aku menyesal! Aku tidak akan pernah lagi menyakiti siapa pun lewat tulisanku!" katanya dengan air mata mengalir.

Anehnya, jari telunjuknya yang terlepas kembali bergerak. Ia merayap naik ke tangannya dan menempel di tempatnya semula. Luka di tangannya sembuh perlahan, tetapi suara yang sama berbisik: "Kami memberimu kesempatan terakhir. Gunakan tanganmu untuk kebaikan, bukan kebencian."

Sejak hari itu, Ratni berhenti menulis status penuh gibah. Sebaliknya, dia mulai mengunggah hal-hal positif: "Semangat pagi, semoga hari ini penuh berkah!" atau "Tolong bantu tetangga yang sedang kesulitan, mari saling peduli."

Dia juga meminta maaf kepada semua orang yang pernah disakitinya. Ratni kini dikenal sebagai sosok yang bijak dan inspiratif. Namun, di malam-malam yang sepi, dia kadang masih mendengar bisikan jari-jarinya, mengingatkan: "Jangan ulangi kesalahanmu."

Dan Ratni tahu, jika dia tergoda lagi untuk mengetik kebencian, jarinya mungkin tak akan memaafkannya untuk kedua kalinya.

Tamat

Rabu, 15 Januari 2025

ODONG-ODONG RASA BANDUNG


ODONG-ODONG RASA BANDUNG 


Hari itu, 15 camat Kabupaten Rejang Lebong sedang mengadakan rapat koordinasi di Bandung. Setelah rapat yang berlangsung tegang karena perdebatan soal siapa yang paling paham kuliner khas Bandung,Pak Hantoni,sang camat Bermani Ulu yang dikenal sering lapar di waktu tak tepat, mengusulkan untuk jalan-jalan santai menuju Masjid Al-Jabar. "Sekalian kita cari angin segar. Udara Bandung ini lebih enak daripada AC kantor!" ujarnya dengan semangat.

Dengan langkah penuh semangat dan wajah ceria, rombongan camat berjalan santai. Namun, baru beberapa langkah, di depan mereka meluncur sebuah odong-odong berwarna-warni dengan musik dangdut remix. Sopirnya, seorang pria berusia sekitar 30-an dengan senyum lebar yang seolah bisa menjual mimpi, tiba-tiba berteriak, "Ayo naik, bapak-ibu pejabat! Saya antar ke Masjid Al-Jabar. Jauh lho dari sini, nanti capek kalau jalan!"

Pak Helvin Elkadarido,Camat Curup Timur, yang terkenal suka mencoba hal baru, langsung antusias. "Wah, keren nih! Kapan lagi kita naik odong-odong rame-rame? Yuk, semuanya naik!"

"Bayar dulu, ya. Cuma Rp10.000 per orang!" kata si sopir sambil mengibas-ngibaskan tiket kecil berwarna merah.

Tanpa pikir panjang, seluruh camat naik ke odong-odong dengan penuh semangat. Lagu dangdut remix "Ojo Dibandingke" menggema, membuat suasana makin riuh.Pak R. Gunawan Wibisono,Camat Curup, bahkan terlihat berjoget kecil sambil berpegangan pada atap odong-odong.

Setelah meluncur sekitar 15 detik, Ibu Mailinda,Camat Selupu Rejang, mulai curiga. "Eh, kok masjidnya kayaknya dekat banget, ya? Tadi aku lihat dari sini cuma beberapa langkah!"

Namun, si sopir dengan percaya diri berkata, "Oh, itu cuma kelihatannya dekat, Bu. Kalau jalan kaki bisa satu jam, lho! Ini jalan muter."

Sementara itu,Pak Zainudin,Camat Binduriang, yang duduk paling belakang, mulai mengeluh. "Aduh, ini odong-odong goyang-goyang, pinggangku jadi pegel!"

"Tenang, Pak! Nikmati saja perjalanan ini!" sahut Pak Sukaesih,Camat Kota Padang, yang mencoba menenangkan.

Setelah berputar-putar sekitar tiga menit (dan melewati jalan yang sama tiga kali), mereka akhirnya tiba di depan Masjid Al-Jabar.Ibu Eliyenti, Camat Sindang Kelingi, turun lebih dulu, dan saat menjejakkan kaki ke tanah, dia terkejut. "Lho, kok ini titik awal kita naik tadi?"

Semua camat langsung menoleh ke arah pintu masjid yang ternyata hanya 30 langkah dari tempat awal mereka naik. Mata mereka membelalak. Raut wajah kaget dan bingung pun memenuhi rombongan.

"Astaga, kita bayar Rp10.000 per orang untuk muter-muter nggak jelas?!" seru Pak Anton,Camat Sindang Dataran.

"Pak sopir! Ini kan cuma muter-muter dekat sini, kok bilang jauh?!" tanya Pak Redo Krisyanto, Camat Padang Ulak Tanding, dengan nada kecewa.

Namun, si sopir hanya tertawa santai. "Ah, bapak-ibu jangan serius banget. Itu kan hiburan. Lagipula, kapan lagi camat-camat naik odong-odong bareng sambil joget?"

Semua camat terdiam sesaat, lalu mendadak pecah tawa. Usman Alamsyah, Camat Sindang Beliti Ulu, bahkan sampai memegangi perutnya sambil berkata, "Ya Allah, ini pengalaman konyol tapi nggak bakal kita lupakan!"

Akhirnya, seluruh camat sepakat untuk menganggap kejadian itu sebagai pelajaran: jangan percaya penuh pada sopir odong-odong. Sementara itu, Diana Wijaya, Camat Curup Tengah, menambahkan, "Tapi ya, buat lucu-lucuan sih, ini asyik juga. Sekali-sekali, pejabat juga perlu jadi korban prank!"

Rombongan pun tertawa terbahak-bahak lagi sebelum melangkah masuk ke Masjid Al-Jabar—kali ini tanpa odong-odong.


Tamat 
Hanya Hiburan 
😁😁🤭🤭

Cerita Lucu: Petualangan Odong-Odong 9 Camat di Masjid Al-Jabar

Cerita Lucu: Petualangan Odong-Odong 9 Camat di Masjid Al-Jabar

Pagi itu, suasana ceria mengiringi perjalanan sembilan camat dari Rejang Lebong ke Bandung. Mereka semua sepakat untuk mengunjungi Masjid Al-Jabar, masjid megah yang baru viral di media sosial. Rombongan dipimpin oleh Pak Hantoni, Camat Bermani Ulu, yang terkenal dengan mottonya, "Perjalanan jauh? Santai, yang penting sampai!"

Setibanya di kompleks Masjid Al-Jabar, mereka disambut oleh seorang pria paruh baya dengan topi merah, senyum lebar, dan kendaraan odong-odong warna-warni yang gemerlap seperti kembang api malam tahun baru.

"Pak Camat, rombongan ini pasti capek, kan? Mau nggak saya antar keliling masjid? Dari sini ke pintu utama jauh, Pak, kira-kira dua kilometer," ucap si tukang odong-odong, sambil menunjuk ke arah masjid yang menjulang megah di depan mereka.

Pak Amlianto, Camat Bermani Ulu Raya, langsung mengangguk. "Boleh juga tuh, daripada kita lelah jalan kaki. Ayo, rombongan, naik dulu!" serunya dengan semangat.

Sembilan camat yang semuanya berpenampilan rapi, dengan peci hitam dan sepatu mengilap, pun naik ke odong-odong itu. Tentu saja, kendaraan tersebut langsung terlihat penuh sesak, seperti sarden yang dipaksa masuk ke kaleng.

"Berangkat!" kata si tukang odong-odong sambil menarik gas. Musik dangdut remix pun bergema, "Cendol dawet, cendol dawet…" mengiringi perjalanan mereka.

Namun, sesuatu yang aneh mulai terasa. Setelah lima menit odong-odong berputar-putar, Masjid Al-Jabar tetap terlihat dari sudut yang sama. Pak Rudy Tarmizi, Camat Curup Selatan, mulai curiga.

"Pak Hantoni, kok kayaknya kita muter-muter di tempat yang sama, ya?" bisiknya.

"Ah, tenang aja, Pak Rudy. Ini pasti jalan pintas," balas Pak Hantoni sambil menyesap teh botol yang entah bagaimana bisa muncul di tangannya.

Sementara itu, Pak Helvin Elkadarido, Camat Curup Timur, yang duduk di belakang odong-odong, melongok ke luar. "Lho, itu kan mobil kita yang tadi parkir? Kok masih di situ?"

Pak Redo Krisyanto, Camat Padang Ulak Tanding, yang terkenal paling kritis, langsung berteriak, "Berhenti, berhenti! Ini nggak benar!"

Odong-odong pun berhenti mendadak, membuat peci Pak Debi Jonson, Camat Sindang Beliti Ilir, terbang ke depan. "Waduh, peci saya malah jadi korban!" serunya sambil memungut pecinya yang jatuh di jalan.

Pak Usman Alamsyah, Camat Sindang Beliti Ulu, akhirnya turun dan menghampiri si tukang odong-odong. "Pak, ini kok kita cuma muter-muter? Itu pintu masjid cuma 30 langkah dari tempat kita naik tadi!" ujarnya, menunjuk ke arah pintu masjid yang sudah terlihat jelas.

Si tukang odong-odong hanya cengengesan. "Iya, Pak. Tapi kan Bapak-Bapak dan Ibu jadi punya pengalaman naik odong-odong. Itu jarang lho, apalagi buat orang terpandang seperti kalian!"

Pak R. Gunawan Wibisono, Camat Curup, yang biasanya paling tenang, akhirnya buka suara dengan nada gemas. "Pengalaman apa, Pak? Ini mah pengalaman dikerjain! Terus ongkosnya gimana?"

Si tukang odong-odong dengan santai menjawab, "Rp10.000 per orang aja, Pak. Itu udah harga diskon khusus buat camat."

Sembilan camat pun terdiam sejenak, lalu serentak tertawa terbahak-bahak. "Yasudah, anggap saja ini sedekah buat ekonomi lokal!" kata Ibu Mailinda, Camat Selupu Rejang, sambil mengeluarkan uang dari dompetnya.

Akhirnya, mereka berjalan kaki menuju masjid sambil bercanda tentang kejadian kocak itu. "Ini pelajaran penting: jangan mudah percaya sama odong-odong!" ujar Pak Hantoni, yang membuat semuanya tertawa lagi.

Dan begitulah, perjalanan sembilan camat ke Masjid Al-Jabar berakhir dengan cerita lucu yang akan terus mereka kenang dalam setiap rapat berikutnya.


Tamat 


(Hiburan)
😁😁😁

Senin, 13 Januari 2025

TRAGEDI GANTUNG DIRI DI DAHAN TERUNG

DI BALIK SENG DAN JENDELA KACA

Di bawah langit siang yang panas membakar,
angin tak peduli, seng mengerang dalam bisik keluh kesah.
Adik ipar sepupu ku,
dalam letih kerja, parkir motornya penuh percaya.
Namun maling datang, seperti bayang-bayang liar,
mencongkel seng, menembus atap, melukai langit yang diam.

Oh, siang hari, di mana matahari bersinar terang!
Mengapa kau biarkan kejahatan tumbuh subur dalam terangmu?
Motor itu bukan sekadar roda dan besi,
ia saksi perjalanan, peluh, dan harapan kecil kami.

Dan kini kantor ini—simbol wibawa,
juga tak luput dari tangan tak bertuan.
Jendela kaca menangis lengah,
kompor tua pun pergi, tabung gas tak bernyawa lenyap.
CCTV murahan, walau muram suaranya,
tetap setia mengisi sunyi ruang kami.

Apa yang tersisa?
Hanya jejak kaki kotor,
dan seng yang menyembunyikan tangisnya di bawah sinar bulan.
Meja-meja kosong,
bercerita tentang tangan-tangan licik yang menghancurkan kehormatan.

Hei maling, apa kau tahu?
Kompor itu pernah membakar nasi perjuangan.
Tabung gas itu penuh doa seorang ibu,
dan CCTV itu mengusir gelap di ruang keluarga yang berdebu.

Oh, hati ini pedih,
dari adik ipar hingga ruang camat,
semua kini terasa kosong,
seperti keadilan yang hanya menjadi bayang-bayang.

Tuhan, jika langit ini masih mendengar,
tolonglah, kirimkan penyesalan pada mereka yang mencuri!
Biar seng menjerit, jendela melawan, dan hati kami perlahan sembuh.
Karena dalam kehilangan ini,
kami hanya ingin satu hal:
kejujuran tetap tegak, meski atap telah robek.

Kini aku berdiri,
di depan sisa-sisa kehormatan yang tercuri,
menangis pada dunia,
apa lagi yang kau ingin ambil dari kami?

PAK KANIT Dan RAHASIA NASI GORENG

DI BALIK SENG DAN JENDELA KACA

Di bawah langit siang yang panas membakar,
angin tak peduli, seng mengerang dalam bisik keluh kesah.
Adik ipar sepupu ku,
dalam letih kerja, parkir motornya penuh percaya.
Namun maling datang, seperti bayang-bayang liar,
mencongkel seng, menembus atap, melukai langit yang diam.

Oh, siang hari, di mana matahari bersinar terang!
Mengapa kau biarkan kejahatan tumbuh subur dalam terangmu?
Motor itu bukan sekadar roda dan besi,
ia saksi perjalanan, peluh, dan harapan kecil kami.

Dan kini kantor ini—simbol wibawa,
juga tak luput dari tangan tak bertuan.
Jendela kaca menangis lengah,
kompor tua pun pergi, tabung gas tak bernyawa lenyap.
CCTV murahan, walau muram suaranya,
tetap setia mengisi sunyi ruang kami.

Apa yang tersisa?
Hanya jejak kaki kotor,
dan seng yang menyembunyikan tangisnya di bawah sinar bulan.
Meja-meja kosong,
bercerita tentang tangan-tangan licik yang menghancurkan kehormatan.

Hei maling, apa kau tahu?
Kompor itu pernah membakar nasi perjuangan.
Tabung gas itu penuh doa seorang ibu,
dan CCTV itu mengusir gelap di ruang keluarga yang berdebu.

Oh, hati ini pedih,
dari adik ipar hingga ruang camat,
semua kini terasa kosong,
seperti keadilan yang hanya menjadi bayang-bayang.

Tuhan, jika langit ini masih mendengar,
tolonglah, kirimkan penyesalan pada mereka yang mencuri!
Biar seng menjerit, jendela melawan, dan hati kami perlahan sembuh.
Karena dalam kehilangan ini,
kami hanya ingin satu hal:
kejujuran tetap tegak, meski atap telah robek.

Kini aku berdiri,
di depan sisa-sisa kehormatan yang tercuri,
menangis pada dunia,
apa lagi yang kau ingin ambil dari kami?

DRAMA DOLAR DI DESA DOLARITO(Konten Kreator)

DI BALIK SENG DAN JENDELA KACA

Di bawah langit siang yang panas membakar,
angin tak peduli, seng mengerang dalam bisik keluh kesah.
Adik ipar sepupu ku,
dalam letih kerja, parkir motornya penuh percaya.
Namun maling datang, seperti bayang-bayang liar,
mencongkel seng, menembus atap, melukai langit yang diam.

Oh, siang hari, di mana matahari bersinar terang!
Mengapa kau biarkan kejahatan tumbuh subur dalam terangmu?
Motor itu bukan sekadar roda dan besi,
ia saksi perjalanan, peluh, dan harapan kecil kami.

Dan kini kantor ini—simbol wibawa,
juga tak luput dari tangan tak bertuan.
Jendela kaca menangis lengah,
kompor tua pun pergi, tabung gas tak bernyawa lenyap.
CCTV murahan, walau muram suaranya,
tetap setia mengisi sunyi ruang kami.

Apa yang tersisa?
Hanya jejak kaki kotor,
dan seng yang menyembunyikan tangisnya di bawah sinar bulan.
Meja-meja kosong,
bercerita tentang tangan-tangan licik yang menghancurkan kehormatan.

Hei maling, apa kau tahu?
Kompor itu pernah membakar nasi perjuangan.
Tabung gas itu penuh doa seorang ibu,
dan CCTV itu mengusir gelap di ruang keluarga yang berdebu.

Oh, hati ini pedih,
dari adik ipar hingga ruang camat,
semua kini terasa kosong,
seperti keadilan yang hanya menjadi bayang-bayang.

Tuhan, jika langit ini masih mendengar,
tolonglah, kirimkan penyesalan pada mereka yang mencuri!
Biar seng menjerit, jendela melawan, dan hati kami perlahan sembuh.
Karena dalam kehilangan ini,
kami hanya ingin satu hal:
kejujuran tetap tegak, meski atap telah robek.

Kini aku berdiri,
di depan sisa-sisa kehormatan yang tercuri,
menangis pada dunia,
apa lagi yang kau ingin ambil dari kami?

DI BALIK SENG DAN JENDELA KACA

DI BALIK SENG DAN JENDELA KACA

Di bawah langit siang yang panas membakar,
angin tak peduli, seng mengerang dalam bisik keluh kesah.
Adik ipar sepupu ku,
dalam letih kerja, parkir motornya penuh percaya.
Namun maling datang, seperti bayang-bayang liar,
mencongkel seng, menembus atap, melukai langit yang diam.

Oh, siang hari, di mana matahari bersinar terang!
Mengapa kau biarkan kejahatan tumbuh subur dalam terangmu?
Motor itu bukan sekadar roda dan besi,
ia saksi perjalanan, peluh, dan harapan kecil kami.

Dan kini kantor ini—simbol wibawa,
juga tak luput dari tangan tak bertuan.
Jendela kaca menangis lengah,
kompor tua pun pergi, tabung gas tak bernyawa lenyap.
CCTV murahan, walau muram suaranya,
tetap setia mengisi sunyi ruang kami.

Apa yang tersisa?
Hanya jejak kaki kotor,
dan seng yang menyembunyikan tangisnya di bawah sinar bulan.
Meja-meja kosong,
bercerita tentang tangan-tangan licik yang menghancurkan kehormatan.

Hei maling, apa kau tahu?
Kompor itu pernah membakar nasi perjuangan.
Tabung gas itu penuh doa seorang ibu,
dan CCTV itu mengusir gelap di ruang keluarga yang berdebu.

Oh, hati ini pedih,
dari adik ipar hingga ruang camat,
semua kini terasa kosong,
seperti keadilan yang hanya menjadi bayang-bayang.

Tuhan, jika langit ini masih mendengar,
tolonglah, kirimkan penyesalan pada mereka yang mencuri!
Biar seng menjerit, jendela melawan, dan hati kami perlahan sembuh.
Karena dalam kehilangan ini,
kami hanya ingin satu hal:
kejujuran tetap tegak, meski atap telah robek.

Kini aku berdiri,
di depan sisa-sisa kehormatan yang tercuri,
menangis pada dunia,
apa lagi yang kau ingin ambil dari kami?

Jumat, 10 Januari 2025

HARI YANG DINANTI, TAPI SALAH KOSTUM

DI BALIK SENG DAN JENDELA KACA

Di bawah langit siang yang panas membakar,
angin tak peduli, seng mengerang dalam bisik keluh kesah.
Adik ipar sepupu ku,
dalam letih kerja, parkir motornya penuh percaya.
Namun maling datang, seperti bayang-bayang liar,
mencongkel seng, menembus atap, melukai langit yang diam.

Oh, siang hari, di mana matahari bersinar terang!
Mengapa kau biarkan kejahatan tumbuh subur dalam terangmu?
Motor itu bukan sekadar roda dan besi,
ia saksi perjalanan, peluh, dan harapan kecil kami.

Dan kini kantor ini—simbol wibawa,
juga tak luput dari tangan tak bertuan.
Jendela kaca menangis lengah,
kompor tua pun pergi, tabung gas tak bernyawa lenyap.
CCTV murahan, walau muram suaranya,
tetap setia mengisi sunyi ruang kami.

Apa yang tersisa?
Hanya jejak kaki kotor,
dan seng yang menyembunyikan tangisnya di bawah sinar bulan.
Meja-meja kosong,
bercerita tentang tangan-tangan licik yang menghancurkan kehormatan.

Hei maling, apa kau tahu?
Kompor itu pernah membakar nasi perjuangan.
Tabung gas itu penuh doa seorang ibu,
dan CCTV itu mengusir gelap di ruang keluarga yang berdebu.

Oh, hati ini pedih,
dari adik ipar hingga ruang camat,
semua kini terasa kosong,
seperti keadilan yang hanya menjadi bayang-bayang.

Tuhan, jika langit ini masih mendengar,
tolonglah, kirimkan penyesalan pada mereka yang mencuri!
Biar seng menjerit, jendela melawan, dan hati kami perlahan sembuh.
Karena dalam kehilangan ini,
kami hanya ingin satu hal:
kejujuran tetap tegak, meski atap telah robek.

Kini aku berdiri,
di depan sisa-sisa kehormatan yang tercuri,
menangis pada dunia,
apa lagi yang kau ingin ambil dari kami?

KISAH KOCAK PERTAMA KALI JADI P3K

DI BALIK SENG DAN JENDELA KACA

Di bawah langit siang yang panas membakar,
angin tak peduli, seng mengerang dalam bisik keluh kesah.
Adik ipar sepupu ku,
dalam letih kerja, parkir motornya penuh percaya.
Namun maling datang, seperti bayang-bayang liar,
mencongkel seng, menembus atap, melukai langit yang diam.

Oh, siang hari, di mana matahari bersinar terang!
Mengapa kau biarkan kejahatan tumbuh subur dalam terangmu?
Motor itu bukan sekadar roda dan besi,
ia saksi perjalanan, peluh, dan harapan kecil kami.

Dan kini kantor ini—simbol wibawa,
juga tak luput dari tangan tak bertuan.
Jendela kaca menangis lengah,
kompor tua pun pergi, tabung gas tak bernyawa lenyap.
CCTV murahan, walau muram suaranya,
tetap setia mengisi sunyi ruang kami.

Apa yang tersisa?
Hanya jejak kaki kotor,
dan seng yang menyembunyikan tangisnya di bawah sinar bulan.
Meja-meja kosong,
bercerita tentang tangan-tangan licik yang menghancurkan kehormatan.

Hei maling, apa kau tahu?
Kompor itu pernah membakar nasi perjuangan.
Tabung gas itu penuh doa seorang ibu,
dan CCTV itu mengusir gelap di ruang keluarga yang berdebu.

Oh, hati ini pedih,
dari adik ipar hingga ruang camat,
semua kini terasa kosong,
seperti keadilan yang hanya menjadi bayang-bayang.

Tuhan, jika langit ini masih mendengar,
tolonglah, kirimkan penyesalan pada mereka yang mencuri!
Biar seng menjerit, jendela melawan, dan hati kami perlahan sembuh.
Karena dalam kehilangan ini,
kami hanya ingin satu hal:
kejujuran tetap tegak, meski atap telah robek.

Kini aku berdiri,
di depan sisa-sisa kehormatan yang tercuri,
menangis pada dunia,
apa lagi yang kau ingin ambil dari kami?

DI BALIK MEJA PELAYANAN

DI BALIK SENG DAN JENDELA KACA

Di bawah langit siang yang panas membakar,
angin tak peduli, seng mengerang dalam bisik keluh kesah.
Adik ipar sepupu ku,
dalam letih kerja, parkir motornya penuh percaya.
Namun maling datang, seperti bayang-bayang liar,
mencongkel seng, menembus atap, melukai langit yang diam.

Oh, siang hari, di mana matahari bersinar terang!
Mengapa kau biarkan kejahatan tumbuh subur dalam terangmu?
Motor itu bukan sekadar roda dan besi,
ia saksi perjalanan, peluh, dan harapan kecil kami.

Dan kini kantor ini—simbol wibawa,
juga tak luput dari tangan tak bertuan.
Jendela kaca menangis lengah,
kompor tua pun pergi, tabung gas tak bernyawa lenyap.
CCTV murahan, walau muram suaranya,
tetap setia mengisi sunyi ruang kami.

Apa yang tersisa?
Hanya jejak kaki kotor,
dan seng yang menyembunyikan tangisnya di bawah sinar bulan.
Meja-meja kosong,
bercerita tentang tangan-tangan licik yang menghancurkan kehormatan.

Hei maling, apa kau tahu?
Kompor itu pernah membakar nasi perjuangan.
Tabung gas itu penuh doa seorang ibu,
dan CCTV itu mengusir gelap di ruang keluarga yang berdebu.

Oh, hati ini pedih,
dari adik ipar hingga ruang camat,
semua kini terasa kosong,
seperti keadilan yang hanya menjadi bayang-bayang.

Tuhan, jika langit ini masih mendengar,
tolonglah, kirimkan penyesalan pada mereka yang mencuri!
Biar seng menjerit, jendela melawan, dan hati kami perlahan sembuh.
Karena dalam kehilangan ini,
kami hanya ingin satu hal:
kejujuran tetap tegak, meski atap telah robek.

Kini aku berdiri,
di depan sisa-sisa kehormatan yang tercuri,
menangis pada dunia,
apa lagi yang kau ingin ambil dari kami?

DI BALIK SERAGAM PUTIH

DI BALIK SENG DAN JENDELA KACA

Di bawah langit siang yang panas membakar,
angin tak peduli, seng mengerang dalam bisik keluh kesah.
Adik ipar sepupu ku,
dalam letih kerja, parkir motornya penuh percaya.
Namun maling datang, seperti bayang-bayang liar,
mencongkel seng, menembus atap, melukai langit yang diam.

Oh, siang hari, di mana matahari bersinar terang!
Mengapa kau biarkan kejahatan tumbuh subur dalam terangmu?
Motor itu bukan sekadar roda dan besi,
ia saksi perjalanan, peluh, dan harapan kecil kami.

Dan kini kantor ini—simbol wibawa,
juga tak luput dari tangan tak bertuan.
Jendela kaca menangis lengah,
kompor tua pun pergi, tabung gas tak bernyawa lenyap.
CCTV murahan, walau muram suaranya,
tetap setia mengisi sunyi ruang kami.

Apa yang tersisa?
Hanya jejak kaki kotor,
dan seng yang menyembunyikan tangisnya di bawah sinar bulan.
Meja-meja kosong,
bercerita tentang tangan-tangan licik yang menghancurkan kehormatan.

Hei maling, apa kau tahu?
Kompor itu pernah membakar nasi perjuangan.
Tabung gas itu penuh doa seorang ibu,
dan CCTV itu mengusir gelap di ruang keluarga yang berdebu.

Oh, hati ini pedih,
dari adik ipar hingga ruang camat,
semua kini terasa kosong,
seperti keadilan yang hanya menjadi bayang-bayang.

Tuhan, jika langit ini masih mendengar,
tolonglah, kirimkan penyesalan pada mereka yang mencuri!
Biar seng menjerit, jendela melawan, dan hati kami perlahan sembuh.
Karena dalam kehilangan ini,
kami hanya ingin satu hal:
kejujuran tetap tegak, meski atap telah robek.

Kini aku berdiri,
di depan sisa-sisa kehormatan yang tercuri,
menangis pada dunia,
apa lagi yang kau ingin ambil dari kami?

MENUNGGU DENGAN KESABARAN

DI BALIK SENG DAN JENDELA KACA

Di bawah langit siang yang panas membakar,
angin tak peduli, seng mengerang dalam bisik keluh kesah.
Adik ipar sepupu ku,
dalam letih kerja, parkir motornya penuh percaya.
Namun maling datang, seperti bayang-bayang liar,
mencongkel seng, menembus atap, melukai langit yang diam.

Oh, siang hari, di mana matahari bersinar terang!
Mengapa kau biarkan kejahatan tumbuh subur dalam terangmu?
Motor itu bukan sekadar roda dan besi,
ia saksi perjalanan, peluh, dan harapan kecil kami.

Dan kini kantor ini—simbol wibawa,
juga tak luput dari tangan tak bertuan.
Jendela kaca menangis lengah,
kompor tua pun pergi, tabung gas tak bernyawa lenyap.
CCTV murahan, walau muram suaranya,
tetap setia mengisi sunyi ruang kami.

Apa yang tersisa?
Hanya jejak kaki kotor,
dan seng yang menyembunyikan tangisnya di bawah sinar bulan.
Meja-meja kosong,
bercerita tentang tangan-tangan licik yang menghancurkan kehormatan.

Hei maling, apa kau tahu?
Kompor itu pernah membakar nasi perjuangan.
Tabung gas itu penuh doa seorang ibu,
dan CCTV itu mengusir gelap di ruang keluarga yang berdebu.

Oh, hati ini pedih,
dari adik ipar hingga ruang camat,
semua kini terasa kosong,
seperti keadilan yang hanya menjadi bayang-bayang.

Tuhan, jika langit ini masih mendengar,
tolonglah, kirimkan penyesalan pada mereka yang mencuri!
Biar seng menjerit, jendela melawan, dan hati kami perlahan sembuh.
Karena dalam kehilangan ini,
kami hanya ingin satu hal:
kejujuran tetap tegak, meski atap telah robek.

Kini aku berdiri,
di depan sisa-sisa kehormatan yang tercuri,
menangis pada dunia,
apa lagi yang kau ingin ambil dari kami?

DI BALIK SENG DAN JENDELA KACA

DI BALIK SENG DAN JENDELA KACA

Di bawah langit siang yang panas membakar,
angin tak peduli, seng mengerang dalam bisik keluh kesah.
Adik ipar sepupu ku,
dalam letih kerja, parkir motornya penuh percaya.
Namun maling datang, seperti bayang-bayang liar,
mencongkel seng, menembus atap, melukai langit yang diam.

Oh, siang hari, di mana matahari bersinar terang!
Mengapa kau biarkan kejahatan tumbuh subur dalam terangmu?
Motor itu bukan sekadar roda dan besi,
ia saksi perjalanan, peluh, dan harapan kecil kami.

Dan kini kantor ini—simbol wibawa,
juga tak luput dari tangan tak bertuan.
Jendela kaca menangis lengah,
kompor tua pun pergi, tabung gas tak bernyawa lenyap.
CCTV murahan, walau muram suaranya,
tetap setia mengisi sunyi ruang kami.

Apa yang tersisa?
Hanya jejak kaki kotor,
dan seng yang menyembunyikan tangisnya di bawah sinar bulan.
Meja-meja kosong,
bercerita tentang tangan-tangan licik yang menghancurkan kehormatan.

Hei maling, apa kau tahu?
Kompor itu pernah membakar nasi perjuangan.
Tabung gas itu penuh doa seorang ibu,
dan CCTV itu mengusir gelap di ruang keluarga yang berdebu.

Oh, hati ini pedih,
dari adik ipar hingga ruang camat,
semua kini terasa kosong,
seperti keadilan yang hanya menjadi bayang-bayang.

Tuhan, jika langit ini masih mendengar,
tolonglah, kirimkan penyesalan pada mereka yang mencuri!
Biar seng menjerit, jendela melawan, dan hati kami perlahan sembuh.
Karena dalam kehilangan ini,
kami hanya ingin satu hal:
kejujuran tetap tegak, meski atap telah robek.

Kini aku berdiri,
di depan sisa-sisa kehormatan yang tercuri,
menangis pada dunia,
apa lagi yang kau ingin ambil dari kami?

Jumat, 03 Januari 2025

AJI WELL DAN AJIAN DURIAN SAKTI

"RAHASIA TAKDIR DI BALIK BUKIT HIJAU"

Di sebuah desa kecil bernama Bukit Hijau, hiduplah empat sahabat sejak kecil: Dani, Leman, Wati, dan Mira. Mereka tumbuh bersama, berbagi canda tawa di bawah rindangnya pohon mangga, belajar di madrasah desa, dan bermimpi untuk membawa perubahan besar bagi desa mereka.

Setelah menamatkan pendidikan, mereka bekerja sebagai tenaga honorer di kecamatan terdekat. Pekerjaan itu tidak bergaji besar, namun mereka bersyukur bisa melayani masyarakat. Meski sederhana, persahabatan mereka tetap kuat.

Suatu hari, pemerintah mengumumkan seleksi Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (P3K). Seleksi ini menjadi angin segar bagi mereka. Empat sahabat itu sepakat untuk mengikuti seleksi bersama, saling mendukung, dan berjanji tetap bersahabat apapun hasilnya.

Malam-malam panjang mereka isi dengan belajar bersama di pos ronda. Mira, yang cenderung pendiam, sering menjadi penyemangat ketika yang lain mulai putus asa. "Allah sudah punya rencana untuk kita," katanya, sembari tersenyum lembut.

Hari pengumuman tiba. Wati, Dani, dan Leman dinyatakan lulus. Namun, Mira tidak lulus. Saat membaca pengumuman, Mira tersenyum meski hatinya terasa seperti dihantam badai. Sahabat-sahabatnya memeluknya, mencoba menghibur. Tapi Mira hanya berkata, “Mungkin ini bukan jalanku. Kalian harus melangkah dengan baik, aku akan mendukung dari sini.”

Meski terasa pahit, Mira kembali ke desa. Ia mulai membantu ibunya berjualan di pasar dan aktif di organisasi pemuda desa. Ia tak pernah mengeluh, meski banyak tetangga mencibirnya sebagai "gagal." Dalam diam, ia berdoa, memohon petunjuk dari Allah.

Sementara itu, Wati, Dani, dan Leman sibuk dengan pekerjaan baru mereka sebagai P3K. Mereka bangga bisa membantu membangun desa-desa sekitar. Namun, di balik kesibukan mereka, ada rasa kehilangan karena Mira tak lagi bersama mereka dalam pekerjaan sehari-hari.

Waktu berlalu. Dalam keheningan, Mira mulai menemukan jalannya. Ia mencalonkan diri sebagai ketua Karang Taruna dan berhasil. Dengan semangat dan keikhlasannya, Mira membawa perubahan besar. Ia menggalang dana untuk membangun fasilitas desa, membuka kelas keterampilan bagi ibu-ibu, dan bahkan mengajak petani muda untuk mengembangkan teknologi pertanian.

Namanya mulai dikenal di tingkat kabupaten. Lima tahun kemudian, Mira mencalonkan diri sebagai anggota DPRD dan berhasil terpilih dengan suara terbanyak. Dari kursi DPRD, ia terus memperjuangkan kesejahteraan masyarakat kecil, termasuk para honorer. Bahkan, ia menyuarakan kenaikan insentif bagi para P3K.

Pada suatu hari, ia diundang ke acara di kantor tempat Wati, Dani, dan Leman bekerja. Ketiganya terkejut sekaligus bangga melihat Mira menjadi tamu kehormatan mereka. Ketika acara selesai, keempat sahabat itu duduk bersama di bawah pohon mangga, seperti masa kecil mereka.

Dani, dengan mata berkaca-kaca, berkata, “Mira, aku masih tidak percaya. Dari kita semua, justru kamu yang jadi orang besar. Allah memang punya rencana yang indah untukmu.”

Mira tersenyum dan menjawab, “Aku hanya menjalani takdir-Nya. Setiap jalan punya ujian dan nikmatnya. Tapi kita tetap sahabat, kan? Pekerjaan atau jabatan tak akan mengubah itu.”

Hari itu, di bawah bukit hijau, mereka menyadari bahwa takdir setiap orang berbeda. Ada yang jalannya terjal, ada yang datar. Namun, semua itu adalah rahasia Allah yang penuh hikmah. Yang terpenting adalah tetap berusaha dan bersyukur atas apapun yang diberikan-Nya.

Dan sejak saat itu, keempat sahabat itu terus mendukung satu sama lain, membuktikan bahwa persahabatan sejati tak akan pernah pudar oleh waktu atau takdir.

RAHASIA TAKDIR DI BALIK BUKIT HIJAU

"RAHASIA TAKDIR DI BALIK BUKIT HIJAU"

Di sebuah desa kecil bernama Bukit Hijau, hiduplah empat sahabat sejak kecil: Dani, Leman, Wati, dan Mira. Mereka tumbuh bersama, berbagi canda tawa di bawah rindangnya pohon mangga, belajar di madrasah desa, dan bermimpi untuk membawa perubahan besar bagi desa mereka.

Setelah menamatkan pendidikan, mereka bekerja sebagai tenaga honorer di kecamatan terdekat. Pekerjaan itu tidak bergaji besar, namun mereka bersyukur bisa melayani masyarakat. Meski sederhana, persahabatan mereka tetap kuat.

Suatu hari, pemerintah mengumumkan seleksi Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (P3K). Seleksi ini menjadi angin segar bagi mereka. Empat sahabat itu sepakat untuk mengikuti seleksi bersama, saling mendukung, dan berjanji tetap bersahabat apapun hasilnya.

Malam-malam panjang mereka isi dengan belajar bersama di pos ronda. Mira, yang cenderung pendiam, sering menjadi penyemangat ketika yang lain mulai putus asa. "Allah sudah punya rencana untuk kita," katanya, sembari tersenyum lembut.

Hari pengumuman tiba. Wati, Dani, dan Leman dinyatakan lulus. Namun, Mira tidak lulus. Saat membaca pengumuman, Mira tersenyum meski hatinya terasa seperti dihantam badai. Sahabat-sahabatnya memeluknya, mencoba menghibur. Tapi Mira hanya berkata, “Mungkin ini bukan jalanku. Kalian harus melangkah dengan baik, aku akan mendukung dari sini.”

Meski terasa pahit, Mira kembali ke desa. Ia mulai membantu ibunya berjualan di pasar dan aktif di organisasi pemuda desa. Ia tak pernah mengeluh, meski banyak tetangga mencibirnya sebagai "gagal." Dalam diam, ia berdoa, memohon petunjuk dari Allah.

Sementara itu, Wati, Dani, dan Leman sibuk dengan pekerjaan baru mereka sebagai P3K. Mereka bangga bisa membantu membangun desa-desa sekitar. Namun, di balik kesibukan mereka, ada rasa kehilangan karena Mira tak lagi bersama mereka dalam pekerjaan sehari-hari.

Waktu berlalu. Dalam keheningan, Mira mulai menemukan jalannya. Ia mencalonkan diri sebagai ketua Karang Taruna dan berhasil. Dengan semangat dan keikhlasannya, Mira membawa perubahan besar. Ia menggalang dana untuk membangun fasilitas desa, membuka kelas keterampilan bagi ibu-ibu, dan bahkan mengajak petani muda untuk mengembangkan teknologi pertanian.

Namanya mulai dikenal di tingkat kabupaten. Lima tahun kemudian, Mira mencalonkan diri sebagai anggota DPRD dan berhasil terpilih dengan suara terbanyak. Dari kursi DPRD, ia terus memperjuangkan kesejahteraan masyarakat kecil, termasuk para honorer. Bahkan, ia menyuarakan kenaikan insentif bagi para P3K.

Pada suatu hari, ia diundang ke acara di kantor tempat Wati, Dani, dan Leman bekerja. Ketiganya terkejut sekaligus bangga melihat Mira menjadi tamu kehormatan mereka. Ketika acara selesai, keempat sahabat itu duduk bersama di bawah pohon mangga, seperti masa kecil mereka.

Dani, dengan mata berkaca-kaca, berkata, “Mira, aku masih tidak percaya. Dari kita semua, justru kamu yang jadi orang besar. Allah memang punya rencana yang indah untukmu.”

Mira tersenyum dan menjawab, “Aku hanya menjalani takdir-Nya. Setiap jalan punya ujian dan nikmatnya. Tapi kita tetap sahabat, kan? Pekerjaan atau jabatan tak akan mengubah itu.”

Hari itu, di bawah bukit hijau, mereka menyadari bahwa takdir setiap orang berbeda. Ada yang jalannya terjal, ada yang datar. Namun, semua itu adalah rahasia Allah yang penuh hikmah. Yang terpenting adalah tetap berusaha dan bersyukur atas apapun yang diberikan-Nya.

Dan sejak saat itu, keempat sahabat itu terus mendukung satu sama lain, membuktikan bahwa persahabatan sejati tak akan pernah pudar oleh waktu atau takdir.

LOMBA KAROKEAN KANTOR CAMAT SINDANG BELITI ULU

LEGENDA TEMBAKAU AJAIBbl DESA TANJUNG AGUNG 

Di suatu desa kecil bernama Tanjung Agung di Kecamatan Sindang Beliti Ulu, hiduplah masyarakat yang sehari-harinya penuh dengan cerita-cerita ajaib dan tingkah laku kocak. Salah satu cerita yang paling terkenal adalah tentang Tembakau Siku Ajaib. Konon katanya, tembakau yang tumbuh di desa itu begitu berkualitas, bahkan ketika dihisap, asapnya sampai "mengalir ke siku" saking nikmatnya.

Episode 1: Si Burung Precit dan Tembakau Ajaib 

Pagi itu, seperti biasa, Wak Razik sudah duduk di beranda rumahnya dengan cerutu tembakau di tangan. "Hoaaaah, ini tembakau enaknya luar biasa! Sampai ke siku, cuy!" serunya sambil memamerkan tangannya yang mengeluarkan asap tembakau.

Yan, Firman, dan Andi yang sedang nongkrong di warung sebelah langsung ngakak.
"Kalau sampai siku, itu bukan ngerokok, Wak. Itu ngasapin badan! Siap-siap jadi sate Wak Razik!" ujar Andi sambil memukul-mukul meja.

Tapi, cerita makin seru ketika tiba-tiba Wak Razik berteriak, "Lho, kok pohon tembakau di kebun kita habis?"

Ternyata setiap pagi, ada kawanan burung bernama Burung Precit yang gemar memanen tembakau. Mereka ini burung ajaib—tapi juga super nakal. Mereka memetik daun tembakau, menggulungnya seperti cerutu, dan... hisap di atas dahan pohon! Firman yang melihat langsung geleng-geleng kepala. "Ini burung mau jadi hansip desa atau gimana? Bisa-bisanya ngerokok pagi-pagi!"

Amir Sekdes, yang saat itu kebetulan lewat, mencoba membantu. "Sudah, kita jebak saja burung itu pakai pulut burung. Mereka pasti kena!"

Episode 2: Jebakan Pulut vs Ikan Keli

Rencana pun dibuat. Wak Razik, Yan, Firman, dan Andi memasang jebakan pulut burung di sekitar kebun tembakau. "Habis ini, kita bisa bikin burung Precit pensiun dini," kata Firman penuh percaya diri.

Namun keesokan harinya, yang terjebak bukanlah burung Precit, melainkan... seekor ikan keli besar!
Yan yang pertama kali melihat langsung menjerit, "Weeeh, ikan bisa terbang sekarang? Kapan ada lomba renang di udara?!"

Pak Hansip yang kebetulan lewat langsung ikut-ikutan. "Itu bukan ikan biasa, mungkin ini ikan jaga kebun. Ikan bertugas! Jangan main-main!"

Pak Kades yang mendengar kejadian itu langsung datang dengan wajah serius. "Wah, ini fenomena langka, warga. Mungkin ini pertanda desa kita harus jadi penghasil ikan tembakau terbesar di dunia!"

Episode 3: Tembakau Siku yang Membuat Heboh Dunia

Amir Sekdes memutuskan untuk membawa tembakau ajaib itu ke pasar kecamatan. Di sana, ia memamerkan efek ajaibnya ke para pedagang. "Lihat ini, asap tembakau bisa sampai ke siku! Pasti laris!" katanya sambil memamerkan siku yang mengepul.

Namun, saking enaknya, para pembeli langsung lupa bayar dan malah berebut minta tembakau gratis. Bahkan burung Precit ikut datang ke pasar, bikin rusuh, dan menggondol dagangan Amir!

Kekacauan itu membuat Pak Kades memutuskan: "Mulai sekarang, kita lindungi tembakau ini dengan teknologi jebakan canggih. Tapi jebakannya harus anti ikan keli!"

Epilog

Akhirnya, desa Tanjung Agung menjadi desa ajaib yang terkenal bukan hanya karena tembakaunya, tapi juga karena cerita kocaknya. Burung Precit tetap menjadi legenda, sementara ikan keli malah diangkat jadi maskot desa. Dan Wak Razik? Ia tetap setia dengan cerutunya, membuktikan bahwa tembakau Tanjung Agung memang nikmat sampai ke siku.

Pesan Moral dari cerita ini? Jangan pernah remehkan desa kecil—karena di balik kesederhanaannya, ada kisah-kisah lucu yang bisa bikin dunia tertawa!

MALAM TAHUN BARU PELEPAH DAUN PISANG

LEGENDA TEMBAKAU AJAIBbl DESA TANJUNG AGUNG 

Di suatu desa kecil bernama Tanjung Agung di Kecamatan Sindang Beliti Ulu, hiduplah masyarakat yang sehari-harinya penuh dengan cerita-cerita ajaib dan tingkah laku kocak. Salah satu cerita yang paling terkenal adalah tentang Tembakau Siku Ajaib. Konon katanya, tembakau yang tumbuh di desa itu begitu berkualitas, bahkan ketika dihisap, asapnya sampai "mengalir ke siku" saking nikmatnya.

Episode 1: Si Burung Precit dan Tembakau Ajaib 

Pagi itu, seperti biasa, Wak Razik sudah duduk di beranda rumahnya dengan cerutu tembakau di tangan. "Hoaaaah, ini tembakau enaknya luar biasa! Sampai ke siku, cuy!" serunya sambil memamerkan tangannya yang mengeluarkan asap tembakau.

Yan, Firman, dan Andi yang sedang nongkrong di warung sebelah langsung ngakak.
"Kalau sampai siku, itu bukan ngerokok, Wak. Itu ngasapin badan! Siap-siap jadi sate Wak Razik!" ujar Andi sambil memukul-mukul meja.

Tapi, cerita makin seru ketika tiba-tiba Wak Razik berteriak, "Lho, kok pohon tembakau di kebun kita habis?"

Ternyata setiap pagi, ada kawanan burung bernama Burung Precit yang gemar memanen tembakau. Mereka ini burung ajaib—tapi juga super nakal. Mereka memetik daun tembakau, menggulungnya seperti cerutu, dan... hisap di atas dahan pohon! Firman yang melihat langsung geleng-geleng kepala. "Ini burung mau jadi hansip desa atau gimana? Bisa-bisanya ngerokok pagi-pagi!"

Amir Sekdes, yang saat itu kebetulan lewat, mencoba membantu. "Sudah, kita jebak saja burung itu pakai pulut burung. Mereka pasti kena!"

Episode 2: Jebakan Pulut vs Ikan Keli

Rencana pun dibuat. Wak Razik, Yan, Firman, dan Andi memasang jebakan pulut burung di sekitar kebun tembakau. "Habis ini, kita bisa bikin burung Precit pensiun dini," kata Firman penuh percaya diri.

Namun keesokan harinya, yang terjebak bukanlah burung Precit, melainkan... seekor ikan keli besar!
Yan yang pertama kali melihat langsung menjerit, "Weeeh, ikan bisa terbang sekarang? Kapan ada lomba renang di udara?!"

Pak Hansip yang kebetulan lewat langsung ikut-ikutan. "Itu bukan ikan biasa, mungkin ini ikan jaga kebun. Ikan bertugas! Jangan main-main!"

Pak Kades yang mendengar kejadian itu langsung datang dengan wajah serius. "Wah, ini fenomena langka, warga. Mungkin ini pertanda desa kita harus jadi penghasil ikan tembakau terbesar di dunia!"

Episode 3: Tembakau Siku yang Membuat Heboh Dunia

Amir Sekdes memutuskan untuk membawa tembakau ajaib itu ke pasar kecamatan. Di sana, ia memamerkan efek ajaibnya ke para pedagang. "Lihat ini, asap tembakau bisa sampai ke siku! Pasti laris!" katanya sambil memamerkan siku yang mengepul.

Namun, saking enaknya, para pembeli langsung lupa bayar dan malah berebut minta tembakau gratis. Bahkan burung Precit ikut datang ke pasar, bikin rusuh, dan menggondol dagangan Amir!

Kekacauan itu membuat Pak Kades memutuskan: "Mulai sekarang, kita lindungi tembakau ini dengan teknologi jebakan canggih. Tapi jebakannya harus anti ikan keli!"

Epilog

Akhirnya, desa Tanjung Agung menjadi desa ajaib yang terkenal bukan hanya karena tembakaunya, tapi juga karena cerita kocaknya. Burung Precit tetap menjadi legenda, sementara ikan keli malah diangkat jadi maskot desa. Dan Wak Razik? Ia tetap setia dengan cerutunya, membuktikan bahwa tembakau Tanjung Agung memang nikmat sampai ke siku.

Pesan Moral dari cerita ini? Jangan pernah remehkan desa kecil—karena di balik kesederhanaannya, ada kisah-kisah lucu yang bisa bikin dunia tertawa!

TAHUN BARU Di NAKE CODOR (Lawak)

LEGENDA TEMBAKAU AJAIBbl DESA TANJUNG AGUNG 

Di suatu desa kecil bernama Tanjung Agung di Kecamatan Sindang Beliti Ulu, hiduplah masyarakat yang sehari-harinya penuh dengan cerita-cerita ajaib dan tingkah laku kocak. Salah satu cerita yang paling terkenal adalah tentang Tembakau Siku Ajaib. Konon katanya, tembakau yang tumbuh di desa itu begitu berkualitas, bahkan ketika dihisap, asapnya sampai "mengalir ke siku" saking nikmatnya.

Episode 1: Si Burung Precit dan Tembakau Ajaib 

Pagi itu, seperti biasa, Wak Razik sudah duduk di beranda rumahnya dengan cerutu tembakau di tangan. "Hoaaaah, ini tembakau enaknya luar biasa! Sampai ke siku, cuy!" serunya sambil memamerkan tangannya yang mengeluarkan asap tembakau.

Yan, Firman, dan Andi yang sedang nongkrong di warung sebelah langsung ngakak.
"Kalau sampai siku, itu bukan ngerokok, Wak. Itu ngasapin badan! Siap-siap jadi sate Wak Razik!" ujar Andi sambil memukul-mukul meja.

Tapi, cerita makin seru ketika tiba-tiba Wak Razik berteriak, "Lho, kok pohon tembakau di kebun kita habis?"

Ternyata setiap pagi, ada kawanan burung bernama Burung Precit yang gemar memanen tembakau. Mereka ini burung ajaib—tapi juga super nakal. Mereka memetik daun tembakau, menggulungnya seperti cerutu, dan... hisap di atas dahan pohon! Firman yang melihat langsung geleng-geleng kepala. "Ini burung mau jadi hansip desa atau gimana? Bisa-bisanya ngerokok pagi-pagi!"

Amir Sekdes, yang saat itu kebetulan lewat, mencoba membantu. "Sudah, kita jebak saja burung itu pakai pulut burung. Mereka pasti kena!"

Episode 2: Jebakan Pulut vs Ikan Keli

Rencana pun dibuat. Wak Razik, Yan, Firman, dan Andi memasang jebakan pulut burung di sekitar kebun tembakau. "Habis ini, kita bisa bikin burung Precit pensiun dini," kata Firman penuh percaya diri.

Namun keesokan harinya, yang terjebak bukanlah burung Precit, melainkan... seekor ikan keli besar!
Yan yang pertama kali melihat langsung menjerit, "Weeeh, ikan bisa terbang sekarang? Kapan ada lomba renang di udara?!"

Pak Hansip yang kebetulan lewat langsung ikut-ikutan. "Itu bukan ikan biasa, mungkin ini ikan jaga kebun. Ikan bertugas! Jangan main-main!"

Pak Kades yang mendengar kejadian itu langsung datang dengan wajah serius. "Wah, ini fenomena langka, warga. Mungkin ini pertanda desa kita harus jadi penghasil ikan tembakau terbesar di dunia!"

Episode 3: Tembakau Siku yang Membuat Heboh Dunia

Amir Sekdes memutuskan untuk membawa tembakau ajaib itu ke pasar kecamatan. Di sana, ia memamerkan efek ajaibnya ke para pedagang. "Lihat ini, asap tembakau bisa sampai ke siku! Pasti laris!" katanya sambil memamerkan siku yang mengepul.

Namun, saking enaknya, para pembeli langsung lupa bayar dan malah berebut minta tembakau gratis. Bahkan burung Precit ikut datang ke pasar, bikin rusuh, dan menggondol dagangan Amir!

Kekacauan itu membuat Pak Kades memutuskan: "Mulai sekarang, kita lindungi tembakau ini dengan teknologi jebakan canggih. Tapi jebakannya harus anti ikan keli!"

Epilog

Akhirnya, desa Tanjung Agung menjadi desa ajaib yang terkenal bukan hanya karena tembakaunya, tapi juga karena cerita kocaknya. Burung Precit tetap menjadi legenda, sementara ikan keli malah diangkat jadi maskot desa. Dan Wak Razik? Ia tetap setia dengan cerutunya, membuktikan bahwa tembakau Tanjung Agung memang nikmat sampai ke siku.

Pesan Moral dari cerita ini? Jangan pernah remehkan desa kecil—karena di balik kesederhanaannya, ada kisah-kisah lucu yang bisa bikin dunia tertawa!

LEGENDA TEMBAKAU AJAIB DESA TANJUNG AGUNG

LEGENDA TEMBAKAU AJAIB DESA TANJUNG AGUNG 

Di suatu desa kecil bernama Tanjung Agung di Kecamatan Sindang Beliti Ulu, hiduplah masyarakat yang sehari-harinya penuh dengan cerita-cerita ajaib dan tingkah laku kocak. Salah satu cerita yang paling terkenal adalah tentang Tembakau Siku Ajaib. Konon katanya, tembakau yang tumbuh di desa itu begitu berkualitas, bahkan ketika dihisap, asapnya sampai "mengalir ke siku" saking nikmatnya.

Episode 1: Si Burung Precit dan Tembakau Ajaib 

Pagi itu, seperti biasa, Wak Razik sudah duduk di beranda rumahnya dengan cerutu tembakau di tangan. "Hoaaaah, ini tembakau enaknya luar biasa! Sampai ke siku, cuy!" serunya sambil memamerkan tangannya yang mengeluarkan asap tembakau.

Yan, Firman, dan Andi yang sedang nongkrong di warung sebelah langsung ngakak.
"Kalau sampai siku, itu bukan ngerokok, Wak. Itu ngasapin badan! Siap-siap jadi sate Wak Razik!" ujar Andi sambil memukul-mukul meja.

Tapi, cerita makin seru ketika tiba-tiba Wak Razik berteriak, "Lho, kok pohon tembakau di kebun kita habis?"

Ternyata setiap pagi, ada kawanan burung bernama Burung Precit yang gemar memanen tembakau. Mereka ini burung ajaib—tapi juga super nakal. Mereka memetik daun tembakau, menggulungnya seperti cerutu, dan... hisap di atas dahan pohon! Firman yang melihat langsung geleng-geleng kepala. "Ini burung mau jadi hansip desa atau gimana? Bisa-bisanya ngerokok pagi-pagi!"

Amir Sekdes, yang saat itu kebetulan lewat, mencoba membantu. "Sudah, kita jebak saja burung itu pakai pulut burung. Mereka pasti kena!"

Episode 2: Jebakan Pulut vs Ikan Keli

Rencana pun dibuat. Wak Razik, Yan, Firman, dan Andi memasang jebakan pulut burung di sekitar kebun tembakau. "Habis ini, kita bisa bikin burung Precit pensiun dini," kata Firman penuh percaya diri.

Namun keesokan harinya, yang terjebak bukanlah burung Precit, melainkan... seekor ikan keli besar!
Yan yang pertama kali melihat langsung menjerit, "Weeeh, ikan bisa terbang sekarang? Kapan ada lomba renang di udara?!"

Pak Hansip yang kebetulan lewat langsung ikut-ikutan. "Itu bukan ikan biasa, mungkin ini ikan jaga kebun. Ikan bertugas! Jangan main-main!"

Pak Kades yang mendengar kejadian itu langsung datang dengan wajah serius. "Wah, ini fenomena langka, warga. Mungkin ini pertanda desa kita harus jadi penghasil ikan tembakau terbesar di dunia!"

Episode 3: Tembakau Siku yang Membuat Heboh Dunia

Amir Sekdes memutuskan untuk membawa tembakau ajaib itu ke pasar kecamatan. Di sana, ia memamerkan efek ajaibnya ke para pedagang. "Lihat ini, asap tembakau bisa sampai ke siku! Pasti laris!" katanya sambil memamerkan siku yang mengepul.

Namun, saking enaknya, para pembeli langsung lupa bayar dan malah berebut minta tembakau gratis. Bahkan burung Precit ikut datang ke pasar, bikin rusuh, dan menggondol dagangan Amir!

Kekacauan itu membuat Pak Kades memutuskan: "Mulai sekarang, kita lindungi tembakau ini dengan teknologi jebakan canggih. Tapi jebakannya harus anti ikan keli!"

Epilog

Akhirnya, desa Tanjung Agung menjadi desa ajaib yang terkenal bukan hanya karena tembakaunya, tapi juga karena cerita kocaknya. Burung Precit tetap menjadi legenda, sementara ikan keli malah diangkat jadi maskot desa. Dan Wak Razik? Ia tetap setia dengan cerutunya, membuktikan bahwa tembakau Tanjung Agung memang nikmat sampai ke siku.

Pesan Moral dari cerita ini? Jangan pernah remehkan desa kecil—karena di balik kesederhanaannya, ada kisah-kisah lucu yang bisa bikin dunia tertawa!

NAMA YANG MENJADI TAKDIR

Matahari bersinar malu-malu di Desa Lubuk Alai Kecamatan Sindang Beliti Ulu. Angin berhembus lembut, seakan membelai dedaunan yang menari pe...