Minggu, 29 Desember 2024

DIAN LEPET UCI(DURIAN LEPET ISI SEGUCI )

DURIAN SEPIAK/DIAN HIAK 

Dahulu kala, di Desa Lubuk Alai, tepatnya di Dusun V Seberang Sungai, berdiri sebuah pohon durian yang menjulang tinggi. Pohon ini bukan sembarang pohon, melainkan pohon warisan keluarga. Pemiliknya, Andi Broo, sering mengatakan kepada orang-orang, "Durian ini bukan hanya pohon, tapi juga titipan leluhur. Kalau jatuh, pasti membagi sendiri!"

Kisah ini bermula dari leluhur Bibik Angi, ibu mertua Andi Broo. Konon, suaminya, Bernama Rusdi dan Orang Tuanya bernama Wak Lan, dulu adalah seorang petani yang pandai berbicara dengan pohon. Istrinya, Wak Nil, yang dikenal sebagai ahli pembuat kue durian, sering berkata, "Lan suamiku, durian ini nanti akan menjadi berkah untuk keluarga kita. Tapi ingat, jangan serakah. Selalu berbagi."

Wak Lan kemudian menamai pohon itu "Durian Sepiak/Dian Hiak" karena setiap durian yang jatuh selalu membelah menjadi dua bagian yang sama persis, seperti ada sihir. Kalau jatuhnya siang, durian akan mekar seperti bunga, mengeluarkan aroma manis, membuat semua orang yang menciumnya lapar seketika.

Penjaga Durian dan Kehidupan Desa

Andi Broo, bersama istrinya Evi, tinggal di pondok kecil di bawah pohon durian itu. Setiap musim durian tiba, mereka bergantian menjaga buahnya bersama tetangga kebunnya Opet dan istrinya, Siska, yang terkenal dengan suara tingginya yang bisa mengalahkan kokok ayam.

Namun, menjaga durian bukan hal mudah. Pernah suatu malam, Yukan—seorang pria rajin patroli yang sering ketiduran di bawah pohon—nyaris tertimpa durian. Beruntung, durian itu membelah di udara dan jatuh di sisi kanan dan kiri kepalanya. “Lihat, pohon ini menyayangiku!” katanya dengan bangga, padahal itu hanya keberuntungan.

Andi Nyot, tetangga kebun Andi Broo yang lain, sering datang bersama istrinya, Nyot, untuk ikut menikmati durian. Mereka suka membawa sambal terasi, katanya, “Durian dan terasi itu pasangan serasi!” Tapi semua orang tahu, sambal mereka sering terlalu pedas hingga membuat orang lupa rasa legit durian.

Konflik Lucu di Seberang Sungai

Suatu hari, Alek dan Yukan, dua sahabat yang suka adu mulut, memutuskan untuk berjaga bersama. Saat durian jatuh, mereka langsung berebut. “Ini setengahku!” teriak Alek. “Tidak! Yang ini lebih besar, jadi punyaku!” sahut Yukan.

Adu mulut mereka terdengar hingga ke telinga Sandi dan Artati yang tinggal di seberang sungai. Artati, dengan suara lembutnya, berkata, “Durian itu, kalau dibagi tak ikhlas, akan hilang rasanya. Kalau kalian tak berhenti bertengkar, pohon itu mungkin tidak mau berbuah lagi!”

Mendengar itu, Yukan dan Alek terdiam. Mereka lalu sepakat membagi durian secara adil, masing-masing mendapatkan sepiak (setengah).

Durian dengan Jiwa yang Baik

Pohon itu memang unik. Jika malam tiba, daun-daunnya seperti berbicara dalam desiran angin, dan buahnya seakan memiliki jiwa sendiri. Orang-orang percaya, itu karena doa Wak Nil, istri Wak Lan, yang selalu ingin pohon itu menjadi simbol persaudaraan.

Ada kisah menarik tentang Alwi dan istrinya, Imut. Mereka baru saja menikah dan sangat sederhana. Saat musim durian tiba, Alwi mengeluh, “Aku ingin makan durian, tapi tak punya uang.”

Saat itulah, satu durian jatuh tepat di depan mereka. Ketika dibuka, durian itu membelah menjadi dua bagian, seolah berkata, “Makanlah. Ini untukmu.” Imut berkata, “Durian ini seperti memahami hati kita!”

Penutup: Durian Sepiak Menjadi Legenda

Seiring waktu, pohon durian itu menjadi simbol keunikan Dusun V Seberang Sungai,Desa Lubuk Alai. Orang-orang dari desa lain datang untuk melihat keajaiban buahnya. Bahkan, pernah ada pedagang kaya dari kota yang ingin membeli pohon itu dengan harga tinggi, tetapi Andi Broo dengan tegas menolak.

“Durian Sepiak ini bukan untuk dijual. Ini milik kita semua, simbol berbagi dan kebahagiaan,” katanya sambil tersenyum.

Hingga kini, pohon itu masih berdiri kokoh di Dusun V Seberang Sungai,Desa Lubuk Alai. Orang-orang datang tidak hanya untuk menikmati legitnya durian, tetapi juga untuk mendengar cerita tentang keajaiban pohon warisan leluhur. Dan jika beruntung, mereka bisa menyaksikan sendiri bagaimana durian itu jatuh dan membelah dengan sempurna, menjadi "sepiak" bagi dua jiwa yang siap berbagi.

TAMAT

(Hanya Hiburan, Pengalihan yang sering buat Status Saling Hujat di Fb)
😁😁😁

DIAN WEAB

DURIAN SEPIAK/DIAN HIAK 

Dahulu kala, di Desa Lubuk Alai, tepatnya di Dusun V Seberang Sungai, berdiri sebuah pohon durian yang menjulang tinggi. Pohon ini bukan sembarang pohon, melainkan pohon warisan keluarga. Pemiliknya, Andi Broo, sering mengatakan kepada orang-orang, "Durian ini bukan hanya pohon, tapi juga titipan leluhur. Kalau jatuh, pasti membagi sendiri!"

Kisah ini bermula dari leluhur Bibik Angi, ibu mertua Andi Broo. Konon, suaminya, Bernama Rusdi dan Orang Tuanya bernama Wak Lan, dulu adalah seorang petani yang pandai berbicara dengan pohon. Istrinya, Wak Nil, yang dikenal sebagai ahli pembuat kue durian, sering berkata, "Lan suamiku, durian ini nanti akan menjadi berkah untuk keluarga kita. Tapi ingat, jangan serakah. Selalu berbagi."

Wak Lan kemudian menamai pohon itu "Durian Sepiak/Dian Hiak" karena setiap durian yang jatuh selalu membelah menjadi dua bagian yang sama persis, seperti ada sihir. Kalau jatuhnya siang, durian akan mekar seperti bunga, mengeluarkan aroma manis, membuat semua orang yang menciumnya lapar seketika.

Penjaga Durian dan Kehidupan Desa

Andi Broo, bersama istrinya Evi, tinggal di pondok kecil di bawah pohon durian itu. Setiap musim durian tiba, mereka bergantian menjaga buahnya bersama tetangga kebunnya Opet dan istrinya, Siska, yang terkenal dengan suara tingginya yang bisa mengalahkan kokok ayam.

Namun, menjaga durian bukan hal mudah. Pernah suatu malam, Yukan—seorang pria rajin patroli yang sering ketiduran di bawah pohon—nyaris tertimpa durian. Beruntung, durian itu membelah di udara dan jatuh di sisi kanan dan kiri kepalanya. “Lihat, pohon ini menyayangiku!” katanya dengan bangga, padahal itu hanya keberuntungan.

Andi Nyot, tetangga kebun Andi Broo yang lain, sering datang bersama istrinya, Nyot, untuk ikut menikmati durian. Mereka suka membawa sambal terasi, katanya, “Durian dan terasi itu pasangan serasi!” Tapi semua orang tahu, sambal mereka sering terlalu pedas hingga membuat orang lupa rasa legit durian.

Konflik Lucu di Seberang Sungai

Suatu hari, Alek dan Yukan, dua sahabat yang suka adu mulut, memutuskan untuk berjaga bersama. Saat durian jatuh, mereka langsung berebut. “Ini setengahku!” teriak Alek. “Tidak! Yang ini lebih besar, jadi punyaku!” sahut Yukan.

Adu mulut mereka terdengar hingga ke telinga Sandi dan Artati yang tinggal di seberang sungai. Artati, dengan suara lembutnya, berkata, “Durian itu, kalau dibagi tak ikhlas, akan hilang rasanya. Kalau kalian tak berhenti bertengkar, pohon itu mungkin tidak mau berbuah lagi!”

Mendengar itu, Yukan dan Alek terdiam. Mereka lalu sepakat membagi durian secara adil, masing-masing mendapatkan sepiak (setengah).

Durian dengan Jiwa yang Baik

Pohon itu memang unik. Jika malam tiba, daun-daunnya seperti berbicara dalam desiran angin, dan buahnya seakan memiliki jiwa sendiri. Orang-orang percaya, itu karena doa Wak Nil, istri Wak Lan, yang selalu ingin pohon itu menjadi simbol persaudaraan.

Ada kisah menarik tentang Alwi dan istrinya, Imut. Mereka baru saja menikah dan sangat sederhana. Saat musim durian tiba, Alwi mengeluh, “Aku ingin makan durian, tapi tak punya uang.”

Saat itulah, satu durian jatuh tepat di depan mereka. Ketika dibuka, durian itu membelah menjadi dua bagian, seolah berkata, “Makanlah. Ini untukmu.” Imut berkata, “Durian ini seperti memahami hati kita!”

Penutup: Durian Sepiak Menjadi Legenda

Seiring waktu, pohon durian itu menjadi simbol keunikan Dusun V Seberang Sungai,Desa Lubuk Alai. Orang-orang dari desa lain datang untuk melihat keajaiban buahnya. Bahkan, pernah ada pedagang kaya dari kota yang ingin membeli pohon itu dengan harga tinggi, tetapi Andi Broo dengan tegas menolak.

“Durian Sepiak ini bukan untuk dijual. Ini milik kita semua, simbol berbagi dan kebahagiaan,” katanya sambil tersenyum.

Hingga kini, pohon itu masih berdiri kokoh di Dusun V Seberang Sungai,Desa Lubuk Alai. Orang-orang datang tidak hanya untuk menikmati legitnya durian, tetapi juga untuk mendengar cerita tentang keajaiban pohon warisan leluhur. Dan jika beruntung, mereka bisa menyaksikan sendiri bagaimana durian itu jatuh dan membelah dengan sempurna, menjadi "sepiak" bagi dua jiwa yang siap berbagi.

TAMAT

(Hanya Hiburan, Pengalihan yang sering buat Status Saling Hujat di Fb)
😁😁😁

DURIAN SEPIAK/DIAN HIAK

DURIAN SEPIAK/DIAN HIAK 

Dahulu kala, di Desa Lubuk Alai, tepatnya di Dusun V Seberang Sungai, berdiri sebuah pohon durian yang menjulang tinggi. Pohon ini bukan sembarang pohon, melainkan pohon warisan keluarga. Pemiliknya, Andi Broo, sering mengatakan kepada orang-orang, "Durian ini bukan hanya pohon, tapi juga titipan leluhur. Kalau jatuh, pasti membagi sendiri!"

Kisah ini bermula dari leluhur Bibik Angi, ibu mertua Andi Broo. Konon, suaminya, Bernama Rusdi dan Orang Tuanya bernama Wak Lan, dulu adalah seorang petani yang pandai berbicara dengan pohon. Istrinya, Wak Nil, yang dikenal sebagai ahli pembuat kue durian, sering berkata, "Lan suamiku, durian ini nanti akan menjadi berkah untuk keluarga kita. Tapi ingat, jangan serakah. Selalu berbagi."

Wak Lan kemudian menamai pohon itu "Durian Sepiak/Dian Hiak" karena setiap durian yang jatuh selalu membelah menjadi dua bagian yang sama persis, seperti ada sihir. Kalau jatuhnya siang, durian akan mekar seperti bunga, mengeluarkan aroma manis, membuat semua orang yang menciumnya lapar seketika.

Penjaga Durian dan Kehidupan Desa

Andi Broo, bersama istrinya Evi, tinggal di pondok kecil di bawah pohon durian itu. Setiap musim durian tiba, mereka bergantian menjaga buahnya bersama tetangga kebunnya Opet dan istrinya, Siska, yang terkenal dengan suara tingginya yang bisa mengalahkan kokok ayam.

Namun, menjaga durian bukan hal mudah. Pernah suatu malam, Yukan—seorang pria rajin patroli yang sering ketiduran di bawah pohon—nyaris tertimpa durian. Beruntung, durian itu membelah di udara dan jatuh di sisi kanan dan kiri kepalanya. “Lihat, pohon ini menyayangiku!” katanya dengan bangga, padahal itu hanya keberuntungan.

Andi Nyot, tetangga kebun Andi Broo yang lain, sering datang bersama istrinya, Nyot, untuk ikut menikmati durian. Mereka suka membawa sambal terasi, katanya, “Durian dan terasi itu pasangan serasi!” Tapi semua orang tahu, sambal mereka sering terlalu pedas hingga membuat orang lupa rasa legit durian.

Konflik Lucu di Seberang Sungai

Suatu hari, Alek dan Yukan, dua sahabat yang suka adu mulut, memutuskan untuk berjaga bersama. Saat durian jatuh, mereka langsung berebut. “Ini setengahku!” teriak Alek. “Tidak! Yang ini lebih besar, jadi punyaku!” sahut Yukan.

Adu mulut mereka terdengar hingga ke telinga Sandi dan Artati yang tinggal di seberang sungai. Artati, dengan suara lembutnya, berkata, “Durian itu, kalau dibagi tak ikhlas, akan hilang rasanya. Kalau kalian tak berhenti bertengkar, pohon itu mungkin tidak mau berbuah lagi!”

Mendengar itu, Yukan dan Alek terdiam. Mereka lalu sepakat membagi durian secara adil, masing-masing mendapatkan sepiak (setengah).

Durian dengan Jiwa yang Baik

Pohon itu memang unik. Jika malam tiba, daun-daunnya seperti berbicara dalam desiran angin, dan buahnya seakan memiliki jiwa sendiri. Orang-orang percaya, itu karena doa Wak Nil, istri Wak Lan, yang selalu ingin pohon itu menjadi simbol persaudaraan.

Ada kisah menarik tentang Alwi dan istrinya, Imut. Mereka baru saja menikah dan sangat sederhana. Saat musim durian tiba, Alwi mengeluh, “Aku ingin makan durian, tapi tak punya uang.”

Saat itulah, satu durian jatuh tepat di depan mereka. Ketika dibuka, durian itu membelah menjadi dua bagian, seolah berkata, “Makanlah. Ini untukmu.” Imut berkata, “Durian ini seperti memahami hati kita!”

Penutup: Durian Sepiak Menjadi Legenda

Seiring waktu, pohon durian itu menjadi simbol keunikan Dusun V Seberang Sungai,Desa Lubuk Alai. Orang-orang dari desa lain datang untuk melihat keajaiban buahnya. Bahkan, pernah ada pedagang kaya dari kota yang ingin membeli pohon itu dengan harga tinggi, tetapi Andi Broo dengan tegas menolak.

“Durian Sepiak ini bukan untuk dijual. Ini milik kita semua, simbol berbagi dan kebahagiaan,” katanya sambil tersenyum.

Hingga kini, pohon itu masih berdiri kokoh di Dusun V Seberang Sungai,Desa Lubuk Alai. Orang-orang datang tidak hanya untuk menikmati legitnya durian, tetapi juga untuk mendengar cerita tentang keajaiban pohon warisan leluhur. Dan jika beruntung, mereka bisa menyaksikan sendiri bagaimana durian itu jatuh dan membelah dengan sempurna, menjadi "sepiak" bagi dua jiwa yang siap berbagi.

TAMAT

(Hanya Hiburan, Pengalihan yang sering buat Status Saling Hujat di Fb)
😁😁😁

Sabtu, 28 Desember 2024

MUSIM DURIAN DAN PATROLI TENGAH MALAM

MUSIM DURIAN DAN PATROLI TENGAH MALAM 

Desa Durian Lembah subur, tanahnya gembur, dan pohon durian tumbuh menjulang di sana-sini. Ketika musim durian tiba, desa ini seolah berubah menjadi medan perang kecil. Bukan perang dengan senjata, tapi perang berebut buah durian yang jatuh dari pohon.

Pak Karsa, seorang petani durian yang terkenal sabar, setiap musim durian harus rela begadang setiap malam di bawah pohonnya. Sudah berminggu-minggu ia tidak tidur nyenyak. Matanya memerah, kantung matanya seperti dua buah kantong kain yang menggantung di bawah kelopak. Rambutnya kian kusut, kulitnya menguning seperti warna kulit durian yang ia jaga.

Setiap malam, ia duduk di bawah pohonnya sambil membawa lentera kecil. Telinganya terus siaga, mendengar suara "pluk" buah durian jatuh. Namun, sering kali ia kalah cepat. Anak-anak kecil dan beberapa warga dewasa yang seharusnya tidur sudah mengendap-endap di sekitar pohonnya. Begitu suara durian jatuh terdengar, mereka berlarian seperti kijang yang melihat mangsa.

"Kamu anak siapa, nih? Kok ngambil durian saya?" tanya Pak Karsa suatu malam, setelah berhasil merebut kembali sebuah durian yang hampir dibawa kabur.

"Ah, durian kan jatuh sendiri, Pak. Siapa cepat, dia dapat!" jawab anak itu dengan senyum tanpa dosa.

Pak Karsa hanya bisa menghela napas. Ia tahu, bukan hanya anak-anak yang seperti itu. Beberapa warga dewasa bahkan lebih parah. Siang hari mereka menjual durian miliknya yang diambil tanpa izin. Malamnya, mereka malah patroli ke kebun orang lain.

"Kopi saya tak lagi panen baik, sebab pohon durian ini. Tapi saat panen durian, saya malah tak bisa menikmati hasilnya," gumam Pak Karsa kepada istrinya, Bu Karsa, sambil memijat betis yang pegal.

Musim durian di desa itu memang seperti festival liar. Para pemilik pohon durian, seperti Pak Karsa, sering tidak kebagian buah mereka sendiri. Bahkan, buah-buah mentah sekalipun sering dipetik lalu dijual murah di pasar. "Durian lundang" itu dijual sebelum sempat masak di pohon.

Suatu pagi, Pak Karsa mendapati pohonnya kosong melompong. Semua buah durian sudah diambil entah siapa. Ia hanya bisa duduk di bawah pohonnya sambil mengusap wajah yang lelah. "Tak ada bedanya saya yang menanam dengan yang patroli," gumamnya getir.

Kabar ini akhirnya sampai ke kepala desa, Pak Jalil. Ia mengumpulkan semua warga di balai desa.

"Saudara-saudara, kita semua tahu durian adalah anugerah dari Tuhan. Tapi, bukankah anugerah itu harus kita syukuri, bukan kita rebutkan? Kasihan para petani durian yang sudah susah payah menanam dan merawat pohonnya. Kalau terus seperti ini, kita tidak akan maju," kata Pak Jalil dengan nada tegas.

Warga hanya saling pandang. Beberapa mulai menunduk, merasa malu.

"Mulai sekarang, siapa pun yang ingin mengambil durian dari pohon milik orang lain, harus izin dulu. Kalau ada yang melanggar, akan kena sanksi. Kita hidup di desa ini bersama-sama, bukan untuk saling berebut seperti hewan di hutan."

Sejak saat itu, kebiasaan buruk di Desa Durian Lembah perlahan mulai berubah. Anak-anak diajarkan untuk menghormati hak orang lain. Para pemilik pohon durian juga lebih lega, karena mereka akhirnya bisa menikmati hasil kerja keras mereka sendiri.

Musim durian tetap menjadi momen yang dinanti, tapi kini tanpa rebutan, tanpa "patroli malam", dan tanpa hati yang merasa dirugikan. Desa itu kembali damai, dan Pak Karsa akhirnya bisa tidur nyenyak di malam hari.

DURIAN PUCUK BETUNG

DURIAN PUCUK BETUNG 

Di sebuah, Desa ,dusun kecil bernama Dusun V Seberang Sungai, terdapat pohon durian legendaris bernama "Durian Pucuk Betung." Pohon ini milik seorang pria berambut Ikal, berkumis tipis, dan sering memakai kain sarung lusuh, bernama Andi Bro. Durian Pucuk Betung terkenal dengan ukurannya yang luar biasa besar. Tapi, ada rahasia kelam di balik keindahannya: daging buahnya setipis kulit bawang, sementara bijinya sebesar batu kali.

Meski begitu, Andi Bro punya lidah yang lebih tajam dari duri durian. Ia pandai merayu pembeli dengan kata-kata manis seperti daging duriannya (walau kenyataannya pahit).

Pada suatu sore yang gerimis, datanglah seorang pedagang Cina bernama Koh Heng dengan senyum lebar dan celana pendek khasnya.

"Andi Bro, saya dengar durian kamu terkenal manis dan legit. Saya mau beli lima biji buat bubur, ya," kata Koh Heng, tangannya sibuk menghitung uang di kantong celananya.

Andi Bro memasang wajah sumringah. "Betul sekali, Koh! Durian Pucuk Betung ini beda dari yang lain. Kalau Koh masak jadi bubur jam lima sore, manisnya bisa bikin Koh lupa jalan pulang!"

Tanpa pikir panjang, Koh Heng menyerahkan uang dan membawa lima durian raksasa itu ke warung kecilnya di pasar.

Malam harinya, Koh Heng memasak bubur durian seperti yang Andi Bro sarankan. Ketika durian pertama dibelah, ia terpana.

"APA INI?!" teriak Koh Heng, hampir menjatuhkan durian ke lantai. Isi durian itu terlihat seperti kuning telur yang hampir habis dijilat kucing. Hanya ada daging setipis lembaran plastik, sementara bijinya sebesar bola kasti.

Ia mencoba membuka durian kedua, ketiga, hingga kelima. Hasilnya sama saja. Bubur durian yang ia bayangkan berubah menjadi bubur kekecewaan.

"Saya ditipu! Ini bukan durian, ini biji batu pakai baju kulit durian!" serunya kesal.

Esok paginya, Koh Heng langsung menuju Pondok Andi Bro. Sementara itu, Andi Bro yang sudah mendengar kabar angin kedatangan Koh Heng, langsung pura-pura sibuk menyapu daun di halaman belakang.

Namun, Koh Heng bukan orang yang gampang menyerah. Ia mencari-cari sambil berteriak, "ANDI BRO! KELUAR! Saya mau bicara soal durian kamu!"

Karena tak kunjung muncul, Koh Heng memanggil pohon durian di depan pekarangan Pondok Andi Bro. "Eh, Durian Pucuk Betung, kasih tahu bos kamu! Saya mau uang saya balik, atau saya buat cerita ini viral!"

Pohon durian seolah-olah menggigil mendengar ancaman itu. Daun-daunnya berjatuhan, dan beberapa durian muda terjun bebas ke tanah. Andi Bro, yang tak tahan mendengar amukan Koh Heng, akhirnya keluar dengan wajah bersalah.

"Koh, sabar dulu. Mungkin duriannya memang kecil dagingnya, tapi kan tetap manis?" ucap Andi Bro, mencoba berdalih.

"Manis? Apa gunanya manis kalau isinya cuma angin?! Bubur saya lebih mirip air gula!" Koh Heng memotong dengan tajam.

Sejak kejadian itu, Andi Bro menjadi lebih hati-hati. Ia bahkan sampai menulis papan peringatan di depan Pondoknya:

"DURIAN PUCUK BETUNG: BESAR TAPI TIPIS, BIJI TAPI MANIS."

Tapi pohon durian itu tampaknya puas dengan perannya sebagai biang drama dusun. Tiap kali musim durian tiba, selalu ada cerita baru tentang harapan dan kekecewaan. Sementara itu, Andi Bro berusaha tak lagi bertemu Koh Heng di jalan.

Dan Koh Heng? Ia belajar satu hal penting: jangan pernah percaya durian yang terlalu sempurna. Kadang, yang Ukuran besar dari luar tidak menjamin isi, melainkan tipu daya, atau bagus di pandang dari luar dari dalam berbeda dengan harapan.

Jumat, 27 Desember 2024

Musim Durian di Desa

Musim Durian di Desa

Kala durian gugur dari pelukan langit,
Pohon-pohon berjabat tangan dengan tanah,
"Ini waktumu," bisik angin lembut,
Menyapa desa dengan aroma rindu yang tajam.

Jalanan berdebu kini penuh cerita,
Manusia berlari, seolah mengejar bulan jatuh,
"Durian, durian!" seru bocah-bocah riang,
Seakan dunia hanya tentang buah berduri.

Pohon tua berbisik di bawah senja,
"Aku lelah, tapi bahagia," katanya,
Karena buahnya kini menjadi rebutan,
Mengisi tawa, canda, bahkan adu mulut di pasar.

Wajah-wajah desa berubah seiring waktu,
Pak Tani yang biasanya muram,
Kini tertawa sambil menghitung untung,
"Berkat durian, hutangku lunas!" katanya bangga.

Namun, tak semua berubah indah,
Si Joko, yang dulu setia berjanji pada Diah,
Kini lupa, sibuk di kebun mencari buah,
"Apa daya, musim durian hanya setahun sekali," ia berdalih.

Sungai kecil di tepi desa iri pada pohon,
"Kenapa aku tak seheboh dirimu?" tanyanya.
Pohon durian hanya tersenyum,
"Sabar, kawan. Airmu yang tenang memberi hidupku."

Dan bulan, yang biasanya mengintip malu,
Kini memantau penuh rasa iri,
Pada pesta durian di bawah sinarnya,
Manusia lupa waktu, lupa malam, lupa segalanya.

Musim durian di desa,
Adalah drama, cinta, dan perpisahan,
Ia membawa tawa, tangis, dan janji,
Hingga akhirnya pergi, menyisakan kenangan manis berduri.

Tapi musim akan kembali,
Karena pohon durian,
Adalah penjaga rahasia desa,
Yang tak pernah lelah membagikan cinta dalam diam.

Kamis, 26 Desember 2024

Jumat di Masjid Al-Hijaz

"Jumat di Masjid Al-Hijaz"

Di Desa Lubuk Alai, di bawah lengkung langit biru,
Masjid Al-Hijaz berdiri kokoh, memanggil hati yang rindu.
Muadzin menyeru, melagukan azan dengan nada syahdu,
Menggetarkan jiwa, mengundang langkah pada jalan yang lurus dan satu.

Pak Khatib naik ke mimbar, bagaikan purnama di malam sepi,
Kata-katanya ibarat embun, mendinginkan hati yang terjerat api.
Sang garam, tak bersuara, menjaga tatakrama,
Hening, mengingatkan bahwa dunia fana hanyalah fana.

Di tiap kalimat, khutbah meresap, bak hujan di tanah kering,
Siraman qolbu yang menyentuh, membawa iman kian teriring.
Khotib menyeru, "Hiduplah dengan taqwa dan sabar,
Karena di jalan-Nya, hidup penuh berkah dan sekar."

Saat imam berdiri, menjadi pemimpin shalat yang khusyuk,
Alunan ayatnya, ibarat angin yang lembut memeluk.
Ruku’ dan sujud memadukan hati dalam harmoni,
Hadirkan kedamaian yang tak terukur oleh duniawi.

Selesai shalat, langkah tak beranjak,
Di halaman masjid, berkumpul wajah-wajah penuh syahdu dan bijak.
Dermawan hadir, membawa rujak mie sebagai rasa syukur,
Senyum terukir, cinta sesama kian teratur.

Masjid Al-Hijaz bukan sekadar tempat bersujud,
Ia adalah rahmat yang tak pernah surut.
Di sana, Jumat menjadi pengingat hakiki,
Bahwa hidup di dunia, hanyalah sementara menuju abadi.

Puisi Opname Dana Desa

Puisi Opname Dana Desa

Di pagi yang biru, kala matahari mencium dedaunan,
Desa terbangun dalam irama keteraturan.
Pak Camat, si pemimpin pekerja keras berusaha menjadi arif penuh wibawa,
Bersama Pak Sekcam, sang penulis kebijakan yang bijaksana.

Kasi P3U, penjaga proyek dengan mata tajam,
Menghitung bata, menakar harapan dalam angka yang terhampar diam.
Kasi Pemerintahan, si penata harmoni,
Menuntun aturan, menulis sejarah di balik jerih diri.

Tim Ahli hadir bagai penjaga bintang,
Menakar kualitas, memahat hasil yang gemilang.
Tim Perencanaan, sang pelukis masa depan,
Merangkai mimpi desa dalam peta penuh harapan.

Pendamping Desa, penyambung hati masyarakat kecil,
Bersuara lembut, membawa cinta dalam setiap kata yang mengalir.
Pendamping Lokal Desa, penjaga batas harapan,
Berjalan di antara warga, menyulam keadilan dalam genggaman.

Kepala Desa, pemimpin desa laksana akar pohon,
Bersama perangkat desa, menjaga desa tetap teguh di bawah naungan.
Mereka menyatu dalam opname ini,
Bukan sekadar hitungan angka, tapi makna dari tanggung jawab suci.

Oh Dana Desa, engkau bagai sungai kehidupan,
Mengalir perlahan, memberi harapan di ladang kemakmuran.
Setiap anggaran adalah janji, setiap laporan adalah saksi,
Bahwa desa ini hidup dari cinta, kerja, dan dedikasi.

Kini, pena mencatat di atas meja kayu,
Angka dan fakta berdansa dalam harmoni yang syahdu.
Dana Desa berbicara dengan lidah kejujuran,
"Periksa aku, pakailah aku untuk rakyat, bukan kebanggaan semu kekuasaan."

Dan ketika malam turun, bintang bersinar di langit desa,
Mereka pulang dengan hati lapang, tugas mulia telah tertunaikan.
Desa ini tetap hidup, tetap bernyanyi,
Karena opname bukan sekadar tugas—tapi cinta yang abadi.

Selasa, 24 Desember 2024

PENCARI KESALAHAN

PENCARI KESALAHAN 

(Puisi)

Dalam mata yang selalu mencari kesalahan,
Tersembunyi kekecewaan yang tak terucapkan.
Kau cari kesalahan di setiap langkahku,
Namun lupa, kesempurnaan tidak pernah ada.

Dalam kata-kata yang tajam seperti pedang,
Kau tebas kepercayaan dan kekuatan.
Kau cari kesalahan, bukan kebenaran,
Dan lupa, kita semua pernah salah.

Mengapa kau tidak melihat kebaikan?
Mengapa kau tidak merasakan keindahan?
Kita semua memiliki kelebihan dan kekurangan,
Mari kita fokus pada kebaikan, bukan kesalahan.

Jangan biarkan kekecewaan menguasai hati,
Mari kita berbagi kasih sayang dan kebaikan.
Kita semua perlu dukungan dan pengertian,
Bukan kecaman dan kesalahpahaman.

MUSIM DURIAN DAN SI PELIT DI KAMPUNG JAMBU

"MUSIM DURIAN DAN SI PELIT DI KAMPUNG JAMBU"

Di sebuah kampung kecil bernama Kampung Jambu, musim durian selalu menjadi saat yang dinantikan. Pohon-pohon durian yang rimbun di kebun warga mulai menggugurkan buah-buah berduri itu, mengundang aroma manis menusuk hidung yang menyebar hingga ke sudut-sudut kampung. Tapi, kali ini, musim durian membawa perubahan besar—bukan pada pohonnya, melainkan pada seorang lelaki bernama Pak Karman.

Pak Karman dulu terkenal sebagai orang yang ramah dan dermawan. Setiap kali musim durian tiba, ia selalu membagi-bagikan hasil panennya kepada tetangga. Namun, tahun ini, segalanya berubah. Pak Karman, entah kenapa, menjadi seperti durian itu sendiri—keras di luar, tajam, dan penuh duri.

(Percakapan di Warung Bu Leni)

Bu Leni: "Eh, kok tumben ya si Karman nggak bawa durian ke warung buat dicicip?"

Pak Udin: "Iya, aku juga heran. Biasanya dia suka bagi-bagi. Tapi kemarin, aku panggil dia pas lagi bawa durian, eh, nggak noleh sama sekali. Kayak pura-pura nggak denger!"

Bu Leni: "Sama aku juga, Din! Aku bilang, 'Pak Karman, baunya enak banget duriannya.' Dia cuma jawab: 'Durian ini hasil beli, Bu. Buat jual lagi!' Padahal aku tahu, itu durian kebunnya sendiri."

Pak Udin: "Aduh, kok gitu sekarang, ya? Apa jangan-jangan pohon duriannya ngomel-ngomel ke dia biar nggak bagi-bagi lagi?"

(Personifikasi Pohon Durian)

Di kebun Pak Karman, pohon-pohon durian berbisik di antara gemerisik dedaunan mereka. Sebatang pohon tua dengan durian yang paling besar, bernama Si Raja Durian, mulai berbicara kepada teman-temannya.

Raja Durian: "Kawan-kawan, lihatlah tuan kita, Pak Karman. Tahun ini dia seperti berubah. Tidak ada lagi gelak tawa tetangga yang mencicipi buah kita di bawah bayangan dahan kita. Semua durian hanya ditimbun di gudang dan dijual ke pasar!"

Pohon Durian Lain: "Iya, Raja. Kita dulu bangga buah kita dinikmati bersama. Sekarang? Hanya suara uang yang didengarnya."

Raja Durian: "Aku ingin berbicara kepadanya malam ini. Aku akan membuat dia mengerti bahwa durian kita bukan sekadar hasil jualan."

(Pertemuan Ajaib di Kebun)

Malam itu, saat Pak Karman sedang menghitung tumpukan uang hasil jual durian, ia mendengar suara gemerisik yang aneh dari arah kebunnya. Dengan senter di tangan, ia berjalan ke sana, namun langkahnya terhenti ketika ia melihat Si Raja Durian—pohon itu seakan hidup! Cabang-cabangnya bergerak perlahan seperti tangan, dan buah-buahnya berpendar dalam cahaya bulan.

Pak Karman: "Apa ini?! Apa aku bermimpi?"

Raja Durian: "Tidak, Karman. Aku pohon durian yang kau rawat sejak muda. Apa kau lupa tujuanmu dulu? Buahku adalah berkah, bukan sekadar dagangan. Kau telah berubah, Karman. Tidak ada lagi cinta dalam panenmu, hanya kerakusan."

Pak Karman: "Tapi aku butuh uang, Raja. Segalanya sekarang mahal. Kalau aku membagi-bagikan durian, bagaimana dengan hidupku?"

Raja Durian: "Apa kau lupa, Karman? Semakin kau berbagi, semakin banyak berkah yang kau dapat. Tahun-tahun lalu, buahku melimpah karena kau dermawan. Tahun depan, jika kau terus begini, jangan salahkan aku jika aku hanya berbuah sedikit."

Pak Karman hanya terdiam. Kata-kata pohon itu menusuk hatinya lebih tajam dari duri durian.

(Kembalinya Pak Karman yang Lama)

Esok harinya, Pak Karman bangun dengan perasaan yang berbeda. Ia membawa keranjang penuh durian ke warung Bu Leni dan memanggil Pak Udin serta warga lain.

Pak Karman: "Mari, mari, semua! Hari ini aku traktir durian. Ambil sebanyak yang kalian mau. Ini hasil kebunku—dan kalian semua berhak menikmatinya."

Bu Leni: "Lho, Pak Karman, tumben kok jadi murah hati lagi?"

Pak Karman tersenyum kecil sambil mengingat pertemuannya dengan Si Raja Durian. "Anggap saja aku diingatkan bahwa berbagi itu jauh lebih manis dari rasa durian mana pun."

Sejak hari itu, Pak Karman kembali menjadi sosok yang dikenang oleh Kampung Jambu. Pohon-pohon durian di kebunnya pun kembali berbuah lebat setiap tahun, seakan tersenyum puas kepada tuannya.

Pesan Moral:
Sebagaimana pohon durian yang menghasilkan buah dari kebaikan tanah dan air, manusia pun harus belajar bahwa berbagi membawa kelimpahan, bukan kekurangan.

(Hiburan 😁😁😁🤭🤭🤭🙏🙏🙏)

KISAH MUSIM DURIAN: "Durian Punya Orang"

LEGENDA DESA PENGAMBANG DAN DUA LELAKI SAKTI 

(Versi Cerita Rakyat/ Legenda/Dongeng/Mitos)

Di tengah belantara hijau yang membentang di wilayah Kecamatan Sindang Beliti Ulu, Kabupaten Rejang Lebong, berdirilah sebuah desa yang dikenal dengan nama Pengambang. Nama ini, seperti desanya, menyimpan makna yang mengalir, penuh misteri, dan sejarah yang tak pernah benar-benar padam. Di masa lalu, Pengambang adalah saksi bisu kisah dua lelaki sakti mandraguna: Moneng Takok dan adik iparnya, Pangku Lurah.

Awal Mula Desa Pengambang

Konon, nama Pengambang berasal dari sebuah pasar terapung di atas Sungai Beliti. Pasar itu digelar seminggu sekali. Para penduduk dari desa-desa sekitar datang dengan perahu kecil, membawa hasil bumi dan ternak mereka untuk diperdagangkan. Pasar ini disebut sebagai Pekan Pengambang, karena perahu-perahu yang saling berlabuh tampak seperti mengambang di atas air. Selain itu, gelanggang sabung ayam sering diadakan di dekat pasar, menjadi ajang pertaruhan dan kebanggaan.

Namun, cerita rakyat ini tidak hanya berhenti pada asal-usul nama. Nama desa itu juga berkaitan erat dengan kisah dua lelaki sakti yang menjadi pelindung Pengambang dan wilayah sekitarnya.

Moneng Takok, Sang Penjaga Hutan

Moneng Takok adalah seorang lelaki yang tubuhnya kekar seperti batang pohon meranti, dengan sorot mata tajam seperti elang. Ia dikenal sebagai penjaga hutan yang tidak kenal takut. Ia mampu berbicara dengan hewan-hewan liar dan memerintah mereka seolah-olah mereka adalah prajuritnya. Moneng Takok memiliki tongkat kayu yang konon dipahat dari pohon keramat di hutan Beliti. Tongkat ini bukan hanya senjata, tetapi juga alat untuk memanggil angin dan hujan.

Moneng Takok memiliki kebijaksanaan yang luar biasa. Ia sering menjadi penengah perselisihan antarpenduduk dan melindungi desa dari gangguan makhluk halus yang konon kerap menampakkan diri di tepian Sungai Beliti. Namun, ia tidak pernah bertindak sendiri. Ada seseorang yang selalu mendampinginya, yaitu Pangku Lurah.

Pangku Lurah, Sang Pengatur Harmoni

Pangku Lurah adalah adik ipar Moneng Takok. Berbeda dengan kakak iparnya yang tegas dan keras, Pangku Lurah dikenal lebih lembut namun tidak kalah sakti. Ia memiliki ilmu mengolah tanah dan air. Dengan ilmunya, ia mampu mengalirkan air dari Sungai Beliti ke sawah-sawah penduduk, bahkan di musim kemarau. Selain itu, ia memiliki kemampuan untuk “berbicara” dengan tanah, membuat hasil panen desa Pengambang melimpah ruah.

Pangku Lurah memiliki benda keramat berupa keris kecil bernama Si Gambang. Keris ini dipercaya dapat melindungi desa dari ancaman ghaib. Pangku Lurah sering menggunakan keris tersebut dalam ritual adat untuk membersihkan desa dari malapetaka.

Meski mereka berbeda sifat, Moneng Takok dan Pangku Lurah selalu bekerja sama menjaga desa. Namun, satu peristiwa besar membuat nama mereka abadi dalam ingatan masyarakat Pengambang.

Pertempuran dengan Naga Sungai Beliti

Pada suatu ketika, Sungai Beliti menjadi surut secara tiba-tiba. Penduduk mulai kelaparan karena air tidak lagi mengalir ke sawah-sawah mereka. Setelah memeriksa keadaan, Moneng Takok dan Pangku Lurah menemukan bahwa di hulu sungai ada seekor naga besar yang sedang bersemayam. Naga ini disebut Si Belang Geni, makhluk ghaib yang dipercaya menjaga harta karun kuno di dasar sungai.

Moneng Takok mencoba berbicara dengan naga tersebut. Namun, naga itu menolak pergi dan justru mengancam akan menenggelamkan seluruh desa jika penduduk berani mengganggunya. Pertempuran tidak bisa dihindari.

Moneng Takok maju ke medan laga, menggunakan tongkat saktinya untuk memanggil angin badai dan menghantam naga tersebut. Sementara itu, Pangku Lurah menggunakan Si Gambang untuk menciptakan aliran air baru yang mengelilingi naga, memerangkapnya dalam pusaran air. Selama tiga hari tiga malam mereka bertarung, hingga akhirnya naga tersebut menyerah dan setuju untuk pergi dengan syarat Moneng Takok dan Pangku Lurah bersedia menjaga Sungai Beliti agar tidak dicemari manusia.

Warisan Moneng Takok dan Pangku Lurah

Setelah peristiwa itu, Moneng Takok dan Pangku Lurah menghilang. Sebagian penduduk percaya bahwa mereka moksa, menjadi penjaga gaib Sungai Beliti. Sebelum menghilang, mereka meninggalkan pesan kepada penduduk desa untuk menjaga keharmonisan antara manusia dan alam.

Nama desa Pengambang pun tetap hidup sebagai pengingat jasa kedua tokoh tersebut. Kini, setiap pekan, ketika pasar terapung digelar, penduduk sering bercerita tentang Moneng Takok dan Pangku Lurah. Bahkan, hingga kini, ketika sungai beriak tenang atau hujan tiba-tiba turun di musim kemarau, penduduk percaya itu adalah pertanda bahwa Moneng Takok dan Pangku Lurah masih menjaga desa mereka.

Penutup

Legenda Moneng Takok dan Pangku Lurah bukan hanya cerita rakyat, tetapi juga pesan tentang keseimbangan antara manusia, alam, dan kehidupan. Desa Pengambang berdiri kokoh dengan sejarahnya, menjadi saksi bisu kebijaksanaan dua lelaki sakti yang mengajarkan harmoni. Hingga kini, kehadiran mereka masih terasa di setiap sudut desa, mengalir seperti air Sungai Beliti yang tak pernah berhenti.

(Jiwangwe)
😁😁😁

LEGENDA DESA PENGAMBANG DAN DUA LELAKI SAKTI

LEGENDA DESA PENGAMBANG DAN DUA LELAKI SAKTI 

(Versi Cerita Rakyat/ Legenda/Dongeng/Mitos)

Di tengah belantara hijau yang membentang di wilayah Kecamatan Sindang Beliti Ulu, Kabupaten Rejang Lebong, berdirilah sebuah desa yang dikenal dengan nama Pengambang. Nama ini, seperti desanya, menyimpan makna yang mengalir, penuh misteri, dan sejarah yang tak pernah benar-benar padam. Di masa lalu, Pengambang adalah saksi bisu kisah dua lelaki sakti mandraguna: Moneng Takok dan adik iparnya, Pangku Lurah.

Awal Mula Desa Pengambang

Konon, nama Pengambang berasal dari sebuah pasar terapung di atas Sungai Beliti. Pasar itu digelar seminggu sekali. Para penduduk dari desa-desa sekitar datang dengan perahu kecil, membawa hasil bumi dan ternak mereka untuk diperdagangkan. Pasar ini disebut sebagai Pekan Pengambang, karena perahu-perahu yang saling berlabuh tampak seperti mengambang di atas air. Selain itu, gelanggang sabung ayam sering diadakan di dekat pasar, menjadi ajang pertaruhan dan kebanggaan.

Namun, cerita rakyat ini tidak hanya berhenti pada asal-usul nama. Nama desa itu juga berkaitan erat dengan kisah dua lelaki sakti yang menjadi pelindung Pengambang dan wilayah sekitarnya.

Moneng Takok, Sang Penjaga Hutan

Moneng Takok adalah seorang lelaki yang tubuhnya kekar seperti batang pohon meranti, dengan sorot mata tajam seperti elang. Ia dikenal sebagai penjaga hutan yang tidak kenal takut. Ia mampu berbicara dengan hewan-hewan liar dan memerintah mereka seolah-olah mereka adalah prajuritnya. Moneng Takok memiliki tongkat kayu yang konon dipahat dari pohon keramat di hutan Beliti. Tongkat ini bukan hanya senjata, tetapi juga alat untuk memanggil angin dan hujan.

Moneng Takok memiliki kebijaksanaan yang luar biasa. Ia sering menjadi penengah perselisihan antarpenduduk dan melindungi desa dari gangguan makhluk halus yang konon kerap menampakkan diri di tepian Sungai Beliti. Namun, ia tidak pernah bertindak sendiri. Ada seseorang yang selalu mendampinginya, yaitu Pangku Lurah.

Pangku Lurah, Sang Pengatur Harmoni

Pangku Lurah adalah adik ipar Moneng Takok. Berbeda dengan kakak iparnya yang tegas dan keras, Pangku Lurah dikenal lebih lembut namun tidak kalah sakti. Ia memiliki ilmu mengolah tanah dan air. Dengan ilmunya, ia mampu mengalirkan air dari Sungai Beliti ke sawah-sawah penduduk, bahkan di musim kemarau. Selain itu, ia memiliki kemampuan untuk “berbicara” dengan tanah, membuat hasil panen desa Pengambang melimpah ruah.

Pangku Lurah memiliki benda keramat berupa keris kecil bernama Si Gambang. Keris ini dipercaya dapat melindungi desa dari ancaman ghaib. Pangku Lurah sering menggunakan keris tersebut dalam ritual adat untuk membersihkan desa dari malapetaka.

Meski mereka berbeda sifat, Moneng Takok dan Pangku Lurah selalu bekerja sama menjaga desa. Namun, satu peristiwa besar membuat nama mereka abadi dalam ingatan masyarakat Pengambang.

Pertempuran dengan Naga Sungai Beliti

Pada suatu ketika, Sungai Beliti menjadi surut secara tiba-tiba. Penduduk mulai kelaparan karena air tidak lagi mengalir ke sawah-sawah mereka. Setelah memeriksa keadaan, Moneng Takok dan Pangku Lurah menemukan bahwa di hulu sungai ada seekor naga besar yang sedang bersemayam. Naga ini disebut Si Belang Geni, makhluk ghaib yang dipercaya menjaga harta karun kuno di dasar sungai.

Moneng Takok mencoba berbicara dengan naga tersebut. Namun, naga itu menolak pergi dan justru mengancam akan menenggelamkan seluruh desa jika penduduk berani mengganggunya. Pertempuran tidak bisa dihindari.

Moneng Takok maju ke medan laga, menggunakan tongkat saktinya untuk memanggil angin badai dan menghantam naga tersebut. Sementara itu, Pangku Lurah menggunakan Si Gambang untuk menciptakan aliran air baru yang mengelilingi naga, memerangkapnya dalam pusaran air. Selama tiga hari tiga malam mereka bertarung, hingga akhirnya naga tersebut menyerah dan setuju untuk pergi dengan syarat Moneng Takok dan Pangku Lurah bersedia menjaga Sungai Beliti agar tidak dicemari manusia.

Warisan Moneng Takok dan Pangku Lurah

Setelah peristiwa itu, Moneng Takok dan Pangku Lurah menghilang. Sebagian penduduk percaya bahwa mereka moksa, menjadi penjaga gaib Sungai Beliti. Sebelum menghilang, mereka meninggalkan pesan kepada penduduk desa untuk menjaga keharmonisan antara manusia dan alam.

Nama desa Pengambang pun tetap hidup sebagai pengingat jasa kedua tokoh tersebut. Kini, setiap pekan, ketika pasar terapung digelar, penduduk sering bercerita tentang Moneng Takok dan Pangku Lurah. Bahkan, hingga kini, ketika sungai beriak tenang atau hujan tiba-tiba turun di musim kemarau, penduduk percaya itu adalah pertanda bahwa Moneng Takok dan Pangku Lurah masih menjaga desa mereka.

Penutup

Legenda Moneng Takok dan Pangku Lurah bukan hanya cerita rakyat, tetapi juga pesan tentang keseimbangan antara manusia, alam, dan kehidupan. Desa Pengambang berdiri kokoh dengan sejarahnya, menjadi saksi bisu kebijaksanaan dua lelaki sakti yang mengajarkan harmoni. Hingga kini, kehadiran mereka masih terasa di setiap sudut desa, mengalir seperti air Sungai Beliti yang tak pernah berhenti.

(Jiwangwe)
😁😁😁

Sabtu, 21 Desember 2024

LEGENDA DESA TANJUNG AGUNG: Batu Lebag dan Puyang Ketua

Legenda Desa Tanjung Agung: Batu Lebag dan Puyang Ketua

Di tengah lembah hijau yang dikelilingi bukit-bukit tinggi, terdapat sebuah desa yang kini dikenal sebagai Desa Tanjung Agung. Desa ini berdiri di atas dataran tinggi yang menjorok seperti semenanjung, seolah tangan alam merangkul langit. Nama “Tanjung Agung” lahir dari keagungan tanahnya: “tanjung” yang berarti semenanjung atau dataran tinggi, dan “agung” yang melambangkan kebesaran dan kemegahan alamnya.

Namun, keindahan dan nama besar desa ini tidak lahir tanpa cerita. Ada legenda yang hidup di antara warga, tentang seorang tokoh sakti bernama Puyang Ketua, situs magis Batu Lebag, dan para keturunan yang menjadi pewaris kebijaksanaan serta kekuatan Puyang Ketua.

Batu Lebag: Jejak Magis Mandraguna

Zaman dahulu kala, ketika desa ini masih berupa hutan belantara yang belum terjamah manusia, berdiri sebuah batu besar yang disebut Batu Lebag. Batu itu tak biasa. Warnanya hitam kelam, namun saat matahari terbenam, ia memantulkan cahaya keemasan yang seolah menyimpan kekuatan ilahi. Orang-orang percaya, Batu Lebag adalah pemberian para dewa, menjadi tempat bertemunya alam manusia dan dunia gaib.

Dikisahkan, di sekitar Batu Lebag, hiduplah seorang sakti mandraguna bernama Puyang Ketua. Ia dikenal sebagai penjaga harmoni alam. Rambutnya panjang beruban, matanya menatap tajam, seolah mampu melihat masa depan, dan tutur katanya bijaksana. Ia adalah pemimpin spiritual yang dihormati, tak hanya di desa, tetapi juga hingga ke lembah dan bukit di sekitarnya.

Puyang Ketua dan Anak-anaknya

Puyang Ketua memiliki tiga anak kandung yang istimewa: Kanom, Kagung, dan Manuk Dewa, serta seorang anak angkat bernama Kanyar.

Kanom, anak tertua, dikenal sebagai penakluk angin. Ia mampu memanggil angin untuk membantu membajak ladang atau mengusir ancaman dari desa.


Kagung, anak kedua, mewarisi kekuatan bumi. Ia mampu membuat tanah menjadi subur dan menghentikan longsor dengan satu ayunan tangannya.


Manuk Dewa, anak bungsu, memiliki hubungan mistis dengan burung-burung. Ia selalu ditemani burung elang putih yang dianggap sebagai penjelmaan roh leluhur.


Kanyar, anak angkat, meski tidak memiliki darah Puyang Ketua, memiliki hati yang penuh kasih dan kebijaksanaan yang tak kalah dengan saudara-saudaranya. Ia sering menjadi perantara ketika terjadi perselisihan.


Pertemuan dengan Batu Lebag

Pada suatu hari, ketika desa menghadapi masa-masa sulit karena kekeringan panjang, Puyang Ketua memutuskan untuk memohon petunjuk kepada Batu Lebag. Ia mengajak anak-anaknya ke sana. Di hadapan batu itu, ia duduk bersila, lalu mulai melafalkan mantra yang hanya diketahui oleh dirinya.

Tak lama kemudian, batu itu bergetar. Dari celahnya, memancar cahaya emas yang menyinari seluruh desa. Ajaibnya, hujan mulai turun. Air yang mengalir dari bukit-bukit menghidupkan kembali tanaman yang layu. Penduduk desa bersorak-sorai, memuji kebijaksanaan dan kekuatan Puyang Ketua.

Kearifan Puyang Ketua

Selain dikenal sebagai orang sakti, Puyang Ketua juga dihormati karena kebijaksanaannya. Ia selalu mengajarkan kepada anak-anaknya bahwa kekuatan tanpa kebijaksanaan adalah kehancuran. Ia sering berkata, “Jadilah penjaga, bukan penguasa. Alam ini bukan milik kita, tetapi titipan untuk anak cucu kita.”

Ketika anak-anaknya bertanya mengapa ia dipanggil “Puyang Ketua,” ia menjelaskan dengan senyuman, “Ketua berarti pemimpin. Tetapi pemimpin yang sejati adalah yang mampu memimpin dirinya sendiri sebelum memimpin orang lain.” Kata-kata itu terus menjadi pegangan hidup bagi anak-anaknya.

Warisan Tanjung Agung

Setelah Puyang Ketua wafat, anak-anaknya melanjutkan tugasnya menjaga desa. Batu Lebag tetap menjadi tempat suci, tempat penduduk desa berdoa dan memohon keberkahan. Desa itu pun akhirnya dinamai Tanjung Agung, mengacu pada tanahnya yang besar dan luhur, serta warisan kebijaksanaan Puyang Ketua.

Hingga kini, situs Batu Lebag masih dipercaya memiliki kekuatan magis. Banyak yang datang untuk berziarah, berharap mendapat berkah atau sekadar mengenang kisah Puyang Ketua yang arif dan sakti mandraguna.

Legenda ini terus hidup, mengajarkan kepada generasi muda bahwa keagungan sejati bukan hanya tentang kekuatan, tetapi juga tentang kebijaksanaan dan keharmonisan dengan alam.

(Masi Jiwangwe)
😁😁😁🙏🙏🙏

LEGENDA DESA LAWANG AGUNG: KISAH DARI KUTE GIRI, TABA MULAN, HINGGA LAWANG AGUNG


Legenda Desa Lawang Agung: Kisah dari Kute Giri, Taba Mulan, hingga Lawang Agung

(Versi Legenda/Dongeng/Mitos)

Dahulu kala, jauh sebelum desa itu dikenal dengan nama Lawang Agung, berdirilah sebuah perkampungan bernama Kute Giri. Kute Giri adalah tempat yang penuh dengan keindahan alam dan keajaiban yang tak tergoyahkan. Di tengah-tengah hutan belantara itu, masyarakat hidup damai di bawah kepemimpinan seorang pemimpin bijaksana bernama Riye Tandan.

Di masa itu, Kute Giri dipindahkan dan diberi nama baru, Taba Mulan, sebuah desa yang dikelilingi oleh pagar alami berupa rumpun bambu yang tak biasa. Bambu itu dikenal sebagai "Bolo Aou", yang tumbuh dengan rimbun dan memiliki duri-duri tajam seperti tombak penjaga. Masyarakat setempat percaya bahwa bambu ini memiliki kekuatan magis yang melindungi desa dari mara bahaya, termasuk dari serangan binatang buas ataupun musuh manusia. Tidak seorang pun berani menebangnya, karena mereka yakin bambu itu adalah hadiah dari leluhur mereka untuk menjaga kedamaian desa.

Suatu hari, terdengar kabar bahwa pasukan Belanda telah menguasai daerah-daerah sekitar Sindang Beliti dan kini mengincar Taba Mulan. Desa itu menjadi incaran karena letaknya yang strategis dan masyarakatnya yang terkenal dengan kemampuan bercocok tanam yang unggul. Namun, ketika pasukan Belanda tiba di perbatasan Taba Mulan, mereka terhenti oleh dinding alami rumpun bambu Bolo Aou yang tak tertembus.

Komandan Belanda, seorang pria licik bernama Kapten Van der Brugge, menjadi murka ketika anak buahnya melaporkan bahwa mereka tidak dapat masuk. "Apa gunanya kita membawa senjata, jika hanya rumpun bambu yang bisa menghalangi kita?" geramnya. Anak buahnya menjawab, "Tuan, bambu itu tumbuh sangat rapat, durinya tajam, dan terlalu berbahaya untuk dilewati. Bahkan senjata kita tak bisa menembusnya!"

Kapten Van der Brugge tidak kehabisan akal. Dia merancang siasat licik untuk membongkar pertahanan desa. "Bawa peti-peti uang logam kita! Besok, kita akan menghujani desa itu dengan kekayaan!"

Keesokan harinya, pasukan Belanda tiba di dekat rumpun bambu. Dari atas kuda, Kapten Van der Brugge memerintahkan anak buahnya untuk melemparkan peti-peti berisi uang logam ke dalam rumpun bambu Bolo Aou. Suara "kring-kring" dari uang logam yang bergemerincing membuat masyarakat Taba Mulan terkejut.

"Apa itu?" tanya seorang penduduk desa. "Seperti suara uang jatuh!" jawab yang lain.

Masyarakat yang penasaran mulai mendekati rumpun bambu. Mereka melihat kilauan logam di antara dedaunan dan duri-duri. "Ini uang! Banyak sekali!" seru seorang warga. Kabar itu menyebar dengan cepat, dan masyarakat desa berbondong-bondong datang untuk mengambil uang yang berhamburan di sekitar bambu.

Dalam keserakahan mereka, tanpa berpikir panjang, masyarakat mulai menebang rumpun bambu "Bolo Aou' untuk mempermudah mengambil uang logam tersebut. "Awas, jangan sampai durinya melukai kita!" teriak seseorang. Satu per satu, rumpun bambu yang telah melindungi desa selama ratusan tahun akhirnya tumbang.

Ketika siang menjelang dan masyarakat tengah sibuk menghitung uang, pasukan Belanda menyerbu masuk ke desa. Mereka tidak lagi terhalang oleh pagar bambu yang selama ini menjadi pelindung. Masyarakat Taba Mulan tidak sempat melawan. Mereka terkejut dan ketakutan, menyadari bahwa mereka telah termakan siasat licik Belanda.

Kapten Van der Brugge berdiri di tengah desa, tertawa puas. "Sekarang, kalian semua berada di bawah kendali kami! Mulai hari ini, desa ini akan berpindah ke depan, di tempat yang lebih terbuka. Kami akan mengawasi kalian dengan lebih mudah!"

Dengan penuh penyesalan, masyarakat Taba Mulan harus meninggalkan desa mereka dan pindah ke tempat baru yang kini dikenal sebagai Desa Lawang Agung. Tempat itu diberi nama demikian karena di sana terdapat dua batu besar yang menyerupai pintu gerbang (lawang) alami yang seolah menyambut setiap orang yang datang.

Tetua desa yang dahulu sering mengingatkan masyarakat untuk tidak menebang bambu "Bolo Aou'' akhirnya berkata dengan penuh kesedihan, "Kalian telah melupakan pesan leluhur kita. Lihatlah, pagar pelindung kita telah lenyap, dan musuh kini menguasai kita. Jangan pernah lupa bahwa serakah dan kelalaian bisa menghancurkan apa yang selama ini kita jaga."

Hingga kini, kisah tentang bambu "Bolo Aou" yang tumbang oleh godaan uang masih diceritakan dari generasi ke generasi. Legenda Desa Lawang Agung mengajarkan tentang pentingnya menjaga warisan leluhur, bersatu dalam menghadapi ancaman, dan tidak mudah tergoda oleh tipu daya musuh. Meski desa itu kini telah menjadi tempat yang damai, kenangan tentang Kute Giri dan Taba Mulan tetap hidup di hati masyarakat.


(Gese Jiwangwe)
😁😁😁🙏🙏🙏

LEGENDA DESA LAWANG AGUNG (Versi 2)


LEGENDA DESA LAWANG AGUNG 

(Versi 2)

Pintu Besar Menuju Sejarah: Kisah Desa Lawang Agung

Di sebuah lembah hijau yang dikelilingi oleh perbukitan Sindang Beliti Ulu, berdirilah sebuah desa yang kini dikenal sebagai Desa Lawang Agung. Desa ini tidak hanya kaya akan pemandangan alam, tetapi juga menyimpan legenda penuh keajaiban dan kebesaran jiwa para leluhurnya. Nama "Lawang Agung" sendiri berasal dari dua kata, "lawang" yang berarti pintu, dan "agung" yang berarti besar, mencerminkan pintu besar yang membuka jalan menuju sejarah gemilang.

Rie Tandan dan Kute Giri

Pada zaman dahulu kala, desa ini hanyalah sebuah perkampungan kecil yang dikenal sebagai Kute Giri. Dipimpin oleh seorang tokoh yang sakti mandraguna, bernama Rie Tandan, kampung ini berkembang menjadi tempat yang damai dan subur. Rie Tandan dikenal sebagai pemimpin yang adil dan bijaksana. Ia memiliki kekuatan luar biasa yang sering digunakan untuk melindungi kampungnya dari ancaman luar.

Namun, ketenangan itu terusik ketika kabar datang bahwa seorang utusan Kesultanan Palembang bernama Bujang Remeyon hendak menaklukkan desa tersebut. Bujang Remeyon dikenal sebagai seorang yang ambisius, berani, dan juga sakti. Ia membawa pasukan kecil namun tangguh, berniat untuk menjadikan Kute Giri sebagai bagian dari wilayah kekuasaan kesultanan.

Pertarungan di Puncak Bukit

Ketika pasukan Bujang Remeyon tiba di dekat Kute Giri, mereka mendirikan kemah di sebuah bukit yang tinggi. Dari puncak bukit itu, mereka bisa melihat desa yang akan mereka kuasai. Rie Tandan, yang mendengar kedatangan mereka, tidak gentar sedikit pun. Ia memutuskan untuk menghadapi Bujang Remeyon secara langsung, bukan dengan peperangan, tetapi melalui sebuah tantangan.

Rie Tandan mendatangi kemah Bujang Remeyon di puncak bukit. Dengan suara lantang yang penuh wibawa, ia berkata, “Bujang Remeyon, aku tahu kau datang untuk menjajah desaku. Namun, sebagai pemimpin, aku tidak ingin rakyatku menderita karena perang. Jika kau ingin menguasai Kute Giri, kita harus bertanding. Bukan dengan senjata, tetapi dengan kekuatan dan keberanian.”

Bujang Remeyon, yang merasa tertantang, menerima tawaran itu. Pertarungan mereka adalah lomba menahan balok kayu yang digulingkan dari atas bukit. Siapa pun yang mampu bertahan paling lama, dialah yang menang.

Balok-balok kayu besar, yang konon beratnya seperti seekor kerbau, disiapkan di atas tebing. Satu per satu, mereka berdiri di depan balok yang meluncur dengan deras. Rie Tandan berdiri tegap, menahan balok dengan satu tangan, membuatnya berhenti tepat di ujung kakinya. Bujang Remeyon pun mencoba, namun ia hanya mampu menahan balok beberapa saat sebelum terpental ke tanah.

Ketika balok terakhir digulingkan, Bujang Remeyon jatuh tersungkur. Ia mengakui kekalahannya dengan lapang dada. “Aku kalah, Rie Tandan. Kau memang pemimpin yang sejati,” katanya. Sejak saat itu, Bujang Remeyon bersumpah setia kepada Rie Tandan dan menjadi pengikutnya.

Petilasan Kute Giri dan Depati Tembah

Sebagai bentuk penghormatan kepada kedua tokoh tersebut, dua situs penting didirikan. Kute Giri, tempat Rie Tandan memimpin, menjadi pusat spiritual desa. Di sana terdapat sebuah batu nisan yang konon memiliki kekuatan magis. Masyarakat percaya bahwa siapa pun yang memberikan sesajen di batu nisan tersebut, lalu berdiri di atasnya untuk mengukur tinggi tubuhnya, akan memperoleh pertanda. Jika tinggi badannya sejajar dengan batu nisan, orang tersebut dipercaya memiliki jiwa pemimpin atau akan menjadi orang terpandang.

Di sisi lain, Depati Tembah, tempat Bujang Remeyon menghabiskan sisa hidupnya, juga menjadi petilasan yang dihormati. Tempat itu dikenal sebagai simbol perdamaian dan pengabdian.

Lawang Agung: Warisan Besar

Setelah peristiwa itu, kampung kecil Kute Giri tumbuh menjadi desa besar. Nama "Lawang Agung" dipilih untuk menghormati kebesaran jiwa para leluhur yang telah membuka pintu menuju masa depan yang lebih baik. Desa itu tidak hanya dikenal karena keindahan alamnya, tetapi juga karena kisah heroik Rie Tandan dan Bujang Remeyon, yang menjadi pelajaran tentang keberanian, kebijaksanaan, dan perdamaian.

Hingga kini, setiap tahun, masyarakat Desa Lawang Agung mengadakan ritual di Kute Giri dan Depati Tembah untuk mengenang para leluhur mereka. Suara doa dan syukur bergema di antara bukit-bukit, mengingatkan bahwa desa ini bukan hanya sekadar tempat tinggal, tetapi juga rumah bagi sejarah yang penuh makna.

(Jiwangwe+Imajinasi Penulis)
😁😁😁🙏🙏🙏

LEGENDA DESA LAWANG AGUNG

LEGENDA DESA LAWANG AGUNG 

Di kaki Bukit Barisan yang menjulang megah di Kabupaten Rejang Lebong, ada sebuah desa bernama Lawang Agung. Desa itu tidak hanya kaya akan keindahan alam, tetapi juga menyimpan sebuah legenda yang hidup di tengah masyarakatnya. Legenda ini bermula dari dua tokoh besar: Rie Tandan, sang pemimpin bijak Desa Lawang Agung, dan Bujang Remeyon, utusan Kesultanan Palembang yang datang dengan ambisi besar untuk menaklukkan desa itu.

Asal Nama Lawang Agung

Lawang Agung, seperti namanya, berarti Pintu Besar. Pintu itu bukan sekadar fisik, melainkan simbol kemegahan dan kekuatan, gerbang besar yang menjaga Desa Lawang Agung dari segala ancaman. Bagi penduduknya, desa itu adalah pintu menuju kesejahteraan dan harmoni, tetapi juga benteng yang tidak mudah ditembus.

Rie Tandan, Sang Pemimpin Kharismatik

Rie Tandan adalah pemimpin yang dihormati di Desa Lawang Agung. Beliau adalah sosok yang bijaksana, tangguh, dan penuh kasih kepada rakyatnya. Dengan kekuatan sakti yang diwarisi dari leluhurnya, Rie Tandan menjaga desa dari segala bahaya. Di puncak Bukit Kute Giri, tempat yang kini dikenal sebagai petilasan, ia sering bersemedi, memohon perlindungan untuk desa tercinta.

Kedatangan Bujang Remeyon

Di kejauhan, di bawah perintah Kesultanan Palembang, Bujang Remeyon datang membawa pasukannya. Dia adalah seorang prajurit muda yang tangguh, dengan ambisi besar untuk menjadikan Desa Lawang Agung bagian dari wilayah kekuasaan sultan. Namun, niatnya bukan hanya menjajah; dia ingin membuktikan bahwa dirinya adalah yang terkuat.

Ketika rombongan Bujang Remeyon mencapai kaki Bukit Kute Giri, desa itu terlihat tenang, seperti tengah tertidur. Namun, ketenangan itu menyembunyikan kekuatan yang siap menghadapi ancaman.

“Siapa yang memimpin desa ini?” seru Bujang Remeyon dengan suara lantang.

Dari arah puncak bukit, Rie Tandan muncul. Sosoknya bersahaja, tetapi pancaran wibawanya membuat siapa pun yang melihatnya merasa gentar.

“Aku, Rie Tandan, pemimpin Desa Lawang Agung. Apa yang kau cari di sini, wahai pemuda tangguh?” tanyanya dengan nada tenang, tetapi penuh ketegasan.

“Aku Bujang Remeyon, utusan Kesultanan Palembang. Aku datang untuk mengambil desa ini. Jika kau menyerah, rakyatmu tidak akan menderita,” jawabnya.

Rie Tandan tersenyum kecil. “Desa ini bukan untuk dijajah. Jika kau ingin merebutnya, buktikan kekuatanmu.”

Pertarungan di Bukit Kute Giri

Rie Tandan mengusulkan sebuah tantangan: siapa yang mampu menahan balok kayu besar yang digulingkan dari puncak bukit tanpa bergerak, dialah yang menang. Balok itu adalah kayu yang besar dan berat, melambangkan kekuatan alam yang hanya bisa dihadapi oleh jiwa yang tangguh.

Di puncak bukit, balok itu telah disiapkan. Rakyat desa berkumpul, menyaksikan dengan penuh harap.

Bujang Remeyon maju pertama. Dengan penuh percaya diri, dia berdiri di jalur balok. Ketika balok itu digulingkan, dia mencoba menahannya, tetapi beratnya terlalu besar. Kakinya tergelincir, tubuhnya terdorong mundur, dan dia jatuh ke tebing.

Giliran Rie Tandan. Dengan penuh keyakinan, dia berdiri kokoh. Ketika balok itu mendekat, dia mengangkat kedua tangannya, menahannya dengan kekuatan luar biasa. Balok itu berhenti, seakan tunduk pada kekuatan Rie Tandan. Sorak sorai pun menggema di seluruh desa.

Bujang Remeyon, yang tersungkur di bawah tebing, menyaksikan dengan mata penuh kekaguman. Dia bangkit, mendaki kembali ke puncak bukit, lalu berlutut di hadapan Rie Tandan.

“Kau lebih kuat dariku. Aku mengaku kalah,” katanya dengan nada rendah hati.

Rie Tandan mengulurkan tangan, membantu Bujang Remeyon berdiri. “Kau memiliki keberanian. Tinggallah di desa ini, dan bersama-sama kita jaga Lawang Agung.”

Bujang Remeyon setuju. Sejak saat itu, dia menjadi pengikut setia Rie Tandan.

Warisan dan Petilasan

Rie Tandan meninggalkan jejaknya di Bukit Kute Giri, tempat yang kini dihormati sebagai petilasan. Sementara itu, Bujang Remeyon memilih hutan di sekitar desa sebagai tempat tinggalnya, yang kemudian dikenal sebagai Situs Depati Tembah. Kedua tempat ini menjadi simbol persatuan dan kekuatan Desa Lawang Agung.

Legenda ini terus diceritakan dari generasi ke generasi, mengingatkan penduduk Desa Lawang Agung akan pentingnya persatuan dan keberanian dalam menghadapi tantangan. Lawang Agung tetap berdiri kokoh, menjadi pintu besar yang menjaga harmoni dan keindahan alamnya.


(Masih Jiwangwe +Imajinasi Penulis)
😁😁😁🙏🙏🙏


LEGENDA DESA LUBUK ALAI (Versi 2)

LEGENDA DESA LUBUK ALAI 
(Versi 2)

Di sebuah lembah yang dikelilingi oleh bukit-bukit hijau dan aliran sungai yang jernih, terdapat sebuah desa kecil bernama Lubuk Alai. Desa ini memiliki kisah asal-usul yang melegenda, diwariskan turun-temurun oleh para tetua. Kisah ini bercerita tentang seorang pemuda sakti bernama Depati Bujang Juaro, yang juga dikenal sebagai Depati Bujang Jawa atau Pat Pati Jang Jewe, seorang pemimpin bijak yang memiliki kekuatan luar biasa, pusaka keris, dan tombak sakti.

Awal Mula Desa

Zaman dahulu, tempat yang kini menjadi Desa Lubuk Alai hanyalah hutan belantara yang belum terjamah manusia. Di tengah hutan itu mengalir sebuah sungai kecil yang dikenal sebagai Lubuk, tempat hewan-hewan liar sering berkumpul untuk minum. Tepat di atas lubuk itu, tumbuh sebuah pohon besar bernama Batang Alai, sejenis pohon yang menyerupai petai, namun buahnya lebih kecil dan harum. Pohon ini dipercaya memiliki kekuatan magis yang melindungi lubuk tersebut dari mara bahaya.

Lubuk dan Batang Alai ini menjadi pusat kehidupan bagi para makhluk hutan, hingga suatu hari, seorang pemuda sakti bernama Depati Bujang Juaro tiba di tempat tersebut. Depati adalah seorang pengembara yang mencari tempat untuk membangun peradaban baru. Ia membawa dua pusaka warisan leluhur, yaitu Keris Sakti Penembus Langit dan Tombak Penjaga Bumi.

Pertemuan dengan Makhluk Gaib

Ketika Depati pertama kali tiba di tepi lubuk, ia merasakan hawa magis yang begitu kuat. Pohon Batang Alai seolah hidup, dengan daun-daunnya melambai meski angin tidak berhembus. Tiba-tiba, dari dalam lubuk, muncul sesosok makhluk gaib berbentuk ular raksasa bernama Si Lindu. Ular ini adalah penjaga lubuk sekaligus penguasa hutan di sekitarnya.

“Apa yang kau cari di sini, wahai manusia?” tanya Si Lindu dengan suara yang menggema.

“Aku ingin membuka hutan ini menjadi tempat tinggal manusia. Aku ingin membawa kehidupan baru ke sini,” jawab Depati dengan tenang, meski ia tahu kekuatan Si Lindu sangat besar.

Si Lindu tertawa keras, suaranya mengguncang tanah di sekitar lubuk. “Kau pikir mudah mengambil alih tempat ini? Aku akan mengujimu, manusia!”

Depati menerima tantangan itu. Ia menghunus Keris Sakti Penembus Langit dan mengangkat Tombak Penjaga Bumi. Pertarungan dahsyat pun terjadi. Si Lindu menyerang dengan kekuatan air dari lubuk, sementara Depati membalas dengan pukulan-pukulan magis dari tombaknya. Pohon Batang Alai pun ikut bergerak, melindungi Depati dengan menjatuhkan buah-buahnya yang berubah menjadi senjata kecil.

Setelah pertarungan yang panjang, Depati berhasil menaklukkan Si Lindu tanpa membunuhnya. “Aku tidak datang untuk merusak. Aku datang untuk menciptakan kehidupan,” kata Depati. Si Lindu yang kagum pada keberanian dan kebijaksanaan Depati akhirnya menyerahkan tempat itu kepadanya.

Pendirian Desa Lubuk Alai

Depati mulai membuka lahan di sekitar lubuk dan Batang Alai. Ia memanggil para pengikutnya, yang disebut Hulu Balang, untuk membantu membangun desa. Hulu Balang ini adalah para pejuang setia yang memiliki keterampilan berbeda-beda, mulai dari bertani, berburu, hingga menjaga keamanan desa.

Setelah desa mulai terbentuk, Depati memutuskan untuk menamai tempat itu Lubuk Alai, mengambil nama dari lubuk yang menjadi pusat kehidupan dan pohon Batang Alai yang melindunginya.

Pusaka yang Menjadi Simbol Desa

Depati menyimpan Keris Sakti dan Tombak Penjaga Bumi di sebuah tempat khusus di bawah pohon Batang Alai. Pusaka ini menjadi simbol pelindung desa dan hanya dikeluarkan ketika desa menghadapi ancaman besar.

Konon, setiap kali bahaya mendekat, pohon Batang Alai akan memberikan tanda-tanda. Daunnya akan berguguran meski tidak ada angin, dan buahnya akan memancarkan cahaya terang di malam hari. Para penduduk percaya bahwa roh Depati Bujang Juaro masih menjaga desa ini melalui pusaka dan pohon Batang Alai.

Pesan dari Depati

Sebelum wafat, Depati berpesan kepada penduduk desa, “Jaga Lubuk ini, jaga Batang Alai ini. Sebab selama keduanya tetap ada, desa ini akan selalu makmur dan dilindungi.”

Hingga kini, Desa Lubuk Alai tetap menjaga tradisi tersebut. Lubuk masih digunakan sebagai tempat pemandian umum, tempat mencuci, dan tempat berkumpulnya masyarakat. Sementara itu, pohon Batang Alai menjadi simbol kerukunan dan keberanian bagi penduduk desa.

Legenda ini terus hidup dalam hati masyarakat Desa Lubuk Alai, menjadi pengingat akan keberanian, kebijaksanaan, dan cinta seorang pemimpin bernama Depati Bujang Juaro yang membangun peradaban dengan penuh perjuangan dan kasih sayang.

CLEMBET (Lembet)

CLEMBET (Lembet)

(Versi Legenda/ Dongeng)

Legenda Pendekar Sakti Mandraguna dari Desa Lawang Agung

Di kaki perbukitan Rejang Lebong, tersembunyi sebuah desa bernama Lawang Agung. Desa ini menyimpan kisah seorang pendekar sakti bernama Lembet, yang hingga kini masih menjadi cerita turun-temurun bagi masyarakat setempat. Lembet bukan hanya sekadar manusia biasa. Ia memiliki kesaktian yang luar biasa, yang membuatnya disegani, bahkan oleh penjajah Belanda.

Pertemuan Takdir

Pada suatu sore, saat hujan deras mengguyur desa, Lembet duduk bersila di balai rumah panggungnya. Tubuhnya tetap diam seperti arca, namun pikirannya melayang-layang jauh. Tiba-tiba, suara langkah kaki tergesa-gesa terdengar.

"Pendekar Lembet!" teriak seorang pemuda desa, napasnya tersengal. "Belanda sudah sampai di hutan sebelah! Mereka membawa pasukan lengkap dan senapan!"

Lembet membuka matanya perlahan. Pandangannya tajam, penuh ketenangan. Ia tahu ini akan terjadi. "Berapa banyak mereka?" tanyanya singkat.

"Puluhan, Pendekar. Mereka mencari dirimu. Katanya, kau adalah ancaman bagi kekuasaan mereka."

Lembet tersenyum tipis. "Mereka pikir senapan dan pasukan bisa menaklukkanku?" Ia berdiri, tubuh tegapnya memancarkan wibawa yang luar biasa. "Aku akan berangkat. Tapi ingat, hanya halusku yang akan pergi. Tubuhku akan tetap di sini."

Penduduk desa yang mendengar itu tercengang. Mereka tahu kesaktian Lembet, namun ini adalah hal yang belum pernah mereka saksikan sebelumnya.

Pertempuran di Hutan

Di tengah hutan, pasukan Belanda yang berjumlah besar sedang bersiap. Sang komandan, seorang pria bertubuh besar bernama Kapten Van Dijk, memegang peta dan berbicara lantang kepada anak buahnya.

"Kita akan menangkap Lembet hidup-hidup! Dia adalah ancaman bagi pemerintahan kita di Rejang Lebong. Tangkap dia, atau habisi jika perlu!"

Namun, sebelum perintah itu selesai, angin kencang berembus. Daun-daun beterbangan, dan suasana mendadak mencekam. Dari balik bayangan pepohonan, muncul sesosok bayangan. Itu adalah Lembet, atau tepatnya, roh halusnya. Tubuhnya terlihat nyata, namun ia adalah manifestasi gaib yang tidak bisa disentuh senjata biasa.

Kapten Van Dijk berteriak, "Siapkan senapan! Tembak dia!"

Dor! Dor! Dor! Peluru-peluru melesat ke arah Lembet, namun hanya menembus udara kosong. Lembet tetap berjalan perlahan, tangannya terangkat. Dengan sekali tunjuk, salah satu prajurit Belanda terkapar tanpa nyawa.

"Lari! Dia bukan manusia!" teriak seorang prajurit.

Namun, Lembet tidak memberi mereka kesempatan. Dalam sekejap, dengan hanya gerakan tangan, belasan prajurit tumbang. Kapten Van Dijk, yang ketakutan, mencoba melarikan diri, namun Lembet menghadangnya.

"Engkau datang untuk menindas kami," kata Lembet dengan suara dingin. "Tapi ini tanah kami. Aku tidak akan membiarkanmu meninggalkan tempat ini hidup-hidup."

Dengan satu tepukan, tubuh Van Dijk terpental dan hilang di balik rimbunnya hutan.

Kejadian di Desa

Sementara itu, di rumahnya, tubuh Lembet tetap duduk bersila. Warga desa yang menyaksikan hal ini merasa cemas. Tujuh hari berlalu, tubuh Lembet tidak bergerak sedikit pun.

"Apakah ia sudah wafat?" tanya seorang warga.

"Pesannya, jangan memakamkannya jika tubuhnya masih panas," jawab yang lain.

Namun, karena rasa takut dan cemas, mereka akhirnya memakamkan tubuhnya di hari ketujuh. Saat itu, kejadian aneh terjadi. Kuburan Lembet tiba-tiba meledak, dan tanahnya terbelah. Dari dalam kubur terdengar suara keras:

"Aku telah berkata, jangan memakamkanku saat tubuhku masih panas!"

Warga desa berlarian ketakutan, namun mereka tahu ini adalah peringatan terakhir dari pendekar mereka.

Kesaktian dan Legenda yang Abadi

Kesaktian Lembet tidak hanya dikenal melalui pertempurannya. Banyak cerita lain yang menunjukkan kehebatannya. Konon, ia bisa mengetahui seseorang datang hanya dari niatnya. Jika ada yang membawa ikan asam untuknya, Lembet sudah tahu sebelum tamu itu sampai di rumahnya.

Legenda Lembet terus hidup hingga kini, menjadi simbol keberanian dan perjuangan rakyat melawan penjajahan. Meski jasadnya sudah tiada, kisahnya tetap membakar semangat masyarakat Desa Lawang Agung, menjadi pengingat bahwa melawan ketidakadilan adalah tugas setiap orang.

(Jiwangwe)
😁😁😁🙏🙏🙏

Jumat, 20 Desember 2024

LEGENDA DESA APUR: RAHASIA RAMBUT BIDADARI


Legenda Desa Apur: Rahasia Rambut Bidadari

Dahulu kala, di sebuah desa kecil yang terletak di antara bukit-bukit hijau di Kecamatan Sindang Beliti Ulu, terdapat seorang dukun sakti bernama Ali. Orang-orang memanggilnya Dukun Ali. Ia dikenal sebagai orang yang memiliki kemampuan luar biasa untuk melihat makhluk-makhluk gaib yang tidak tampak oleh mata manusia biasa.

Di malam bulan purnama, Dukun Ali sering duduk di tepi Sungai Apur, sebuah sungai yang airnya jernih seperti kaca. Malam itu, ia merasakan sesuatu yang berbeda—sebuah energi lembut yang menggelitik kulitnya. Ketika ia mengamati sungai dengan saksama, tiba-tiba muncul tujuh cahaya pelangi yang mendarat di tepi sungai. Cahaya-cahaya itu berubah menjadi tujuh bidadari yang luar biasa cantik. Mereka melepas selendang masing-masing dan masuk ke dalam air, mandi sambil tertawa riang.

Dukun Ali bersembunyi di balik semak, matanya terpesona oleh kecantikan para bidadari. Salah satu bidadari, yang paling muda, memiliki rambut panjang hitam berkilauan seperti sutra. Setelah selesai mandi, para bidadari satu per satu kembali mengenakan selendang mereka. Namun, ketika si bidadari muda sedang menyisir rambutnya, Dukun Ali tiba-tiba berdiri dan berteriak, “Wahai bidadari, siapa kalian?”

Si bidadari muda terkejut dan mendongak. Karena tergesa-gesa, sisirnya tersangkut di rambut, membuat sehelai besar rambutnya putus dan terjatuh di tanah. Dengan panik, ia mengenakan selendangnya, dan bersama saudara-saudaranya, mereka terbang ke langit, mengikuti pelangi.

Ketika semuanya telah sunyi, Dukun Ali memungut helai rambut yang terjatuh. Rambut itu berkilau seperti cahaya bintang. Ia merasakan energi gaib yang kuat mengalir melalui tubuhnya saat memegang rambut tersebut. “Ini adalah berkah,” gumamnya.

Percakapan dengan Makhluk Gaib

Sejak hari itu, Dukun Ali mampu berinteraksi dengan para bidadari dan makhluk gaib lainnya. Suatu malam, seorang bidadari bernama Nila, yang menjadi penjaga Sungai Apur, datang dalam mimpinya.

“Wahai manusia,” kata Nila, “kau telah mengambil bagian dari dunia kami. Rambut itu adalah kunci keindahan dan kekuatan kami. Jagalah dengan bijaksana.”

“Apakah ada yang harus aku lakukan dengan rambut ini?” tanya Dukun Ali.

Nila tersenyum samar. “Rendamlah rambut itu dalam air, dan biarkan keturunanmu meminum airnya. Mereka akan mewarisi sebagian keindahan dan energi kami. Namun, ingatlah, ini adalah rahasia. Jangan sampai disalahgunakan.”

Dukun Ali mengangguk. Sejak saat itu, ia menyimpan rambut tersebut di sebuah kotak kayu kecil yang ia sembunyikan di rumahnya.

Generasi Keturunan Dukun Ali

Tahun demi tahun berlalu, dan Dukun Ali menjadi legenda. Keturunannya dikenal memiliki kecantikan dan ketampanan yang luar biasa, dengan kulit putih, mata sipit, dan senyum menawan. Bahkan orang-orang yang bukan keturunan Dukun Ali merasa seolah-olah mereka menjadi lebih cantik atau tampan selama tinggal di Desa Apur. Namun, begitu mereka meninggalkan desa, pesona itu seolah menghilang.

Sungai Apur tetap jernih sepanjang masa, bahkan saat hujan lebat. Namun, suatu hari, ada warga yang memutuskan untuk mengubur jenazah di dekat mata air sungai itu. Malamnya, seorang lelaki tua bermimpi didatangi sosok perempuan dengan rambut panjang hitam.

“Air ini bukan lagi milik kalian,” katanya dengan nada sedih. “Kami tidak akan mandi di sini lagi.”

Pertempuran Gaib: Melindungi Desa Apur

Beberapa tahun kemudian, seorang pria dari desa tetangga mencoba mencuri kotak kayu berisi rambut bidadari. Ia percaya bahwa rambut itu akan memberinya kekuatan luar biasa. Malam itu, pria tersebut menyelinap ke rumah keturunan terakhir Dukun Ali. Namun, ketika ia membuka kotak tersebut, rambut bidadari itu berubah menjadi ular raksasa.

Pria itu menjerit ketakutan. Ular itu berkata dengan suara yang menggelegar, “Beraninya kau mencuri sesuatu yang bukan milikmu!”

Suara itu membangunkan seluruh desa. Warga segera berkumpul, dan keturunan Dukun Ali, seorang pemuda bernama Raden, maju untuk menghadapi ular tersebut.

“Jika kau penjaga rambut ini, maka bantulah kami menjaga desa ini dari kejahatan,” kata Raden dengan berani.

Ular itu mengecil kembali menjadi rambut dan masuk ke dalam kotak. Sejak saat itu, kotak tersebut disembunyikan di tempat yang tidak diketahui, dan warga desa bersumpah untuk menjaga warisan gaib mereka.

Epilog

Hingga hari ini, Desa Apur tetap dikenal sebagai desa yang penuh dengan keajaiban. Orang-orang yang berkunjung sering terpesona oleh keindahan warga desa dan kejernihan air sungainya. Namun, hanya sedikit yang tahu tentang rahasia di balik semua itu—rambut bidadari yang pernah disimpan oleh Dukun Ali.

Legenda ini terus hidup di hati masyarakat Desa Apur, menjadi pengingat akan hubungan mereka dengan dunia yang tak kasat mata, dan pentingnya menjaga harmoni antara manusia, alam, dan makhluk gaib.

KESATRIA SELANGIT KA JOGIL

KESATRIA SELANGIT KA JOGIL

(Versi Legenda/Dongeng/Mitos)

Di suatu masa yang telah lama berlalu, di sebuah daerah bernama Selangit Tinggi, hiduplah seorang pria sakti bernama Ka Jogel. Ka Jogel dikenal sebagai keturunan Rio Momot, seorang pendiri desa Segara Muncar yang memiliki garis keturunan dari kerajaan Majapahit dan seorang putri kahyangan. Kesaktiannya menjadikannya legenda, dihormati dan ditakuti oleh masyarakat setempat.

Awal Kehidupan Ka Jogel

Ka Jogel adalah anak kelima dari tujuh bersaudara. Ia tumbuh di bawah bimbingan ayahnya yang bijaksana dan ibunya yang penuh kasih. Sejak kecil, Ka Jogel sudah menunjukkan tanda-tanda kesaktiannya. Ketika anak-anak lain bermain di sungai kecil, Ka Jogel mampu memindahkan batu besar dengan tangannya yang mungil.

Di usia remaja, ia sering melatih kekuatannya di hutan Selangit. Setiap pagi, ia menantang dirinya dengan mencabut pohon kelapa, melawan derasnya arus sungai, dan membawa batu besar dari dasar sungai ke atas bukit. “Pohon ini terlalu mudah untukku,” ujar Ka Jogel suatu pagi sambil mencabut pohon kelapa dengan satu tangan, disaksikan burung-burung yang terbang ketakutan.

Pertarungan dengan Raja Penjajah

Namun, masa damai itu tidak berlangsung lama. Pada suatu hari, datanglah sekelompok penjajah yang dipimpin oleh seorang raja dari tanah seberang, Raja Bharanang. Raja ini terkenal kejam dan ingin menguasai wilayah Selangit untuk menjarah hasil bumi dan merampas kedamaian penduduk.

Raja Bharanang bersama pasukannya mendatangi desa Selangit. Mereka membakar rumah, menebang pohon, dan mengancam akan menjadikan penduduk sebagai budak. Para tetua desa berkumpul dan memutuskan untuk memohon bantuan kepada Ka Jogel.

“Ka Jogel, hanya kau yang bisa menyelamatkan kami,” kata seorang tetua dengan suara bergetar.
Ka Jogel mengangguk, matanya menyala-nyala. “Mereka telah mengusik kedamaian kita. Aku akan melawan mereka!”

Malam Pertempuran

Di bawah sinar bulan purnama, Ka Jogel berdiri tegak di tengah lapangan desa. Pasukan Raja Bharanang yang bersenjata lengkap mendekat dengan wajah penuh kesombongan.

“Siapa kau, yang berani menantangku?” Raja Bharanang tertawa sambil melompat turun dari kudanya.
“Aku Ka Jogel, penjaga Selangit! Pergilah dari sini, atau kau akan menyesal!” jawab Ka Jogel lantang.

Namun, Raja Bharanang hanya tertawa mengejek. Ia memerintahkan pasukannya untuk menyerang. Ka Jogel tidak mundur. Ia melangkah maju, mencabut sebatang pohon kelapa di dekatnya, dan mengayunkannya seperti tongkat raksasa.

Bruuuuk!

Pohon itu menghantam tanah, membuat pasukan Raja Bharanang kocar-kacir. Batu sebesar drum yang tergeletak di dekatnya, ia tendang dengan kuat, meluncur menghantam barisan pasukan seperti bola api.

“Ini baru permulaan,” ujar Ka Jogel sambil melangkah mendekati Raja Bharanang.

Raja Bharanang, yang merasa terhina, turun tangan sendiri. Ia menghunus pedang emasnya dan menyerang Ka Jogel. Tetapi Ka Jogel dengan sigap menghindar. Dengan kekuatannya, ia menangkap pedang itu dengan tangan kosong, lalu menghancurkannya menjadi serpihan kecil.

“Kesombonganmu berakhir di sini!” teriak Ka Jogel sambil mengayunkan pukulan ke arah Raja Bharanang.

Pukulan itu begitu kuat hingga Raja Bharanang terlempar jauh ke sungai. Sisa pasukannya melarikan diri, meninggalkan Selangit dalam damai.

Kehidupan Setelah Kemenangan

Setelah pertempuran itu, Ka Jogel kembali hidup tenang di desa. Namun, ia semakin dihormati oleh masyarakat. Makamnya yang kini terletak di dataran tinggi Selangit menjadi situs keramat, tempat orang-orang berdoa memohon perlindungan dan berkah.

Konon, batu besar yang dulu ia gunakan untuk bermain bola menghilang tanpa jejak, seolah terserap oleh bumi. Namun, kisah keberaniannya terus diceritakan turun-temurun, menginspirasi generasi muda Selangit untuk menjaga kehormatan dan kedamaian tanah kelahiran mereka.

Penutup

Legenda Ka Jogel bukan sekadar cerita tentang kesaktian, tetapi tentang keberanian, keadilan, dan cinta pada tanah air. Ia adalah simbol kekuatan rakyat Selangit yang tak tergoyahkan oleh ancaman mana pun. Hingga kini, di bawah bayang-bayang dataran tinggi Selangit, nama Ka Jogel tetap hidup di hati masyarakat.

(Cerito Tukang Jego Keramai+Imajinasi Penulis)
😁😁😁🙏🙏🙏

SEJARAH AIR NAU

SEJARAH AIR NAU

(Versi: Dongeng/Legenda atau Mitos)

Legenda Desa Air Nau: Keberkahan dari Batang Aren

Di sebuah masa yang telah lama berlalu, di kaki perbukitan Sindang Beliti Ulu, hiduplah seorang pria sakti bernama Tumenggung, atau sering disebut Yang Nggung. Orang-orang percaya bahwa ia bukan manusia biasa, melainkan seorang manusia harimau yang mampu menjelma menjadi binatang buas untuk melindungi wilayahnya. Sosoknya dihormati dan ditakuti, tetapi kehadirannya membawa keberkahan bagi penduduk sekitar.

Pada suatu pagi, Yang Nggung sedang duduk di pinggir sungai, menatap air yang mengalir deras. Di tangannya tergenggam secangkir kopi hangat, hasil panen dari kebun kopi peninggalan Belanda yang tumbuh subur di daerah itu. Tiba-tiba, angin bertiup kencang, membawa suara bisikan misterius.

Bisikan itu berkata,
"Wahai Tumenggung, tanah ini dipenuhi keberkahan. Namun, kau harus menjaganya dari kehancuran. Sebuah bencana akan datang, dan hanya dengan kebijaksanaanmu, desa ini dapat terselamatkan."

Yang Nggung berdiri, menajamkan pendengarannya. "Siapa kau? Apa maksud dari bencana ini?" teriaknya ke arah hutan lebat. Namun, tidak ada jawaban.

Awal Mula Keajaiban

Hari-hari berlalu. Pada suatu malam, desa itu dikejutkan oleh suara gemuruh dari arah sungai. Yang Nggung segera berlari menuju sungai dan terkejut melihat sebuah keajaiban. Batang-batang pohon aren (enau) terjatuh dari hutan di hulu sungai dan tersusun rapi di tepi sungai, seolah-olah ditata oleh tangan tak kasat mata.

Penduduk desa berkerumun, menyaksikan pemandangan yang di luar nalar. Seorang lelaki tua bernama Pak Suri bertanya kepada Yang Nggung, "Tumenggung, apa arti semua ini? Mengapa batang aren ini tersusun begitu rapi?"

Yang Nggung merenung sejenak sebelum menjawab. "Ini adalah pertanda. Alam memberikan keberkahan kepada kita. Tanah ini akan menjadi tempat tinggal yang subur dan makmur. Namun, kita harus menjaganya dengan sepenuh hati."

Kemunculan Musuh

Keajaiban itu rupanya menarik perhatian penjajah Belanda yang ingin menguasai tanah itu. Mereka mendengar kabar tentang tanah subur dan keberkahan yang menyelimuti desa tersebut. Suatu hari, sepasukan tentara Belanda datang dengan tujuan merebut tanah itu. Mereka menggali sumur tua untuk mencari sumber air yang akan mereka gunakan sebagai markas, serta membangun bedeng-bedeng untuk tempat tinggal mereka.

Namun, Yang Nggung tidak tinggal diam. Ia mengumpulkan penduduk desa dan berkata, "Kita tidak akan menyerahkan tanah ini kepada penjajah. Ini tanah kita, tanah keberkahan dari leluhur!"

Pertempuran di Tepi Sungai

Malam itu, di bawah cahaya bulan, pecahlah pertempuran sengit antara Yang Nggung dan pasukan Belanda. Yang Nggung menjelma menjadi seekor harimau besar dengan taring tajam dan mata menyala merah. Ia menerjang pasukan dengan kekuatan luar biasa, sementara penduduk desa membantu dengan alat seadanya.

Komandan Belanda berteriak,
"Apa makhluk ini? Tidak mungkin manusia memiliki kekuatan seperti ini!"

Namun, pasukan Belanda tidak mampu menghadapi kekuatan Yang Nggung. Mereka akhirnya melarikan diri, meninggalkan sumur tua, bedeng, dan kebun kopi yang mereka tanam.

Desa Air Nau Terbentuk

Setelah pertempuran itu, desa menjadi tenang kembali. Penduduk merasa bahwa tanah itu telah dilindungi oleh kekuatan alam dan leluhur mereka. Nama desa diambil dari sungai yang membawa batang aren, yang disebut "Air Nau," kombinasi dari "air" dan "enau."

Penduduk mulai memanfaatkan batang aren yang tersusun rapi itu untuk kehidupan mereka. Dari nira aren, mereka membuat gula aren dan minuman tradisional yang menjadi sumber penghidupan. Kopi yang ditanam di sekitar desa menjadi komoditas unggulan, sedangkan sumur tua peninggalan Belanda menjadi sumber air utama yang tidak pernah kering hingga hari ini.

Penutup: Pesan Tumenggung

Yang Nggung, sebelum menghilang ke dalam hutan, meninggalkan pesan kepada penduduk desa. "Tanah ini adalah titipan untuk kalian. Jaga alamnya, rawat keberkahannya, dan jangan pernah melupakan asal-usulmu. Selama kalian hidup selaras dengan alam, desa ini akan terus diberkahi."

Sejak saat itu, Desa Air Nau menjadi desa yang makmur, dengan pohon-pohon kopi, dan aren yang tumbuh subur. Penduduknya hidup damai, selalu mengenang kisah keberanian Tumenggung dan keajaiban alam yang membentuk desa mereka.Tumenggung Menghilang dalam Bentuk Asap di dekat Petilasan di Desa Air Nau 

(Jiwangwe Le)
😁😁😁🙏🙏🙏

Kamis, 19 Desember 2024

SEJARAH DESA KARANG PINANG

SEJARAH DESA KARANG PINANG 

(Cerita Fiksi/Dongeng/Legenda)


Legenda Desa Karang Pinang: Kisah Moneng Kinde

Di sebuah lembah tersembunyi di kaki gunung yang menjulang tinggi, hiduplah seorang lelaki sakti bernama Moneng Kinde. Moneng dikenal bukan hanya karena kekuatan fisiknya, tetapi juga kebijaksanaan dan pengaruh magisnya yang luar biasa. Ia sering dianggap sebagai penjaga keseimbangan alam oleh penduduk sekitar. Namun, hidupnya berubah ketika ia dihadapkan pada pertempuran dengan kekuatan gelap yang mengancam wilayahnya.

Awal Mula

Pada suatu malam, desa kecil yang dihuni oleh Moneng dan beberapa keluarga lain diterpa bencana. Banjir bandang menghancurkan ladang mereka, dan binatang buas mulai menyerang desa. Moneng bermeditasi di atas sebuah batu besar, memohon petunjuk kepada dewa-dewa gunung. Di dalam meditasinya, ia mendengar bisikan:
"Bangunlah sebuah tempat perlindungan yang kokoh. Gunakan karang sebagai pelindung dan pohon pinang sebagai penghubung kehidupan."

Esok paginya, Moneng mulai melakukan apa yang diminta oleh suara itu. Namun, takdirnya diuji ketika seorang penyihir jahat bernama Raja Singalaga, yang ingin menguasai wilayah pegunungan, mendengar tentang rencana Moneng.

Pertemuan Moneng dan Raja Singalaga

Ketika Moneng sedang memindahkan batu karang besar dari lembah ke atas bukit dengan tongkat ajaibnya, Raja Singalaga muncul. Ia membawa pasukan bayangan—makhluk-makhluk gelap yang hanya muncul di malam hari.

"Apa yang kau lakukan, Moneng?" tanya Singalaga dengan suara menggema. "Pegunungan ini milikku! Tak ada yang boleh membangun apa pun tanpa izinku!"

Moneng menatapnya dengan tenang. "Aku hanya menjalankan kehendak alam, bukan kehendakmu. Jika kau ingin menghentikanku, hadapi aku terlebih dahulu."

Singalaga tertawa sinis. "Kalau begitu, bersiaplah untuk kehancuranmu!"

Pertempuran di Lembah Karang

Malam itu, pertempuran besar terjadi. Singalaga menyerang dengan sihir kegelapan, mengirimkan pusaran angin hitam yang menghancurkan pohon-pohon di sekitar. Namun, Moneng melindungi dirinya dengan batu karang yang ia susun menjadi perisai besar. Dengan kekuatan tongkatnya, ia memanggil pohon-pohon pinang yang tumbuh dalam hitungan detik untuk menghalangi serangan pasukan bayangan.

"Kau takkan bisa menghentikan kehendak alam, Singalaga!" teriak Moneng sambil mengayunkan tongkatnya. Sebuah batu karang raksasa melayang di udara dan menghantam pasukan bayangan, menghancurkannya dalam sekejap.

Namun, Singalaga tidak menyerah. Ia menciptakan ilusi gelap untuk menyesatkan Moneng. Seluruh lembah dipenuhi kabut tebal, membuat Moneng kehilangan arah. Tapi Moneng tidak panik. Ia memejamkan mata dan mendengarkan suara alam.

"Ikuti suara angin dan pancarkan cahayamu, Moneng," bisik suara gaib itu lagi.

Dengan keyakinan penuh, Moneng memukulkan tongkatnya ke tanah. Sebuah cahaya terang muncul, mengusir kabut dan membakar sisa pasukan bayangan.

Kemenangan dan Awal Desa Karang Pinang

Melihat kekuatannya mulai melemah, Singalaga melarikan diri ke dalam gua gelap, bersumpah akan kembali suatu hari nanti. Moneng, yang kini kelelahan, memanfaatkan sisa kekuatannya untuk menyelesaikan misinya. Ia menyusun batu karang besar menjadi dinding yang melindungi desa dari bencana alam. Di tengahnya, ia menanam pohon-pohon pinang secara berbaris rapi, simbol persatuan dan kehidupan.

Penduduk desa yang melihat keajaiban itu segera berkumpul dan memuji Moneng. "Mulai sekarang, tempat ini akan kita sebut Karang Pinang," kata salah satu tetua desa, "untuk mengenang perjuanganmu dan keajaiban yang kau bawa."

Percakapan Akhir

Sebelum Moneng pergi mengembara lagi, ia berbicara kepada para penduduk:
"Jangan pernah merusak apa yang telah diciptakan alam. Batu karang ini adalah penjaga kalian, dan pohon pinang adalah sumber kekuatan kalian. Selama kalian hidup harmonis dengan alam, desa ini akan terus diberkahi."

Penduduk berjanji untuk menjaga warisan itu, dan Moneng menghilang ke dalam kabut pegunungan dengan di tandai Petilasan dan meninggalkan kisah heroiknya yang terus diceritakan hingga kini.

Legenda ini menjadi pelajaran tentang keberanian, keselarasan dengan alam, dan pentingnya menjaga keseimbangan. Desa Karang Pinang pun tetap berdiri megah, dikelilingi batu karang yang kokoh dan pohon pinang yang menjulang tinggi.

(Jiwangwe)
😁😁😁

BATU AKUP

BATU AKUP

(Cerita Dongeng/Fiksi)

Cerita Rakyat Desa Lubuk Alai: Batu Akup, Kisah Ibu dan Anak yang Hilang

Di Desa Lubuk Alai, Kecamatan Sindang Beliti Ulu, terdapat sebuah cerita rakyat yang diwariskan secara turun-temurun tentang sebuah batu besar di tepi Sungai Beliti. Batu ini dikenal dengan nama Batu Akup, yang dalam bahasa setempat berarti "batu yang menutup." Kisah ini begitu menyentuh hati, menceritakan tentang cinta, penyesalan, dan kehilangan seorang ibu kepada anaknya.

Awal Mula Kisah

Dahulu, hiduplah seorang ibu bersama anak laki-lakinya yang masih kecil. Mereka tinggal di sebuah gubuk sederhana di pinggir hutan. Sang ibu adalah seorang janda yang bekerja keras untuk menghidupi anaknya. Setiap hari, ia pergi ke Sungai Beliti untuk mencari udang dan ikan, yang kemudian ia jual di pasar untuk membeli kebutuhan sehari-hari.

Suatu hari, sang ibu mengajak anaknya pergi ke tepi Sungai Beliti. Mereka berjalan jauh dari rumah hingga tiba di sebuah batu besar yang menjorok ke dalam sungai. Di sekitar batu itu, air sungai mengalir dengan tenang, dan tempat itu penuh dengan udang. Sang ibu berkata kepada anaknya,

"Tunggulah di sini, Nak. Ibu akan mencari udang di sungai. Jangan pergi ke mana-mana."

Anaknya yang masih kecil itu menurut dan duduk di atas batu besar. Namun, ia merasa lapar karena sejak pagi belum makan apa-apa.

Tangisan Anak yang Tak Didengar

Sang ibu sibuk mengumpulkan udang di sepanjang sungai. Ia begitu fokus hingga lupa waktu. Sementara itu, anaknya mulai merasa sangat lapar. Ia memanggil ibunya,

"Ibu, aku lapar. Mari kita pulang!"

Namun, sang ibu tidak menjawab. Ia terus asyik mencari udang. Anak itu kembali memanggil,

"Ibu, aku ingin makan! Pulanglah, Bu!"

Tangisan anaknya semakin keras, tapi sang ibu tetap tidak menggubris. Ia berpikir bahwa ia harus mengumpulkan cukup udang untuk dijual, agar bisa membeli makanan untuk anaknya nanti. Anak itu memanggil ibunya hingga lima kali, tetapi tetap tidak dihiraukan.

Rasa lapar dan kecewa membuat anak itu menangis tersedu-sedu. Ia merasa ibunya tidak peduli padanya. Dalam kesedihannya, ia beranjak dari tempat duduknya dan mendekati sebuah celah di batu besar tempat ia menunggu. Tiba-tiba, batu besar itu terbuka sedikit, seperti memberi ruang untuknya masuk.

Batu yang Menutup

Tanpa disadari oleh sang ibu, anak itu berjalan ke celah batu sambil terus menangis. Ketika ia masuk ke dalam celah tersebut, batu itu perlahan menutup rapat, seolah menelannya. Ketika sang ibu akhirnya sadar dan kembali ke tempat anaknya menunggu, ia tidak menemukan anaknya. Ia mencari ke sekeliling batu sambil memanggil,

"Nak, di mana kamu? Ibu sudah selesai! Mari kita pulang!"

Namun, tidak ada jawaban. Ia hanya mendengar suara gemericik air sungai. Sang ibu panik dan berteriak-teriak mencari anaknya, tetapi sia-sia. Akhirnya, ia melihat celah batu yang telah menutup rapat dan menyadari bahwa anaknya telah hilang ke dalam batu tersebut.

Penyesalan Sang Ibu

Sang ibu menangis dan memohon kepada batu tersebut,

"Batu, kembalikan anakku! Aku salah karena tidak mendengarkannya. Kembalikan dia, aku mohon!"

Namun, batu itu tetap diam. Sang ibu berlutut di depan batu dan menangis sejadi-jadinya. Ia menyesali kelalaiannya yang terlalu sibuk mencari udang, hingga mengabaikan tangisan anaknya yang lapar dan ingin pulang.

Menurut cerita, sang ibu akhirnya tinggal di dekat batu tersebut, menunggu hingga anaknya kembali. Namun, ia tidak pernah melihat anaknya lagi. Ia hanya bisa merasakan kehadiran anaknya di dekat batu itu ketika angin berembus atau suara gemericik air terdengar lebih lembut.

Batu Akup Sebagai Simbol Cinta dan Penyesalan

Batu besar itu kemudian dikenal oleh masyarakat setempat sebagai Batu Akup. Batu tersebut dianggap sebagai simbol cinta seorang ibu yang terlambat disadari dan penyesalan yang tak berujung. Penduduk desa percaya bahwa batu itu memiliki kekuatan mistis. Konon, jika seseorang duduk di dekat batu itu dan memanggil nama seseorang dengan hati penuh kerinduan, batu tersebut akan menggema seolah menjawab panggilan itu.

Batu Akup juga menjadi pengingat bagi masyarakat Desa Lubuk Alai bahwa perhatian terhadap keluarga, terutama anak-anak, tidak boleh diabaikan demi kesibukan atau pekerjaan. Cerita ini sering diceritakan kepada anak-anak sebagai pengingat akan pentingnya mendengarkan dan memahami kebutuhan orang-orang terdekat kita.

Pesan Moral

Kisah Batu Akup menyampaikan pesan mendalam tentang pentingnya kasih sayang dan perhatian dalam keluarga. Orang tua diajarkan untuk tidak terlalu sibuk dengan pekerjaan hingga melupakan kebutuhan emosional anak-anak mereka. Selain itu, cerita ini mengingatkan bahwa penyesalan selalu datang terlambat, dan kita harus menghargai waktu bersama keluarga sebelum semuanya terlambat.

Batu Akup kini menjadi salah satu bagian dari cerita rakyat yang mengharukan dan terus dikenang oleh masyarakat Desa Lubuk Alai.

(Jiwangwe 😁😁😁)

NAMA YANG MENJADI TAKDIR

Matahari bersinar malu-malu di Desa Lubuk Alai Kecamatan Sindang Beliti Ulu. Angin berhembus lembut, seakan membelai dedaunan yang menari pe...